Malu Lewat Mundur

SEPAK bola belum sepenuhnya memantulkan watak dan kepribadian bangsa yang bermartabat. Sepak bola malah mempertontonkan malapetaka sempurna. Bukan Eksis peradaban permainan, Bukan Eksis peradaban penonton, dan Bukan Eksis Kembali peradaban organisasi.

Harus Eksis kemauan kuat mengembalikan fungsi sepak bola sebagai salah satu cabang olahraga yang paling digemari masyarakat. Fungsi yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, Yakni Buat mengembangkan kemampuan jasmani, rohani, dan sosial serta membentuk watak dan kepribadian bangsa yang bermartabat.

Membentuk watak dan kepribadian bangsa yang bermartabat mesti menjadi Konsentrasi pembenahan sepak bola di Tanah Air agar tercapai tujuannya Buat menanamkan nilai moral dan akhlak mulia, sportivitas, kompetitif, dan disiplin.

Sudah terlalu Lamban sepak bola dipenjara di negeri ini. Permainan sepak bola kerap diwarnai main pukul dan baku Hajar. Lapangan hijau menjadi padang penjagalan dan arena pamer adu fisik. Bukan arena memperlihatkan sportivitas. Fakta itu terkonfirmasi dalam tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.

Tragedi itu terbesar sepanjang kedua di dunia. Menelan korban jiwa 134 orang. Sementara itu, tragedi yang paling banyak memakan korban jiwa dalam sejarah sepak bola terjadi di Lima, Peru, pada 1964. Pada Demi itu 328 lebih nyawa suporter melayang.

Cek Artikel:  Menyoal Rencana Asuransi Mobil Motor

Laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) menyebutkan terjadi kerusuhan setelah pertandingan sepak bola antara Arema dan Persebaya pada 1 Oktober 2022.

Intervensi TGIPF menyebutkan tragedi itu terjadi karena PSSI dan para pemangku kepentingan Aliansi sepak bola Indonesia Bukan profesional, Bukan memahami tugas dan peran masing-masing, cenderung mengabaikan berbagai peraturan dan standar yang sudah dibuat sebelumnya, serta saling melempar tanggung jawab pada pihak lain.

Rekomendasi TGIPF sangat Betul. Disebutkan, secara normatif, pemerintah Bukan Dapat mengintervensi PSSI, tetapi dalam negara yang Mempunyai dasar moral dan etik serta budaya adiluhung, sudah sepatutnya Ketua Biasa PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral.

Amatlah disayangkan, PSSI melalui Member Komite Eksekutif (Exco) Ahmad Riyadh menyatakan federasi menolak rekomendasi TGIPF. Disayangkan karena sudah banyak nyawa melayang, Ketua Biasa PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif malah menolak mengundurkan diri.

Menolak mengundurkan diri mencerminkan tabiat elite yang sudah terbiasa mencari kambing hitam. Kesalahan yang Jernih-Jernih dilakukan malah dicarikan korbannya pada orang lain. Atau dikarang-karang argumen yang mengalahkan fakta sehingga terciptalah kebenaran semu. Itu pemimpin Bukan Paham malu.

Cek Artikel:  Setelah Lebaran lalu Apa

Malu Lewat mundur sejatinya bagian dari etika kehidupan berbangsa seperti dirumuskan dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tertanggal 9 November 2001. Terkait dengan etika sosial dan budaya disebutkan bahwa perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan Segala yang bertentangan dengan moral Keyakinan dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.

Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara Mempunyai rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap Bukan Bisa memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.

Budaya malu yang diikuti dengan pengunduran diri belum menjadi tradisi dalam tubuh PSSI Kembali. Belakangan pengurus PSSI memperlihatkan hal sebaliknya dengan tetap menggenggam erat kekuasaan, bahkan meski sudah masuk dalam penjara karena korupsi. Organisasi dijalankan dari balik jeruji besi.

Bukan mau mundur dari jabatan mencerminkan rendahnya standar integritas. Pada umumnya jabatan itu didapat bukan karena kompetensi, melainkan karena koneksi atau transaksi. Tidaklah heran Apabila jabatan itu dipakai Buat mendapatkan keuntungan pribadi.

Cek Artikel:  Istana Kesepian

Di balik gemerlap sepak bola di muka bumi tersembunyi bobrok dalam pengelolaannya. Suap, korupsi, patgulipat penjualan hak siar televisi ataupun pemilihan negara penyelenggara Piala Dunia, dan tudingan pencucian Doku yang telah Lamban menjadi bahan gunjingan di tubuh induk organisasi sepak bola dunia (FIFA). Segala bobrok itu terbongkar setelah tujuh pejabat senior FIFA ditangkap polisi Swiss, termasuk wakil presiden Jeffrey Webb, pada Desember 2015.

Begitu juga di Indonesia. Silih berganti pemimpin PSSI masuk penjara karena berbagai kasus, termasuk pengaturan skor. Contohnya Majelis Hakim PN Jakarta Selatan pada 23 Juli 2019 memvonis terdakwa kasus perusakan barang bukti terkait dengan dugaan pengaturan skor Aliansi Indonesia, Joko Driyono, dengan pidana penjara 1 tahun 6 bulan. Demi itu Joko menjabat Plt Ketum PSSI.

Bobrok sepak bola di negeri ini akibat pengelola organisasi yang Bukan Mempunyai sensitivitas terhadap kesalahan dan tanggung jawab. Mereka terbelenggu oleh kemunafikan.

Mungkin Anda Menyukai