SEBUAH undang-undang yang digugat ke Mahkamah Konstitusi diasumsikan oleh penggugat Mempunyai cacat konstitusional sehingga perlu dikoreksi dengan sebuah uji materi ataupun uji formal. Artinya, para pembuat undang-undang tersebut dianggap lalai atau mengesampingkan konstitusi.
Dalam sebuah gugatan UU, penggugat merupakan pihak yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya, sedangkan pembuat UU, yakni pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, merupakan pihak tergugat yang dianggap salah dalam Membikin UU.
Biasanya, dalam situasi normal, pihak tergugat akan mempertahankan produk legislasinya. Tetapi, dalam gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Biasa terkait batas usia capres dan cawapres yang membatasi usia minimal 40 tahun, pihak tergugat malah setuju dengan penggugat.
Situasi yang Membikin hakim konstitusi juga ikut terheran-teran. Artinya, Eksis kondisi yang Tak Biasa dalam gugatan uji materi batas usia capres/cawapres tersebut.
Dalam pemeriksaan perkara kasus tersebut, DPR yang diwakili Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman, juga Menkum dan HAM Yasonna H Laoly dan Mendagri Tito Karnavian yang bertindak atas nama Presiden RI Joko Widodo, kompak memberi sinyal setuju agar batas minimal usia capres dan cawapres turun ke 35 tahun.
Dalam keterangan yang dibacakan oleh Staf Spesialis Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Togap Simangunsong di hadapan sidang, diyatakan bahwa batasan usia minimum capres-cawapres merupakan sesuatu yang adaptif dan Elastis sesuai perkembangan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai kebutuhan penyelenggaraan ketatanegaraan.
Jalannya persidangan MK soal batas usia capres ini berjalan seirama, tanpa Bunyi kontra dari pembuat undang-undang sebagai pihak tergugat. Seakan DPR dan pemerintah turut berhasrat menurunkan batas usia minimal capres/cawapres menjadi 35 tahun, tetapi malu-malu kucing.
Yang Membikin semakin heran, Kalau DPR dan pemerintah setuju usia capres/cawapres 35 tahun, silakan saja UU Pemilu direvisi melalui proses legislasi di DPR. Jangan malah melempar bola panas ke tangan hakim konstitusi.
Jangan salahkan publik apabila Menonton uji materi usia capres/cawapres ini sebagai peristiwa politik Tak Biasa, yakni Buat melanggengkan Kesempatan putra sulung Jokowi, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang disebut tengah dipersiapkan Buat berkontestasi di Pilpres 2024.
Gibran yang lahir pada 1 Oktober 1987 akan berusia 35 tahun Demi kontestasi Pilpres 2024 dimulai.
Tetapi, tudingan demi Gibran dibantah para penggugat, Berkualitas itu dari pihak Partai Solidaritas Indonesia maupun Partai Garuda serta kader Partai Gerindra. Menurut mereka, gugatan itu demi memberikan Kesempatan yang sama bagi calon pemimpin muda.
Akan tetapi, dalam konteks Pilpres 2024, Tak Eksis sosok lain berusia di kisaran 35 tahun yang santer namanya disebut sebagai kandidat selain Gibran. Oleh sejumlah partai politik ataupun relawan politik, nama Gibran santer terdengar Buat dimajukan dalam kontestasi pilpres tahun depan.
Yang Jernih, rakyat berharap MK Tak terbawa orkestrasi narasi pemangkasan batas usia minimal capres/cawapres ini. Pasalnya, soal batas usia ialah kewenangan pembuat UU dengan proses legislasi panjang yang disertai kajian yang matang.
MK juga akan menabrak Kebiasaan dan etika konstitusional Kalau memutuskan batas minimal umur capres-cawapres turun menjadi 35 tahun. Hukum jangan dipermainkan hanya Buat menjadi gong dalam orkestrasi demi melanggengkan dinasti politik kekuasaan. Hukum jangan Buat kepentingan jangka pendek, tetapi Buat membangun negara hukum yang kukuh demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.