DEWI adalah seorang anak perempuan berusia satu tahun yang tinggal di daerah yang tidak jauh dari Jakarta. Dalam sebulan terakhir, Dewi telah beberapa kali dibawa berobat ke dokter karena demam dan batuk, tetapi tidak kunjung sembuh. Bahkan kondisinya semakin lemah dan mengalami sesak napas.
Singkat cerita, akhirnya Dewi dibawa ke rumah sakit, dirawat di ruang perawatan intensi/intensive care unit (ICU) dan memerlukan mesin bantu napas karena sesak napas berat.
Hasil pemeriksaan foto rontgen dada dan dahak menunjukkan bahwa Dewi terkena sakit tuberkulosis (TBC) paru yang berat. Setelah digali lebih lanjut, didapatkan informasi bahwa ternyata ayah Dewi saat ini sedang menjalani pengobatan TBC.
Baca juga : Penderita Tuberkulosis Harus Disiplin Agar tidak Menularkannya ke Rekan Kerja
Dewi yang berkontak erat dengan ayahnya tidak pernah mendapat obat pencegahan TBC. Nasib serupa dialami seorang remaja berusia 12 tahun yang dirawat di rumah sakit karena lumpuh kedua tungkainya.
Hasil pemeriksaan di rumah sakit menunjukkan bahwa pasien mengalami TBC tulang belakang. Dua tahun sebelumnya ayah pasien meninggal karena sakit TBC dan pasien tidak pernah mendapat obat pencegahan TBC.
Kisah-kisah tersebut adalah kisah nyata, yang merupakan sedikit dari banyak anak dan remaja yang mengalami nasib kurang beruntung: berkontak erat dengan pasien TBC, tidak mendapat obat pencegahan TBC, dan berakhir mengalami sakit TBC yang berat atau bahkan kematian.
Baca juga : Tuberkulosis yang Diderita Anak-Anak Dipastikan Juga Menular
Masalahnya bukan karena mereka tinggal di daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh pelayanan kesehatan karena kisa-kisah seperti itu tidak jarang dijumpai di tengah kota besar di Indonesia. Lantas, mengapa?
Tuberkulosis atau sering dikenal dengan istilah “flek” merupakan penyakit menular yang dapat mengenai semua usia, dari bayi sampai usia lanjut, dan tidak hanya mengenai paru, tetapi juga organ tubuh lain misalnya usus, otak, tulang, kulit dan selaput jantung.
Penyakit ini disebabkan oleh kuman/bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang ditularkan dari pasien ke orang yang ada di sekitarnya melalui percikan air ludah (droplet). Oleh karena itu orang yang berkontak erat (misalnya tinggal serumah, teman sekelas, satu kantor dan lain-lain) dengan pasien TBC paru berisiko tinggi untuk tertular.
Baca juga : Etana Kembangkan Vaksin Tuberkulosis
Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara dengan jumlah pasien TBC terbanyak di dunia, dengan estimasi jumlah kasus pada 2023 sebesar 1.060.000.
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah temuan pasien TBC di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan, dari 443.235 pada 2021 menjadi 816.297 pada 2023.
Meskipun demikian jumlah tersebut masih kurang dari jumlah kasus yang diperkirakan. Artinya, masih banyak pasien TBC yang belum didiagnosis atau belum berobat, dan menjadi sumber penularan di masyarakat.
Baca juga : Trastuzumab Masuk dalam Daftar Obat Kanker pada Fornas 2024
Terdapat tiga kemungkinan yang terjadi pada orang yang berkontak erat dengan pasien TBC, 1) sistem kekebalan tubuh baik sehingga kuman TBC tidak dapat masuk ke dalam tubuh; 2) kuman TBC masuk ke dalam tubuh tetapi tidak menimbulkan sakit (disebut sebagai infeksi laten TBC/ILTB; mirip dengan orang tanpa gejala (OTG) COVID); 3) menyebabkan sakit TBC.
Apa yang harus dilakukan jika seseorang berkontak erat dengan pasien TBC? Karena ada kemungkinan terinfeksi atau sakit TBC, maka harus ke fasilitas pelayanan kesehatan (Puskesmas, dokter praktek atau Rumah Nyeri) untuk dilakukan pemeriksaan untuk memastikan apakah sakit TBC atau tidak, dan selanjutnya diberikan pengobatan sesuai sesuai dengan kondisinya.
