Penanganan Infeksi HIVAIDS di Indonesia, Sebuah Catatan reflektif

 Penanganan Infeksi HIV/AIDS di Indonesia, Sebuah Catatan reflektif
Irwanto(Dok pribadi)

LEBIH dari 30 tahun kita bergulat untuk menangani pandemi HIV/AIDS yang merambah Indonesia pada akhir 1980an. Di masa awal pandemi, kebijakan publik diwarnai dengan gerakan masyarakat yang mengandung stigma dan diskriminasi. Karena infeksi ini dianggap sebagai penyakit yang disebabkan karena perilaku seks yang menyimpang.

Bertahun-tahun setelah ditemukannya kasus di Surabaya dan Bali, pemerintah bersama para ahli dan aktivis berusaha keras untuk menghapus stigma dan diskriminasi. Karena dampaknya yang sangat buruk pada keberhasilan program, baik pencegahan maupun pengobatan dan pemulihan.

Akibat pandangan negatif masyarakat dan cepatnya penyebaran infeksi, maka dibentuklah sebuah komisi khusus dengan mandat spesifik untuk menangani infeksi HIV/AIDS. Mulai dari penggalangan dana (pemerintah, sektor swasta, dan mitra pembangunan) sampai dengan penyusunan kebijakan dan pelaksanaan program.

Kini pandemi tersebut telah dianggap sebagai epidemi penyakit menular seperti penyakit menular lainnya. Akibatnya tidak membutuhkan komisi khusus di luar sistem kesehatan nasional yang ada di lingkungan Kemenkes dan sektor-sektor terkait lainnya.

Keputusan yang diambil melalui Perpres No. 124 Pahamn 2016 tentang pembubaran KPAN, memberikan peluang transisi kepemimpinan dan pengelolaan yang perlu dikembangkan. Melalui keputusan ini diharapkan koordinasi lintas sektor dan pembiayaan negara (pusat dan daerah) seharusnya tidak menjadi masalah lagi.

Menyantap berbagai pencapaian saat ini, seharusnya kita memang tidak perlu gelisah dan pesimistis. Berdasarkan pemaparan Endang Lukito dari Kementerian Kesehata, kita masih dapat mengelola infeksi sebagai epidemi yang terkonsentrasi dalam kelompok (komunitas) kunci berisiko tinggi.

Epidemi yang bersifat generalized pun ada kecenderungan menurun di Papua Barat. Jumlah kasus infeksi baru juga mulai menurun. Testing mandiri mulai tersedia. Treatment profilaksis pra dan pascapajanan juga telah disediakan pemerintah.

Makin banyak klinik yang dapat melakukan testing, termasuk program tes dan pengobatan pun digiatkan. Telah ditetapkan standar minimal pengobatan yang membantu memperluas cakupan pengobatan pada ODHA. Biaya APBD juga semakin besar untuk dimobilisasi pemda dalam merespons epidemi HIV di daerahnya.

Beban kesehatan

Meskipun demikian, kita tetap harus mencatat bahwa HIV dan AIDS masih memberikan beban kesehatan yang besar dengan perkiraan ada 515.455 orang yang telah terinfeksi dan 26,501 orang meninggal setiap tahunnya (Kemkes RI, 2022). Selain itu, saya ingin mencatat beberapa hal penting yang masih tercecer dalam strategi kita saat ini.

Cek Artikel:  Mengharapkan Keadilan Pemilu di Mahkamah Konstitusi

Kemenken RI (2022) dalam Laporan Pahamnan HIV AIDS 2022 antara lain menyebutkan bahwa Indonesia masih tertinggal jauh dalam pencapaian target global 95-95-95% (Hasilnya: 81-41-19%). Cakupan pencegahan, tes HIV, pengobatan dan perawatan HIV atau IMS saat ini kurang optimal, terutama di antara populasi kunci, wanita hamil, bayi yang lahir dari ibu HIV+, anak-anak yang hidup dengan pasien HIV dan TB/HIV.

