PENGACARA papan atas tentu mahal bayarannya. Bayaran mahal itu selama ini tak pernah menjadi pokok pembicaraan di ruang publik. Itu urusan pengacara dengan kliennya. Kali ini urusan itu ‘melebar’ ke mana-mana.
Adalah seorang pengacara terkemuka yang juga ketua Lazim sebuah partai politik menangani perkara mengenai AD & ART partai politik lain. Belum pernah terjadi judicial review terhadap AD & ART sebuah partai politik.
Pengacara itu bernama Yusril Ihza Mahendra. Dia Ketua Lazim Partai Bulan Bintang (PBB). Di dalam kedudukan sebagai pengacara dia diberi kuasa oleh empat penggagas kongres luar Lazim Partai Demokrat Demi menguji (judicial review) Anggaran Dasar dan Aturan Rumah Tangga Partai Demokrat.
Kongres luar Lazim Partai Demokrat menghasilkan ketua Lazim baru Moeldoko. Akan tetapi, pendaftaran kepengurusan hasil kongres luar Lazim itu ditolak Kementerian Hukum dan HAM. Karena itu, AHY tetaplah menjadi Ketua Lazim Partai Demokrat yang Absah.
Publik mengira tamatlah riwayat hasil kongres luar Lazim. Rupanya Tak. Yusril muncul dengan Informasi besar. Dia berpandangan MA berwenang menguji konstitusi partai politik. Sebuah perkara yang tak terpikirkan oleh siapa pun yang tentu dapat ‘membahayakan’ kedudukan AHY. Benarkah?
Menko Polhukam Mahfud MD berpendapat, kendati upaya hukum yang dilakukan Yusril berhasil, hal itu tak Terdapat gunanya. Kenapa? Keputusan itu tak dapat menjatuhkan AHY.
Yusril menjawab Mahfud. Partai memainkan peranan besar dalam penyelenggaraan negara. Bagaimana negara akan sehat dan demokratis kalau partai-partai monolitik, oligarkis, dan nepotis?
Ekonomis saya, sebagai eksekutif yang mengoordinasikan bidang hukum, tak elok Mahfud mengomentari perkara di ranah kekuasaan kehakiman. Tak elok, sekalipun dia profesor hukum tata negara serta mantan Ketua MK.
Ahli hukum tata negara Jimly Asshiddiqie berkomentar pedas perihal etika bernegara. Katanya, ketua Lazim sebuah partai politik tak etis turut mempersoalkan AD & ART partai politik lain.
Yusril menjawab keras Jimly. Katanya, sebagai Ketua MK, Jimly mengabulkan gugatan terhadap Undang-Undang tentang Komisi Yudisial (UU KY). Padahal, UU Kekuasaan Kehakiman tegas memerintahkan agar hakim mundur menangani perkara kalau dia berkepentingan dengan perkara itu. “Di mana etika Prof Jimly?” Keputusan MK itu berakibat KY Tak Dapat mengawasi hakim MK. “Ini legacy paling memalukan dalam sejarah hukum kita ketika Prof Jimly menjadi Ketua MK.”
Ekonomis saya, Jimly telah memercik air di dulang, tepercik muka sendiri. Kiranya dia perlu menjawab kenapa di dalam perkara UU KY itu MK Tak menyerahkan review dilakukan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang (legislative review)?
Kubu AHY menyorot soal bayaran. Kata mereka, seminggu sebelum putusan Kemenkum dan HAM Terdapat pertemuan dengan pihak Yusril yang meminta bayaran Rp100 miliar. Kubu AHY menolak halus karena melampaui batas-batas kepantasan, seakan hukum dapat diperjualbelikan. Bayangkan di pihak yang Betul saja, demikian klaim mereka, dimintai tarif Rp100 miliar.
Ekonomis saya, kubu AHY menilai Yusril mata duitan. Sok membela demokrasi, padahal membela yang bayar.
Kata Yusril, komisi orang, rezeki orang, kok, dipersoalkan? Itu Tak esensial. Lebih Berkualitas menyiapkan argumentasi di MA.
Demi melawan Yusril, kubu AHY didampingi pengacara Hamdan Zoelva. Dia mantan Ketua MK. Dia pernah satu partai di PBB dengan Yusril. Dia tentu menyiapkan argumentasi Demi melawan argumentasi Yusril. Berapa Hamdan Zoelva dibayar?
Ekonomis saya, kiranya bagus bila kubu AHY juga membuka berapa pengacara Hamdan Zoelva minta bayaran dan berapa akhirnya yang disepakati. Berapa, sih, bayaran yang mereka nilai Tak mata duitan, Tak tergolong jual beli hukum?
Siapa yang menang di dalam pertarungan kedua kubu di tubuh Partai Demokrat itu bukan moral tulisan ini. Tulisan ini mau sok arif dan bijaksana bilang betapa elok bila Dana itu digunakan Demi menjaga kebersamaan alih-alih ongkos membayar perselisihan internal. Ribut itu ‘makan hati’, mahal pula ongkosnya.