Berbeda dengan flu dan covid-19 yang merupakan penyakit akut, rentang waktu antara kontak dengan pasien dan mulai timbulnya gejala TBC cukup lama, yaitu antara 14 hari sampai 1-2 tahun setelah kontak.
Baca juga : Jamu dan Obat Herbal yang Mengandung Steroid bisa Picu Diabetes
Jadi, misalnya hari ini seseorang berkontak erat dengan pasien TBC paru, gejala sakit TBC dapat muncul beberapa bulan sampai 1-2 tahun kemudian. Oleh karena itu, kita harus terus memantau orang yang pernah berkontak erat dengan pasien TBC, karena dalam kurun waktu tersebut gejala bisa muncul.
Tuberkulosis dapat dicegah dengan pemberian vaksin BCG, yang biasanya diberikan pada bayi baru lahir sampai usia 2 bulan. TBC dapat juga dicegah dengan pemberian obat yang sering dikenal dengan TPT (terapi pencegahan TBC). Obat ini telah lama tersedia dan terbukti efektif untuk mencegah TBC, baik pada anak maupun orang dewasa yang berisiko menderita TBC, yaitu orang yang kontak serumah atau kontak erat dengan pasien TB paru yang infeksius, orang dengan kekebalan rendah (misalnya menderita HIV, kanker, dll), dan orang yang tinggal di hunian yang padat (misalnya asrama, penjara, barak, dll).
Data dari Kementrian Kesehatan RI menunjukkan bahwa pada 2023 baru sebanyak 33.851 orang (2,5% dari yang ditargetkan) yang dilaporkan mendapatkan TPT. Rendahnya capaian ini disebabkan oleh banyak hal, antara lain masih banyak yang belum mengetahui adanya terapi pencegahan untuk TBC, baik di kalangan tenaga kesehatan maupun masyarakat.
Baca juga : Penularan TB di Kuta Selatan Tertinggi di Kabupaten Badung
Ketika ini ada 3 jenis TPT yang tersedia di Indonesia, yang harus diminum selama 3-6 bulan. Bukan sedikit orang yang menolak memberikan obat pencegahan karena merasa tidak sakit, terlebih obat harus diminum dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Keberlangsungan ketersediaan obat pencegahan di lapangan juga merupakan salah satu kendala yang dihadapi petugas kesehatan di lapangan.
Orang yang tinggal serumah atau berkontak erat dengan pasien TBC merupakan kelompok yang berisiko tinggi tertular TBC dan harus mendapatkan TPT.
Demi mengidentifikasinya perlu dilakukan contact tracing, yaitu pelacakan dan pemeriksaan orang-orang yang kontak erat dengan pasien TBC untuk selanjutnya diberikan pengobatan atau pencegahan sesuai dengan kondisi masing-masing orang yang berkontak.
Baca juga : Kombinasi Obat dan Vitamin B Bisa Kurangi Akibat Neuropati perifer
Pada masa pandemi covid-19, istilah dan kegiatan contact tracing menjadi hal yang sangat dikenal dan rutin dilakukan untuk orang yang berkontak dengan pasien covid-19.
Sayangnya, kegiatan ini tidak dilanjutkan untuk pasien-pasien TBC. Pada tahun 2023 kegiatan contact tracing di Indonesia baru dilakukan pada 31% pasien TBC dari yang ditargetkan sebesar 90%.
Contact tracing dan TPT merupakan satu paket upaya yang terbukti efektif dan mampu laksana di Indonesia tetapi belum rutin dilakukan. Dengan contact tracing yang rutin dilakukan diikuti pemberian TPT, akan banyak orang yang terhindar dari sakit atau kematian akibat TBC.
Selain manfaat di tingkat individu, pemberian TPT juga berdampak besar dan sangat diperlukan untuk mencapai target eliminasi TBC pada 2030 di Indonesia. Belajar dari penanganan pandemi covid-19, seharusnya contact tracing untuk pasien TBC dan pemberian TPT bukan merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan.
Bukan hanya sektor kesehatan yang bertanggung jawab, kerja sama multisektor dan partisipasi masyarakat termasuk pihak swasta sangat diperlukan.