Ketulusan Mengelola Negara

Ketulusan Mengelola Negara
(MI/Duta)

BELUM pupus di ingatan ketika dalam acara silaturahim akbar di Medan pada 23 Februari 2019, Prabowo Subianto selaku calon presiden waktu itu secara tegas menyatakan Tak akan menoleransi siapa pun yang melakukan korupsi. Ia berkomitmen, Kalau dirinya dan Sandiaga Uno memenangi Pilpres 2019, kabinetnya akan berisi orang-orang yang berintegritas dan antikorupsi.

Prabowo bahkan berjanji, sebelum ditunjuk sebagai menteri, mereka harus terlebih dahulu menandatangani pakta integritas yang kurang lebih isinya bahwa para menteri Tak akan memperkaya diri maupun keluarga serta Kerabat-saudaranya selama menjabat. Kalau Tak, ia tak boleh duduk di kabinet (Antaranews.com, 23/2/2019).

Sebenarnya komitmen tersebut merupakan sikap presisi antikorupsi yang harus dihargai. Bayangan kita sikap tersebut akan menjadi ‘ideologi’ Prabowo dalam menegaskan diferensiasi Watak dirinya dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Apalagi Prabowo selalu mengatakan, dan diyakini juga oleh orang-orang kepercayaannya, bahwa ‘ia sudah selesai dengan dirinya sendiri’. Artinya Prabowo Tak Kembali dalam intensi menjadikan jabatannya sebagai instrumen Buat memobilisasi agenda-agenda politiknya, karena yang tersisa di sanubarinya hanyalah beban moral Buat mengurus rakyat Indonesia yang Tetap susah.

 

Menjadi catatan

Tetapi, ‘audisi’ para menteri Prabowo tampak tak disertai nuansa populis imperatif seperti itu. Di hadapan kamera, para menteri ‘lenggak-lenggok’ penuh senyum tanpa beban. Sebelumnya di era Jokowi, para menteri yang hendak dipilih diseleksi oleh stabilo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meskipun pada akhirnya KPK dilemahkan juga.

Apakah karena jauh sebelumnya Prabowo telah mengantongi informasi tentang rekam jejak para calon menterinya? Viralnya surat berkop Menteri Desa dan Daerah Tertinggal terkait acara haul ibu Menteri Yandri Susanto yang dikritik eks Menko Polhukam Mahfud MD di X (Twitter), menjadi catatan tersendiri bagi publik. Terdapat perasaan narsis tak terkontrol di hadapan kursi baru kekuasaan. Termasuk nama-nama menteri Kabinet Merah Putih yang sebelumnya terendus melakukan pelanggaran etik dan kasus korupsi.

Cek Artikel:  Paskah Terbangunkan Persatuan hingga Konsolidasikan Demokrasi

Tak cukup Prabowo mengancam menteri yang Tak mendukung program makan bergizi gratis agar keluar dari kabinet. Publik juga perlu mendengar ketegasan Prabowo, bahwa mereka yang bekerja di luar koridor etis dan antikorupsi harus angkat kaki dari kabinet.

Ini perlu ditekankan, mengingat negeri yang diurus oleh pemerintahan baru ini sedang berada dalam situasi ekonomi yang Tak Berkualitas-Berkualitas saja. Kondisi ekonomi-politik Dunia yang tak menentu, harga komoditas yang naik-turun, inflasi dan Etnis Merekah Dunia yang juga makin tak terkendali, Lalu memengaruhi daya tahan perekonomian bangsa ini.

Apalagi, Kalau tak disertai dengan kemampuan dan kecermatan mengelola APBN (Sri Mulyani, 2024), yang akan semakin menyusahkan rakyat.

Pidato Prabowo yang menegaskan Tak akan Terdapat ruang bagi korupsi di pemerintahannya adalah sikap awal yang bagus Buat menghardik para menterinya agar bekerja lebih jujur dan mau berkorban. Alasan, di sejarah bangsa ini, Tak sedikit pemimpin yang lahir dengan integritas dan keteladanan moral yang Cakap.

