Kaderisasi Gagal, Demokrasi Pincang

KEBERADAAN partai politik di Indonesia memiliki peran penting dalam sistem demokrasi. Parpol merupakan ujung tombak dari kaderisasi pemimpin, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif, dari level kabupaten/kota hingga kepala negara.

Ingar-bingar dan drama dalam tahapan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) saat ini membuktikan bahwa tugas dan tanggung jawab tersebut masih jauh dari kondisi ideal. Pilkada saat ini masih memunculkan 43 daerah dengan calon tunggal.

Calon tunggal dan kotak kosong menjadi salah satu anomali dalam sistem penyelenggaraan pilkada serentak di Indonesia. Kondisi itu menggambarkan bagaimana partai politik benar-benar tidak serius dalam menjalankan fungsi kaderisasi dan rekrutmen politik mereka.

Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik

Munculnya kotak kosong menunjukkan kegagalan partai politik dalam menjalankan salah satu fungsi utama mereka. Institusi politik seharusnya selalu siap dengan calon yang akan diusung, tetapi kenyataannya banyak partai tidak mampu melakukan seleksi dan kaderisasi yang efektif.

Cek Artikel:  Jangan Biarkan Koruptor Bersorak

Padahal, pilkada serentak kali ini telah membuka ruang pencalonan yang lebih longgar dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah. Dengan putusan itu, fenomena calon tunggal mestinya tidak perlu terjadi jika parpol siap dan tidak pragmatis.

Setidaknya ada satu provinsi, 37 kabupaten, dan lima kota yang hingga batas akhir pendaftaran hanya terdapat satu pasangan calon yang akan berlaga. Definisinya, terdapat 43 calon tunggal dari 545 daerah (7,89%). Kini, Komisi Pemilihan Lumrah (KPU) tengah memperpanjang pendaftaran hingga besok.

Itu tidak jauh berbeda dengan situasi pada pelaksanaan Pilkada 2017-2020 lalu. Ketika itu, terdapat 50 paslon tunggal (9,17%). Padahal saat itu persyaratan pencalonan kepala daerah masih sangat tinggi, yakni 20% kursi atau 25% suara sah.

Cek Artikel:  Mencari Tewas dengan Korupsi

Memang, mepetnya pembacaan putusan MK dengan tenggat pendaftaran menjadi alasan parpol untuk tidak sempat menyiapkan alternatif pilihan calon di 43 daerah tersebut. Tetapi, sesungguhnya, jika parpol siap dengan kader mereka di tiap-tiap daerah, tentu tidak ada hambatan mendaftar meskipun jedanya sehari.

Sikap parpol yang pragmatis juga menjadi faktor masih suburnya calon tunggal. Parpol enggan mencalonkan kandidat yang peluang menangnya sangat kecil sehingga lebih memilih bergabung dengan koalisi besar atau enggan melawan petahana. Belum lagi biaya pilkada saat ini masih sangat besar, yang pasti juga menjadi pertimbangan parpol untuk mengirimkan kader mereka bertarung dalam gelanggang kontestasi demokrasi daerah.

Selain itu, para petinggi parpol sulit untuk membuka ruang pada calon lain. Karena itu, mereka lebih memprioritaskan aksi borong partai dan lebih memilih hanya ada satu calon dalam pilkada meskipun sejatinya mereka tahu bahwa langkah itu mengerdilkan esensi demokrasi.

Cek Artikel:  Cemas Harga Pangan Tancap Gas

Demi itulah, ke depan parpol harus mampu berbenah diri membangun sistem kaderisasi yang jauh lebih matang. Apabila fenomena calon tunggal tetap dibiarkan, kemerosotan demokrasi merupakan sebuah keniscayaan. Meskipun tetap berjalan, tanpa pembenahan proses kaderisasi di tubuh partai politik, demokrasi akan pincang.

Kondisi itulah sebenarnya yang harus menjadi bahan evaluasi pelaksanaan pilkada ke depan. Tak ada proses kandidasi yang berjalan dengan sangat baik di tubuh partai politik. Salah satu pilar demokrasi ini juga mengalami kejumudan dalam regenerasi.

 

Mungkin Anda Menyukai