Keluar dari Jebakan

TERJEBAK itu tidak enak. Lebih-lebih jika yang terjebak sebagian besar rakyat di sekujur negeri. Imbasnya bisa ke banyak sendi, bahkan bisa mengenai mereka yang belum terkena atau tidak terkena jebakan.

Situasi potensial bakal terkena jebakan seperti itulah yang kerap diingatkan berbagai kalangan. Terdapat rasa waswas negeri ini bakal dilanda middle income trap, atau jebakan negara berpendapatan menengah. Rasa waswas muncul karena bila Indonesia masuk ke jebakan itu sulit rasanya bagi Republik ini untuk menjadi negara maju.

Padahal, kita sudah bertekad bulat menjadi negara maju. Faktanya sudah dua dasawarsa jalan ke arah itu belum benderang benar. Secara progres, pendapatan per kapita kita memang naik. Tetapi, kenaikan pendapatan per kapita itu belum signifikan, belum terlalu nendang. Tetap jauh dari cita-cita menjadi negara maju.

Apalagi, kesempatan bagi Indonesia untuk bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah tidak akan terbuka selamanya. Sayangnya, meski kita punya celah, ikhtiar untuk memanfaatkan sebaik-baiknya celah itu masih belum maksimal. Sepertinya belum ada orkestrasi yang sebangun di kalangan penentu kebijakan ihwal bagaimana meretas jalan menuju negara berpenghasilan tinggi alias negara maju.

Cek Artikel:  Sesak Napas karena Beras

Saya sepakat dengan pernyataan Presiden Joko Widodo saat menyampaikan Pidato Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran dan Belanja Negara, 16 Agustus lalu, ihwal tekad menuju negara maju. Kata Kepala Negara, modalitas untuk memperkuat transformasi ekonomi, yakni bonus demografi, harus dijalankan sebaik mungkin.

Kendati sepakat, saya belum mampu diyakinkan oleh Jolowi soal bagaimana bentuk dan cara menghela transformasi ekonomi itu. Saya skeptis transformasi itu bakal berlangsung mulus bila tidak ada upaya radikal untuk menggali potensi ekonomi kita dengan keringat yang lebih deras guna menghasilkan pertumbuhan tinggi.

Karena, untuk keluar dari middle income trap, kita butuh pertumbuhan ekonomi rata-rata 7-8%. Itu bila kita merujuk pada pernyataan Jokowi sendiri bahwa peluang untuk keluar dari jebakan kelas menengah bisa terjadi bila dalam sepuluh tahun ke depan pendapatan per kapita kita US$10.900 dari saat ini US$4.500.

Pendapatan dua kali lipat dalam 10 tahun itulah yang butuh pertumbuhan ekonomi 7-8% mulai tahun depan. Jernih, situasi yang sulit dibayangkan. Apalagi, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya 5,2%.

Sasaran seperti itu akan membuat beban target pertumbuhan yang lebih tinggi pada pemerintahan berikutnya. Selain itu, tantangan yang tidak kalah sengitnya ialah kualitas pertumbuhan. Bila negeri ini ingin segera keluar dari jebakan pendapatan menengah, pertumbuhan harus benar-benar berkualitas. Salah satu ciri pertumbuhan berkualitas ialah tingkat kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja, yang ujungnya peningkatan pendapatan warga.

Cek Artikel:  Janji yang Meleset

Bahkan di situlah letak paradoks antara cita dan fakta. Kita bercita-cita menaikkan pendapatan, tapi riwayat rata-rata pertumbuhan ekonomi kita dalam 10 tahun terakhir justru lebih rendah daripada 10 tahun sebelumnya. Begitu mengawali pemerintahan, Jokowi berjanji menaikkan pertumbuhan ekonomi negeri ini ke rata-rata 7% dengan pertumbuhan berkualitas.

Faktanya, sejak 2015 hingga 2023, rata-rata ekonomi kita tumbuh di seputar 5,3%. Sudah begitu, kemampuan pertumbuhan dalam menyerap tenaga kerja menurun drastis. Sepuluh tahun lalu, tiap 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap 270 ribu tenaga kerja. Kini, 1% pertumbuhan hanya mampu menyerap kurang dari 150 ribu tenaga kerja. Itu karena pertumbuhan ekonomi kita terus-menerus mengandalkan konsumsi rumah tangga yang porsinya lebih dari separuh untuk menopangnya (terakhir di angka 53,3%).

Terlalu naif kalau kita bilang tidak ada kemajuan dalam satu dadawarsa terakhir. Jernih bahwa pembangunan infrastruktur sudah digenjot besar-besaran. Tingkat keterhubungan antarwilayah, termasuk wilayah terpencil, kian membaik. Tetapi, sejumlah infrastruktur dibangun tanpa perencanaan matang. Walhasil, triliunan rupiah dana yang sudah digerojokkan (sebagian dibiayai dengan utang) belum berdampak seperti yang ditekadkan.

Cek Artikel:  Satu Bulan

Tengoklah Bandara Kertajati, Bandara Sudirman, dan beberapa bandara yang sudah diresmikan sejak tiga tahun lalu, hingga kini malah majal. Beberapa bandara itu bahkan seperti kuburan, tidak ada aktivitas layaknya bandara yang sibuk dengan lalu lalang manusia. Yang terdengar hanya suara gemuruh angin musim kemarau dan petir di musim hujan.

Beberapa proyek infrastruktur juga masih mengedepankan gengsi ketimbang fungsi. Proyek kereta cepat Halim-Tegalluar, yang jaraknya tidak sampai 200 kilometer, ialah contoh nyata bahwa simbol negara maju (salah satu tandanya punya kereta cepat) lebih penting ketimbang fakta negara maju.

Apakah itu sebuah transformasi? Apakah itu bisa memperdekat jarak dengan negara maju sepuluh tahun mendatang? Apakah cukup itu untuk bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah? Sepertinya masih terlalu banyak pertanyaan ketimbang ketersediaan jawaban. Seperti kutipan lirik Ebiet G Ade yang berulang kali disebut banyak orang: ‘coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang’.

Mungkin Anda Menyukai