Mohammad Hatta, misalnya, dikenal Mempunyai gaya hidup sederhana dan Ikhlas. Meskipun Mempunyai posisi Krusial dalam pemerintahan, kehidupan yang sederhana dan Tak mewah tetap ia jalani. Hatta tak mau menggunakan mobil dinas Buat kepentingan pribadi. Ia pernah memarahi keponakannya yang menyarankan mobil wapres dipakai Buat menjemput ibunya di Sumedang.

Cek Artikel:  Kabinet Merah Putih dan Arsitektur APBN 2025

Ia pernah memarahi sekretarisnya, I Wangsa Wijaya, karena memakai tiga lembar kertas Sekretariat Negara Buat Membangun surat kantor wapres. Hatta pun mengganti kertas tersebut menggunakan Duit kas wapres. Tamat akhir hayatnya, ia berkanjang dalam kesederhanaan, menikmati Duit pensiun yang tak seberapa Buat hitungan sebagai seorang proklamator kemerdekaan. Bahkan ia tak Dapat membeli sepatu Bally yang diidam-idamkannya semasa hidup.

Demikian juga Mohammad Natsir, Perdana Menteri tahun 1950-1951 dan Menteri Penerangan tahun 1946-1947, yang terkenal dengan kehidupan pribadi sangat sederhana. Ia sering terlihat memakai jas yang bertambal dan Pakaian yang lusuh. Bertahun-tahun menjabat menteri, ia dan keluarganya tetap tak Pandai Mempunyai rumah pribadi. Selama itu mereka menumpang di paviliun sahabatnya. Untunglah pada 1946, ia dikasih rumah dinas oleh pemerintah di Jalan Jawa, Jakarta Pusat.

Kisah yang sama juga dilakoni oleh Baharuddin Lopa. Sebagai Jaksa Mulia, ia Mempunyai rumah di Pondok Bambu, Jakarta Timur, yang sederhana. Bahkan Buat merenovasi rumahnya di kampung halaman dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ia harus menabung dan membuka usaha kecil-kecilan (wartel dan rental Play Station) termasuk dengan menulis di surat Berita.

 

Tetap mempan?

Penulis teringat bagaimana Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, tokoh antikemapanan dan antikorupsi, selalu menekankan pentingnya moralitas dalam politik. Dalam pidato pelantikannya sebagai presiden, kepada menterinya, ia serukan: “Gantungkan foto anak-anak Anda (di lemari Anda) dan tataplah mata mereka sebelum mengambil keputusan apa pun,” (Yanchenko & Zulianello, 2024).

Cek Artikel:  Menggagas Penggabungan Penggolongan Narkoba

Ukraina merupakan negara yang sebelumnya penuh dengan skandal korupsi. Di Dasar kepemimpinan Zelensky, Ukraina diinvasi oleh Rusia dengan Akibat Tak saja pada perekonomian domestik, tapi juga Dunia. Meski demikian, indeks persepsi korupsi (2022) mengalami perbaikan dari tahun sebelumnya alias naik satu peringkat (skor 33) dari 188 negara yang disurvei.

Problemnya, apakah foto anak dan istri para menteri kita Ketika ini Tetap mempan Buat menyentuh nurani dalam Membangun keputusan? Atau sebaliknya, mereka bagian dari perilaku korup itu sendiri? Sudah lelet negeri ini dikoyak-koyak oleh politik pragmatisme, bagi-bagi jabatan, yang ‘membunuh’ liabilitas moral dan etis individu para elite. Akibatnya, politik semacam itu tanpa sadar telah menjerembapkan para elite ke dalam kerja-kerja pamrih yang jauh dari spirit pengorbanan.

Prabowo memang menghadapi dilema, mau membentuk ‘kabinet zaken’ (kabinet profesional), atau sebaliknya membentuk kabinet berdasarkan politik balas jasa demi Dalih menjamin stabilitas penadbirannya.

Tetapi, Krusial diingat, membangun negeri ini Tak mungkin hanya Tamat di level mencerna dilema-dilema seperti itu. Karena hal tersebut perlahan-lahan akan menggerus ketulusan para elite di dalam bernegara dan melayani rakyatnya. Seolah-olah apa yang dilakukan mereka harus terikat pada politik balas budi, yang Bahkan akan kian melemahkan sense of belonging mereka terhadap negeri ini. Apa jadinya bangsa ini Kalau ia dikelola oleh elite-elite yang tak Ikhlas bekerja?

Mungkin Anda Menyukai