DI negeri ini, semua hal bisa dan boleh dipersoalkan. Itulah ‘risiko’ negara demokratis. Dari urusan air, sampah, hingga soal cuti bersama bebas untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Boleh setuju dan menyambut dengan sukacita, tapi sah pula mengeluhkan, memprotes, atau menolak. Segala tergantung sudut pandang dan argumentasi masing-masing.
Dalam urusan cuti bersama, misalnya, para pengusaha mengeluhkannya dan memprotesnya. Tetapi, para pekerja dan usaha wisata menyambutnya dengan riang gembira. Pengusaha manufaktur dan jasa logistik memandang cuti bersama itu merugikan, menyebabkan inefisiensi, dan mengganggu produktivitas.
Sebaliknya, para pekerja dan kalangan usaha pariwisata menilai cuti bersama itu kenikmatan, juga rezeki nomplok. Apalagi cuti bersama itu menempel pada hari Sabtu dan Minggu. Bisa dapat bonus libur panjang.
Tetapi, dalam sudut pandang kalangan pengusaha di sektor manufaktur, cuti bersama itu lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Maka itu, mereka mendesak pemerintah agar mengevaluasi atau bahkan menghapus kebijakan cuti bersama.
Argumen mereka ialah cuti bersama memicu libur panjang yang mengganggu rencana produksi sektor manufaktur. Terdapat yang menilai bahwa soal libur, apalagi cuti bersama, seharusnya tidak diatur pemerintah, tetapi oleh dunia usaha.
Meski selama ini pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja selalu beralasan bahwa cuti bersama itu kebijakan fakultatif atau sebagai pilihan saja, tidak wajib, dalam praktiknya aturan itu dimaknai sebagai tanggal merah.
Itu artinya, menurut para pengusaha manufaktur, seluruh elemen pekerja akan menuntut bahwa itu seolah perintah wajib. Pokoknya, hari kejepit nasional itu dalam pandangan pengusaha jelas-jelas mengganggu produktivitas.
Selama ini dunia usaha, termasuk manufaktur padat karya, memang bekerja berdasarkan kontrak-kontrak yang telah dibuat oleh pembeli. Kontrak-kontrak pembelian itu tak peduli dengan jadwal cuti bersama yang dibuat pemerintah. Maka itu, saat libur cuti bersama, begitu umumnya pendapat para pengusaha, bukan hanya persoalan produksi yang terganggu, melainkan juga dari sisi transportasi dan layanan perbankan. Demi dua layanan itu juga libur panjang, otomatis sektor produksi akan terkena imbasnya.
Para pengusaha mengingatkan ihwal produktivitas pekerja di Indonesia termasuk yang rendah di ASEAN. Pada saat yang sama, kenaikan upah terus terjadi saban tahun. Karena itu, soal seringnya cuti bersama menjadi perhatian serius pemerintah. “Perlu ada evaluasi agar cuti bersama libur nasional dipertegas untuk sektor-sektor tertentu atau tak diatur sama sekali. Jangan sampai kebijakan cuti bersama dimaknai bagian dari deindustrialisasi di Indonesia,” begitu pandangan sejumlah pengusaha di Apindo.
Akan tetapi, benarkah bahwa produktivitas pekerja kita terlalu rendah? Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengakui bahwa persentase produktivitas tenaga kerja Indonesia memang masih di angka 74,4%. Tingkat produktivitas itu berada di bawah rata-rata produktivitas pekerja ASEAN yang 78,2%.
Apalagi mayoritas tenaga kerja Indonesia, yaitu hampir 60%, masih tamatan SMP ke bawah. Mereka memiliki keterbatasan skill sehingga akan sulit untuk meningkatkan produktivitas dan bersaing. Harus ada pembenahan sistemis dan didukung anggaran yang mumpuni untuk pelatihan dan pendidikan vokasi serta peningkatan ekosistem SDM pekerja.
Kendati begitu, data Kemenaker juga menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja Indonesia meningkat dalam lima tahun terakhir. Menurut definisi Kemenaker, produktivitas tenaga kerja ialah rasio antara produk barang/jasa dan tenaga kerja yang digunakan, baik individu maupun kelompok, dalam satuan waktu tertentu. Rasio itu mencerminkan besaran kontribusi tenaga kerja dalam kegiatan ekonomi.
Kemenaker menghitung produktivitas tenaga kerja nasional dengan rumus jumlah produk domestik bruto (PDB) dibagi jumlah penduduk yang bekerja. Hasilnya, pada 2018 angka produktivitas Indonesia mencapai Rp82,56 juta per tenaga kerja per tahun. Mengertin berikutnya angka produktivitas meningkat, tetapi pada 2020 angkanya turun seiring dengan terjadinya pandemi covid-19.
Pada 2021, produktivitas mulai bangkit lagi hingga mampu mencapai Rp86,55 juta per tenaga kerja per tahun pada 2022 sekaligus merupakan rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir. Kalau dihitung secara kumulatif, selama periode 2018-2022 produktivitas tenaga kerja Indonesia sudah meningkat 4,8%. Bahkan, pada beberapa sektor industri tingkat produktivitas pekerja kita sudah menyalip pekerja Malaysia.
Bila kondisinya demikian, bolehlah kiranya para pekerja diberi libur ekstra, begitu kira-kira sambutan gembira para pekerja menanggapi cuti bersama. Bagi usaha pariwisata, cuti bersama yang melekat pada libur reguler plus libur hari besar ibarat pelumas yang membuat lancar dan kencang usaha.
Apa boleh buat pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus disangga oleh konsumsi rumah tangga akan menjadi cara paling cespleng membangkitkan sektor wisata yang juga bergantung pada konsumsi. Maka itu, kelindan antara libur panjang dan kehendak untuk berbelanja serta jalan-jalan ialah situasi yang niscaya.
Sebetulnya, di banyak negara dengan tingkat produktivitas yang tinggi, jam kerja para pekerja lebih pendek daripada jam kerja di Indonesia. Pemendekan jam kerja dan penambahan hari libur justru menuai manfaat untuk jangka panjang, yakni naiknya produktivitas karena para pekerjanya bisa refresh.
Di sini, mungkin karena jam kerja sebagian pekerja yang terlalu panjang, mereka tidak punya kesempatan untuk healing dan resfreshing. Dampaknya, stres muncul, produktivitas segitu-segitu saja. Jadi, cuti bersama ini ibarat lagu Iwan Fals, Libur Kecil Kaum Kusam.