Cakupan pada PPIA juga belum menunjukkan capaian yang tinggi dalam pengobatan HIV atau sifilis. Lingkungan kebijakan kurang mendukung dan sumber daya serta kapasitas yang diinvestasikan kurang mendukung pelaksanaan program yang meluas, terintegrasi, dan komprehensif.

Program-program pendukung seperti three elimination (eliminasi infeksi HIV, sifilis, dan hepatitis B)  dan partner notification (pemberitahuan pada pasangan), penyediaan PrEP dan PEP masih perlahan kalau tidak mau dikatakan terseok. Oleh karena itu, perlu dipahami mengapa kita masih gundah.

Prof Zubairi Djoerban, ketua Panel Spesialis HIV dan PMS Kemenkes RI dalam sebuah workshop di Spesiala Atma Jaya (15/11/2023) menyatakan, “Indonesia tidak sedang baik-baik saja!”

Pandemi covid-19

Dalam rangka menangani pandemi covid-19 selama hampir 3 tahun, banyak sumber daya yang telah terkuras (termasuk banyak tenaga Kesehatan yang meninggal dunia). Mitigasi dampak buruk covid-19 telah menyebabkan pelaksanaan program prioritas, termasuk HIV dan AIDS yang tertunda atau harus slow-down.

Oleh karena itu, saat ini tidak mungkin melihat kemajuan yang berarti dalam penanganan infeksi HIV. Apalagi ‘bencana’ covid-19 memberikan pelajaran bahwa masih banyak penyakit baru yang mengancam karena berbagai faktor seperti kemiskinan yang tidak kunjung habis, perusakan lingkungan dan perubahan cuaca, globalisasi transportasi, dan gaya hidup manusia yang berisiko.

Itu berarti kita tidak boleh lalai terhadap infeksi yang masih menjadi beban kesehatan serius secara nasional, walau infeksi HIV bukan satu-satunya yang menuntut prioritas. Demi itu, kita harus dapat belajar dari prinsip-prinsip praktik terbaik di seluruh dunia.

Berbagai kajian terhadap best-practice di dunia (UNAIDS, 2022), diakui bahwa partisipasi komunitas kunci yang bermakna dalam menentukan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS adalah satu kunci penting keberhasilan program.

Cek Artikel:  Papua, Damai Sebelah Hati

Arah kebijakan

Dalam periode koordinasi oleh KPAN, telah ditempuh langkah-langkah berani untuk menyediakan tempat (ruang fisik dan ideologis). Hal ini dimaksudkan agar terjadi suatu kepemimpinan kolektif seperti primus inter pares antara berbagai stakeholder inti, khususnya bagi wakil-wakil komunitas yang terdapak HIV dan AIDS, dengan perwakilan pemerintah dan profesional.

Arah kebijakan nasional merupakan hasil kerja sama untuk mencapai kepentingan bersama. Ini menjadi sangat penting ketika selama ini, persoalan stigma dan diskriminasi masih menjadi momok keberhasilan program.

Hilangnya ruang-ruang aman dalam koordinasi nasional menyebabkan kesulitan mengelola informasi dan ide-ide inovatif untuk mendukung program. Ketika penanganan epidemi berubah dan badan koordinasi di luar sistem tidak ada, kita patut bertanya; di mana dan bagaimana memastikan partisipasi masyarakat yang terdampak dalam infrastruktur dan mekanisme yang baru ini?

Menjawab pertanyaan itu berarti menjawab dan mendukung tema Hari AIDS Sedunia 2023 yaitu Let Communities Lead dan tema nasionalnya Bergerak Berbarengan Komunitas: Akhiri AIDS 2030. Inilah pekerjaan rumah kita yang pertama, memastikan kepemimpinan yang koordinatif dan mampu mendengarkan atau mengakomodasikan partisipasi masyarakat terdampak HIV.

Kedua, meskipun lanskap strategi nasional kita tidak perlu berubah, pola implementasinya terutama dalam pelibatan populasi kunci, investasinya dan pola serta kualitas komunikasinya perlu diperbaiki.

