SUDAH sejak Lamban orang Indonesia doyan Segala yang berbau luar negeri. Tak hanya Kepada produk barang, tapi juga produk jasa. Sebagian mungkin hanya demi mengejar gengsi, tapi sebagian lain memang memilih produk luar negeri karena kualitasnya yang dianggap lebih tinggi ketimbang produk ataupun layanan di dalam negeri.
Di dunia kesehatan pun berlaku hal itu. Fasilitas, kapasitas, kualitas, dan profesionalitas pelayanan kesehatan di luar negeri rata-rata memang lebih unggul. Tak mengherankan Apabila banyak dipilih orang Indonesia sebagai tujuan berobat ketika mereka sakit. Tak perlu jauh-jauh, Malaysia dan Singapura kini menjadi dua negara favorit yang paling banyak menerima pasien Tanah Air.
Sebetulnya, pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, isu ini sudah menjadi perhatian. “Saya Tak happy, bangsa kita sedikit-sedikit berobat ke Singapura, Tokyo, Jerman, Australia. Kita harus dirikan modern hospital yang jadi unggulan kita,” kata SBY pada Mei 2010 silam.
Tetapi, nyatanya, jumlah WNI yang berobat ke luar negeri Lanjut saja meningkat. Di sisi lain, fasilitas dan kualitas pelayanan kesehatan di Republik ini memang memperlihatkan kemajuan, tapi tetap belum Pandai mengatasi ketertinggalan dari negara lain.
Jangankan kualitas, secara kuantitas pun jumlah rumah sakit Tetap sangat kurang. BPS mencatat pada 2021 terdapat 3.112 rumah sakit di Indonesia. Adapun jumlah penduduk mencapai 275,7 juta pada November 2022 Lewat. Artinya, rasionya sangat jomplang, 1 banding 88.367, atau setiap rumah sakit melayani 88.367 penduduk.
Lewat, sekarang Presiden Joko Widodo mengulang kegeraman SBY. Jokowi menyesalkan Tetap banyak masyarakat yang memilih berobat ke luar negeri. Ia menyebut Dekat 2 juta Kaum negara Indonesia setiap tahun berobat ke rumah sakit di negara lain.
Jokowi geram karena dalam hitung-hitungan Kementerian Kesehatan, Terdapat devisa sebesar Rp165 triliun yang hilang akibat kunjungan WNI ke negara lain Kepada tujuan berobat. Entahlah nilai yang disebut itu presisi atau Tak karena pada Oktober 2022 Lewat, Presiden juga mengeluhkan hal yang sama, tapi menyebut Bilangan devisa yang hilang Rp100 triliun.
Meski demikian, intinya, tren masyarakat berobat ke luar negeri adalah sebuah pemborosan devisa. Kalau devisa yang mencapai Rp100 triliun itu Pandai ditahan di dalam negeri, tentu banyak hal Pandai dilakukan atau dibangun di dalam negeri. Apalagi, sejatinya, kecenderungan orang memilih berobat di negara lain adalah indikasi bahwa investasi pada sektor kesehatan nasional memang kurang.
Karena itu, pemerintah Terang Tak Pandai hanya menyesalkan warganya banyak berobat ke luar negeri. Pemerintah semestinya sudah Paham masalahnya. Ketimbang Hanya mengeluh, lebih Berkualitas bergerak membenahi seluruh lini dalam sistem kesehatan nasional. Dengan demikian, ketika pembenahan itu membawa hasil signifikan, tanpa dipaksa pun orang akan kembali memilih rumah sakit domestik sebagi tujuan berobat.
Harus diingat, pembenahan sektor kesehatan bukan sebatas pada sisi pembangunan rumah sakit atau fasilitas fisik kesehatan lain. Yang tak kalah Krusial ialah kualitas sistem pelayanan, kapabilitas tenaga kesehatan, serta integritas dan profesionalitas dokter. Itu Segala butuh investasi yang Tak sedikit.
Kiranya kita perlu menantang pemerintah Kepada lebih berani berinvestasi membangun sektor kesehatan nasional yang lebih Berkualitas dan profesional. Profesionalitas menjadi salah satu poin Krusial karena ilmu pengetahuan kesehatan Lanjut berkembang secara luar Normal.
Tanpa Terdapat pembenahan yang cukup radikal, boleh jadi tahun depan Presiden Jokowi akan mengulang Tengah kekesalan yang sama. Mengeluh soal devisa yang hilang sia-sia, tapi Kepada mengucurkan investasi demi sistem kesehatan yang paripurna juga tak berani.