Taman Nasional Mutis Timau Dibagi Dalam Tujuh Area Pengelolaan

Taman Nasional Mutis Timau Dibagi Dalam Tujuh Zona Pengelolaan
Ilustrasi(MI/PALCE AMALO)

BALAI Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Nusa Tenggara Timur (NTT) meluruskan informasi salah di masyarakat terkait peralihan status Cagar Alam Mutis di Nusa Timor menjadi Taman Nasional Mutis Timau. 

Deklarasi Taman Nasional Mutis Timau sudah berlangsung sejak 8 September 2024 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), BBKSDA NTT, pemerintah provinsi dan kabupaten, serta tokoh masyarakat. Pasca deklarasi, muncul beberapa pernyataan publik yang menyesalkan perubahan fungsi kawasan cagar alam sebagai sebuah penurunan status.

Masyarakat juga mempersoalkan tidak adanya dialog bersama tokoh adat, tidak ada naskah akademik, kekhawatiran rusaknya hutan yang penting dalam tata air dan nilai budaya, hingga kecurigaan akan dibangunnya sarana wisata yang masif maupun kemungkinan eksploitasi bahan galian berupa logam berharga.   

Baca juga : KLHK Dorong Percepatan Pegunungan Meratus Menjadi Taman Nasional

Kepala BBKSDA NTT Arief Mahmud kemudian meluruskan informasi yang salah tersebut. Menurutnya, perubahan fungsi dari hutan lindung dan cagar alam menjadi taman nasional, tidak dikenal penurunan fungsi.  Menurutnya, total ada tujuh zonasi dalam pengelolaan Taman Nasional Mutis Timau yakni zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah, serta zona khusus. 

Cek Artikel:  Amphuri Percepatan Kompetensi para Penyelenggaraan Haji-Umrah di Seluruh Indonesia

“Upaya perubahan fungsi menjadi taman nasional akan mengakomodasi semua kepentingan  Pada saatnya setelah dilakukan pengaturan zonasi pengelolaan, akan dilakukan alokasi kawasan untuk kepentingan perlindungan sistem penyangga kehidupan serta pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya pada zona inti dan zona rimba,” kata Arief Mahmud di Kupang, Sabtu (5/10). 

Sedangkan, aktivitas masyarakat selama ini akan diakomodasi dan dimungkinkan secara legal melalui alokasi zona tradisional, zona religi dan zona pemanfaatan. Tak semua bagian kawasan akan dijadikan sebagai zona pemanfaatan untuk kepentingan wisata.  Menurutnya, dalam proses pengaturan zonasi akan dilakukan upaya konsultatif dengan semua unsur masyarakat termasuk masyarakat adat dan pemerintah melalui konsultasi publik. 

Cek Artikel:  Inilah 7 Makanan Pantangan yang Harus Dihindari oleh Penderita Penyakit Jantung

Baca juga : Pegunungan Meratus Diusulkan Jadi Taman Nasional

Eksispun proses menjadi taman nasional, jauh-jauh hari,  dilakukan kegiatan evaluasi kesesuaian fungsi cagar alam sebelum dilakukannya proses usulan perubahan fungsi tersebut.  Eksis juga dialog melalui diskusi terpimpin bersama komunitas masyarakat yang dilakukan di tujuh desa di tiga kabupaten yaitu Fatumnasi, Muis, Netemnanu, Lelogama, Oh’aem, Tasinifu, dan Bonleu.

“Komunikasi dengan tokoh adat setempat seperti pemangku adat Kerajaan Amfoang, Kerajaan Mollo dan Kerajaan Miomafo saat ini terus dijalankan, sosialisasi kepada masyarakat luas juga terus dilakukan agar masyarakat memahami bahwa perubahan fungsi ini dilakukan untuk pengelolaan hutan konservasi yang lebih baik dan memberikan dampak positif kepada masyarakat,” jelasnya.

Sementara itu, tiga raja masing-masing Robby Manoh dari Amfoang di Kabupaten Kupang, Fillus Oematan dari Mollo, Timor Tengah Selatan, dan Willem Kono dari Miomafo, Timor Tengah Utara sepakat  mendukung perubahan status cagar alam gunung Mutis menjadi Taman Nasional Mutis Timau. “Karena akan memberikan dampak baik kepada masyarakat dan tetap melindungi situs-situs adat yang ada dalam kawasan hutan,” kata Fillus Oematan. 

Cek Artikel:  Kepala BNPB Megathrust Bukan Isu Baru, Perlu Kesiapsiagaan

Sedangkan, Robby Manoh mengatakan, terdapat kesamaan  pengelolaan taman nasional dengan ketentuan adat seperti mengatur larangan untuk melakukan pemanfaatan secara berlebihan dalam pemanfaatan hasil alam berupa madu dan satwa liar. Selanjutnya, Willem Kono memberikan catatan kepada pemerintah agar menghindari investor asing yang masuk dalam pengelolaan taman nasional.  

“Terkait kekhawatiran akan rusaknya hutan akibat aktifitas pembangunan oleh investor perlu difahami bahwa dalam pengelolaan taman nasional dilakukan pembagian ruang yang dilakukan sesuai kriteria kondisi biofisik, keberadaan satwa dan tumbuhan liar, kondisi landscape, keberadaan situs budaya atau sejarah serta aspek lainnya,” tambah Arief Mahmud. (H-2)

Mungkin Anda Menyukai