Kegamangan Tarif Whoosh

KERETA  Segera Jakarta-Bandung (KCJB) yang bernama Whoosh seperti tidak berhenti menuai persoalan. Sejak perencanaan, penentuan investor, hingga berujung dengan dijebolnya APBN dan rencana operasional yang terus mundur. Padahal, sejak awal pemerintah menegaskan proyek kereta cepat ini murni bisnis atau business to business.

Kini setelah rampung pun KCJB masih menemui kendala. Sejak diresmikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Minggu (1/10), kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) belum bisa beroperasi secara komersial.

Alih-alih menetapkan harga dan mengoperasikan Whoosh secara komersial, pemerintah malah memundurkan pengoperasian komersial kereta tersebut yang tadinya dijadwalkan 2 Oktober menjadi ke pertengahan Oktober. Alias masih digratiskan sampai pertengahan bulan ini.

Pemerintah boleh saja berdalih pemunduran jadwal komersial Whoosh untuk memberi kesempatan kepada masyarakat yang masih ingin menjajal kereta yang diklaimnya sebagai layanan kereta api berkecepatan tinggi pertama di Indonesia dan Asia Tenggara itu. Padahal, masa uji coba gratis telah berlangsung dua pekan.

Cek Artikel:  Menanti Nyali Pansel KPK

Di balik pemunduran pengoperasian komersial itu, pemerintah diduga masih gamang dalam menentukan tarif kereta cepat tersebut. Pemerintah diyakini masih belum menemukan formula yang tepat untuk tarif kereta berkecepatan 350 kilometer per jam tersebut.

Dengan biaya investasi yang lebih dari Rp100 triliun, Whoosh diyakini bakal sulit balik modal. Juga dipastikan bakal sangat lama. Tadinya pemerintah menyebut tarif Whoosh di angka Rp250-350 ribu. Pun jika ditetapkan Rp350 ribu, ini bukan angka ideal. Kalau di harga tersebut, proyek ini baru bisa balik modal (return of investment/ROI) dalam kurun waktu 38 tahun setelah resmi dioperasikan berbayar. Itu pun jika minat masyarakat tinggi.

Selain investasi yang besar, Whoosh juga menyedot dana besar untuk pengoperasiannya. Sebagai ancar-ancar, untuk satu kali keberangkatan, Whoosh diperkirakan membutuhkan daya listrik sekitar 260 mega volt ampere (MVA), atau jika dirupiahkan sekitar Rp9,4 juta. Lampau, KCIC juga harus menanggung biaya persinyalan ke Telkomsel karena menggunakan teknologi Dunia System Mobile-Railway (GSM-R) di spektrum 900 Mhz. Plus, ada biaya perawatan kereta dan operasional perusahaan.

Cek Artikel:  Akhiri Perbudakan Modern

Biaya lainnya yang juga harus dibayarkan ialah biaya persinyalan, biaya perawatan, dan gaji karyawan.

Karena bukan termasuk kereta ekonomi, Whoosh tidak boleh mendapatkan subsidi tarif alias public service obligation (PSO). Artinya pemerintah harus menentukan harga keekonomian yang mampu menutupi biaya operasional.

Ini pun bisa membuat pemerintah bimbang karena jika harga terlalu jauh dari harga kereta Argo Parahyangan Jakarta-Bandung yang dibandrol Rp200 ribu untuk kelas eksekutif, Whoosh tidak akan menarik minat masyarakat.

Sungguh miris, proyek ratusan triliun yang menjadikan APBN sebagai jaminan seperti proyek main-mainan. Demi harga tiket pun masih belum ditentukan meski telah diresmikan.

Presiden Jokowi bisa berdalih kesulitan-kesulitan serta masalah yang dihadapi di lapangan dalam pembangunan kereta cepat merupakan sebuah pengalaman yang sangat berharga. Tetapi, pengalaman tersebut merupakan pengalaman yang amat mahal harganya karena harus menggadaikan APBN dan utangnya harus ditanggung anak cucu kelak.

Cek Artikel:  Deminya OKI Menjinakkan Israel

Presiden Jokowi juga boleh bergembira dan mengklaim kehadiran Whoosh menandai modernisasi transportasi massal di Tanah Air. Plus. Tetapi, jika hanya menjadi beban APBN, untuk apa. Semoga ke depan tidak ada lagi proyek yang bak simalakama, tidak dilanjutkan sudah menguras investasi, dilanjutkan menjadi beban APBN.

Mungkin Anda Menyukai