Deklarasi Capres bukan Dosa

SALAH satu tugas Penting partai politik ialah menyiapkan pemimpin. Langkah itu bukan saja lumrah, tapi Niscaya. Apalagi dalam negara demokrasi, menimang-nimang calon pemimpin itu hukumnya wajib ‘ain bagi partai politik.

Maka, saya sangat heran bila Eksis yang sinis dan mencibir parpol gara-gara mendeklarasikan calon pemimpin negara. Makin heran bila sinisme itu muncul dari politisi. Tambah heran kuadrat Apabila yang mencibir itu petinggi partai.

Ketika Eksis parpol mendeklarasikan calon presiden, mestinya disambut dengan antusias. Mengapa? Karena langkah itu menandakan demokrasi kita hidup. Deklarasi itu juga menunjukkan bahwa parpol kita bekerja sepanjang waktu, bukan hanya di detik-detik menjelang pemilu sebagaimana lazimnya.

Langkah itu sekaligus menjawab sinisme Thomas Jefferson yang mengatakan bahwa politisi hanya menanti pemilu ke pemilu. Deklarasi itu serupa ajakan saatnya berkompetisi, sampaikan visi, atur strategi, wujudkan kemenangan yang punya Maksud bagi negeri.

Langkah parpol itu berarti pula perwujudan bahwa demokrasi kita memang Dapat diandalkan menjadi kanalisasi bagi publik. Kanalisasi itu Berfaedah Buat menilai apa yang mesti diperbaiki dari negeri ini. Sebagai Penilaian agar demokrasi berjalan efektif dalam mewujudkan kesejahteraan.

Cek Artikel:  Kebahagiaan Sepak Bola

Jadi, kita mestinya berterima kasih atas deklarasi itu. Bukan malah sebaliknya; mengecam, mencibir, menyerang, memampatkan jalan. Ucapan-ucapan bahwa Eksis partai ‘antitesis’ terhadap pemerintah setelah selama ini Berbarengan-sama pemerintah, gara-gara parpol itu mendeklarasikan capres, ialah pernyataan aneh di alam demokrasi.

Sang pembuat pernyataan sepertinya belum menghayati kesejatian demokrasi. Ia paham apa itu demokrasi, tapi Tak menghayati bagaimana demokrasi itu mesti dijalankan. Ia boleh saja mengusung gebyar simbol demokrasi, tapi belum Tamat pada substansi demokrasi.

Eksis tiga hal pokok yang menjadi substansi demokrasi, Merukapan kompetisi, partisipasi, dan kebebasan. Kompetisi dalam demokrasi berarti Bertanding Buat mendapatkan dukungan dari rakyat. Salah satu perwujudannya, ya, menyodorkan calon pemimpin Buat dikontestasikan lewat pemilu dan pilpres.

Partisipasi artinya rakyat terlibat dalam pemerintahan dan proses politik. Dengan menyodorkan nama capres sejak Pagi, artinya parpol tengah membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya bagi diskursus capres beserta visi dan misinya.

Cek Artikel:  Jogetan Harga Pangan

Itu sekaligus perwujudan dari Maju mengikhtiarkan kebebasan. Kebebasan dalam demokrasi Dapat dimaknai rakyat bebas menentukan pilihan. Bagaimana rakyat Dapat bebas menentukan pilihan Apabila parpol Tak menyediakan pilihan-pilihan?

Kalau sedari awal sudah dibatasi parpol hanya boleh mendeklarasikan capresnya sekian bulan menjelang pemilu, dari mana rakyat Dapat menilai calon tersebut? Kalau memang demokrasi sekadar pajangan, ya sudah, kembali saja ke model kebulatan tekad seperti Orde Baru. Ramai-ramai orang digiring Buat memilih itu Tengah, itu Tengah. Kalau Eksis Bunyi berbeda, rezim dan politisi ramai-ramai ‘menggebuki’ Bunyi yang berbeda itu hingga remuk redam, babak belur, layu sebelum berkembang.

Pada era itu, kompetisi politik bukan berisi kompetensi, melainkan Malah penuh dengan Pura-pura. Hasil akhir menjadi tujuan, bukan Langkah yang menjadi pegangan. Aturan main yang sudah dibuat sekadar Slogan, tak punya kemampuan mengikat. Parpol menjadi pembebek, alih-alih Berdikari.

Cek Artikel:  Menguji Megawati

Jernih bukan era seperti itu Tengah yang kita kehendaki. Kini bukan Tengah era ketika kata stabilitas jadi mantra sakti Buat membunuh partisipasi, membonsai kebebasan, mengerangkeng kemerdekaan. Maka, ketika Partai Gerindra mencapreskan Tengah Prabowo Subianto dan Partai NasDem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres, Jernih bukan aib, bukan ‘dosa’.

Sebaliknya, itu perwujudan paripurna bagi tegak teguhnya demokrasi. Meminjam istilah Jim Collins dalam Good to Great, deklarasi capres sejak Pagi itu sama seperti menyiapkan calon pemimpin Level 5.

Pemimpin Level 5, tulis Jim Collins, membuka jalan bagi penerus mereka Buat meraih kesuksesan lebih besar Tengah di generasi berikutnya. Sementara itu, pemimpin egosentris Level 4 kerap membuka jalan bagi kegagalan penerus mereka.

Apabila parpol yang sudah menyiapkan capresnya Dapat dikategorikan setara pemimpin Level 5, Lampau yang menghalang-halangi, mencibir, mengolok-olok, masuk level berapa? Atau, jangan-jangan ia belum mencapai level mana pun, alias enggak level?

Mari nikmati proses ini sembari menyeruput kopi demokrasi.

Mungkin Anda Menyukai