KSP Sarankan Belanja Negara untuk Subsidi Dipangkas agar Defisit Tak Melebar

KSP Sarankan Belanja Negara untuk Subsidi Dipangkas agar Defisit Tak Melebar
Deputi III Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Edy Priyono.(MI/Insi Nantika Jelita)

DEPUTI III Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Edy Priyono mengusulkan agar belanja negara untuk subsidi energi dan non energi dipangkas. Hal ini untuk menekan pelebaran defisit dari penarikan jumlah utang yang lebih besar. Hal tersebut disampaikan dalam Seminar Nasional ‘Penilaian 1 Dasa warsa Pemerintahan Jokowi secara daring, Kamis (3/10).

Hingga akhir Agustus pendapatan negara terkumpul Rp1.777 triliun, sementara belanja negara mencapai Rp1.930,7 triliun. Dengan pendapatan dan belanja negara tersebut, defisit APBN  mencapai Rp153,7 triliun atau 0,68% dari produk domestik bruto (PDB) per 31 Agustus 2024. Supaya defisit tidak melebar, Edy menuturkan anggaran subsidi dari belanja negara non kementerian/lembaga (k/l) dialihkan supaya tepat sasaran.

“Utang ini munculnya dari defisit. Defisitnya munculnya dari mana? Karena kita belanja lebih besar daripada pendapatan. Bagaimana untuk melepaskan masalah utang? Ya defisitnya harus dikurangi,” ujarnya.

Baca juga : Penambahan Subsidi dan Belanja Kerek Defisit Anggaran

Cek Artikel:  Produsen China Kunjungi Pabrik Furnitur Indonesia Jajaki Kesempatan Kerja Sama

“Sebenarnya kalau dari sisi secara pribadi, salah satu solusinya ya potong saja belanja subsidi. Belanja-belanja subsidi yang banyak salah sasaran itu potong saja. Dijadikan menjadi lebih tepat sasaran,” sambung Edy.

Tiba saat ini, Edy menyampaikan pemerintah masih sulit meningkatkan kualitas belanja untuk menekan defisit negara. Masalah itu ditambah dengan rencana dari presiden terpilih Prabowo Subianto yang bakal menambah utang sebesar Rp775 triliun di tahun depan.

“Tiba sekarang pemerintah masih struggle dalam arti berjuang untuk meningkatkan kualitas belanja. Banyak belanja-belanja kementerian lembaga yang mestinya bisa dilakukan secara lebih efisien,” katanya.

Baca juga : Menkeu: Kecepatan Belanja Lebih Pelan dari Penerimaan Negara

Tetapi demikian, Edy berpandangan tidak mudah bagi pemerintah untuk memangkas penyaluran subsidi karena menyangkut kepentingan masyarakat dan kerap menjadi muatan politis

“Tapi hal itu (pemangkasan subsidi) secara politis belum tentu diterima. Mungkin kita kalau yang di ruangan ini bisa saja setuju. Tapi nanti kalau dibawa kepada proses politik belum tentu bisa diterima,” jelasnya.

Cek Artikel:  Daerah Punyai Peran Krusial dalam Pencapaian Visi 2045

Sebelumnya, Ketua Dewan Ahli Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Burhanuddin Abdullah mengungkapkan presiden terpilih Prabowo Subianto berencana mengubah skema subsidi energi menjadi bantuan langsung tunai melalui transfer ke masyarakat. Rencana tersebut ditujukan agar penyaluran subsidi energi yang terdiri dari bahan bakar minyak (BBM), elpiji 3 kilogram (kg), dan listrik tepat sasaran yakni untuk masyarakat miskin.

Baca juga : Menkeu: Belanja Subsidi dan Kompensasi Daya pada 2022 Bengkak Rp48 Triliun

“Kita ingin dengan data yang diperbaiki dan disempurnakan supaya  mereka (masyarakat miskin) itu diberikan saja transfer tunai langsung kepada mereka, bukan kepada komoditinya, tetapi kepada keluarganya yang berhak untuk menerima. Itu yang akan kita lakukan,” ujarnya dalam acara UOB Economi Outlook 2025 secara daring dikutip Jumat, (27/9).

Cek Artikel:  Pengelolaan Anggaran Pensiun yang Mudah dan Efisien QLola by BRI Jawabannya

Dia menerangkan masyarakat miskin di sejumlah daerah tidak menikmati subsidi energi dari pemerintah. Di Solo, Jawa Tengah, misalnya, Burhanuddin mengaku bertemu dengan masyarakat kecil yang hanya memiliki satu lampu di rumahnya. Lampau, ada juga masyarakat miskin yang terpaksa menggunakan gas elpiji 3 kg selama dua minggu untuk mengirit pengeluaran mereka.

Masyarakat tidak mampu juga dianggap tidak mendapat keuntungan dari penyaluran BBM subsidi, karena mayoritas peminum pertalite merupakan orang kaya.

“Minggu lalu saya pergi ke Solo, saya ketemu dengan pelanggan PLN yang paling bawah. Mereka bayar bulanannya paling Rp30 ribu, lampunya hanya satu. Orang-orang miskin, mereka juga sering tidak menerima atau tidak mendapat keuntungan dari subsidi BBM,” kata mantan gubernur Bank Indonesia (BI) itu. (N-2)

 

Mungkin Anda Menyukai