Salah satu hambatan klasik dalam persoalan ini adalah kurang seriusnya menangani stigma dan diskriminasi. Antarlembaga negara saja sering tidak ada sinkronisasi dan konsistensi. Sedangkan dalam aspek penerapan hukum, sering terjadi pembiaran (impunisasi) dan memelihara viktimisasi terhadap populasi kunci yang marginal.

Hal ini diperparah dan ketersediaan, jenis, dan pola komunikasi dari berbagai informasi yang dibutuhkan. Karena menyangkut informasi sensitif dan sasaran populasi yang terstigma, populasi umum (terutama ibu-ibu dan remaja) sering tidak terinformasi.

Seolah-olah mereka tidak membutuhkan atau tidak perlu peduli dengan persoalan ini; populasi mengenai HIV dan AIDS, cara penularannya serta cara pencegahannya harus menjangkau dan dikuasai semua lapisan masyarakat dalam suasana yang terbuka dan berperspektif Kesehatan Komunitas bukan moralitas.

Cek Artikel:  Mengevaluasi Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Hanya dengan berbekal informasi ini, siapapun yang mempunyai relasi dengan populasi kunci dapat berdialog dan menegosiasikan kepentingan kesehatan dirinya. Semoga memperlancar program notifikasi pasangan.

Ketiga, kita perlu bekerja sama untuk mengejar ketinggalan pencapaian program-program kunci. Komunitas terdampak HIV perlu menunjukkan responsivitas dalam upaya pencegahan melalui regulasi perilaku berisiko, pemanfaatan teknologi farmasi untuk mencegah penularan, dibantu untuk merasa aman untuk memeriksakan diri sedini mungkin (termasuk testing mandiri) dan menjangkau treatment secepatnya pula.

Di pihak regulator, khususnya pemerintah, perlu memastikan bahwa aturan-aturan untuk mengatasi stigma dan diskriminasi, diimplementasikan secara konsisten melalui program pemberian sanksi (stick) dan insentif (carrot) yang dapat disepakati.

Secepatnya mengintegrasikan berbagai layanan yang relevan (terutama bagi remaja, ibu, dan anak) untuk pencegahan dan pengobatan dini (termasuk profilaksis untuk bumil). Donasi swasta, profesional dan akademisi untuk perluasan jangkauan program testing (termasuk laboratorium) dan ketersediaan reagensia dan pengobatan untuk mendukung program three elimination. Hal ini sangat krusial.

Program penanganan PMS sangat dibebani oleh paradigma moralitas (bahkan oleh profesional Kesehatan), sehingga ada keengganan individu dengan risiko tinggi takut untuk memeriksakan diri dan memberitahu pasangannya. Kalau ini dibiarkan, fenomena penyakit yang terabaikan (seperti kusta) akan terjadi pada HIV dan AIDS serta infeksi yang ditularkan cairan tubuh (termasuk darah) lainnya.

Sudah cukup banyak yang dicatat dan didiskusikan dalam ruang opini yang sempit ini. Pesan kunci yang ingin disampaikan adalah bahwa program penanggulangan HIV dan AIDS masih layak menjadi program prioritas karena menjadi disease burden yang tinggi.

Demi mencapai indikator-indikator keberhasilan program yang sudah menjadi komitmen nasional diperlukan; pertama, struktur dan mekanisme yang menjamin tumbuhnya kepeminpinan yang inklusif berbasis paradigma kesehatan masyarakat.

Kedua, mendorong kontribusi berbagai pihak, khususnya pihak swasta, profesional, dan akademisi untuk ikut mengembangkan program dan memperkecil unmet needs yang saat ini kesenjangannya masih sangat signifikan.

Ketiga, bekerja keras untuk mengemas komunikasi dan informasi melalui berbagai media sesuai dengan karakteristk populasinya. Dengan begitutidak ada satu warga negara pun yang ketinggalan informasi mengenai HIV dan AIDS.

Mungkin Anda Menyukai