Entah Ketika Eksis Damai di Palestina

PETIKAN wawancara presenter BBC News Lewis Vaughan Jones dengan Duta Besar Palestina untuk Inggris Husam Zomlot beredar luas di media sosial. Wawancara itu berlangsung pada Minggu (8/10) atau dua hari setelah Hamas menyerang Israel hingga pecah perang sampai sekarang.

Lazimnya wawancara, yang terjadi semestinya jual beli pertanyaan dan jawaban. Tetapi, beda dengan yang ini, yang tersaji justru perdebatan. Zomlot memang tak mau begitu saja menjawab pertanyaan Jones. Dia malah gamblang, berterus terang, mengkritik standar ganda media mainstream Barat, termasuk BBC asal Inggris, terhadap Israel dan Palestina.

Awalnya Jones bertanya pendapat mengenai serangan Hamas ke wilayah Israel, yang dijawab Zomlot dengan menyesalkan situasi yang sebenarnya bisa dicegah lewat penyelesaian akar masalah itu. “Apakah Anda menyesali hilangnya nyawa tak berdosa di Israel?” tanya Jones kemudian. “Taatp korban jiwa tentu saja disesalkan dan itu tragis,” jawab Zomlot lagi.

Jones lalu menyela dengan membawa konteks sejarah dan mendorong Zomlot mengecam serangan Hamas, tetapi ditolak. “Anda baru saja mengutuk Israel karena membunuh warga sipil dan Anda tidak mengutuk Hamas karena membunuh warga sipil?” singgung Jones.

Cek Artikel:  Guyon Waton

”Sudah seberapa sering Anda mengundang pejabat Israel? Ratusan kali? Berapa banyak Israel melakukan kejahatan perang secara langsung di depan kamera Anda? Apakah Anda pernah memintanya untuk mengutuk tindakan mereka sendiri? Anda tidak pernah memintanya,” tegas Zomlot.

“Kalian mengundang kami setiap kali ada orang Israel yang meninggal. Apakah kalian mengundang saya ketika banyak orang Palestina di Tepi Barat, lebih dari 200 orang dalam beberapa bulan terakhir, meninggal? Apakah kalian mengundang saya ketika Israel melakukan provokasi di Jerusalem dan tempat lain?” tambahnya.

Makjleb. Zomlot meng-KO Jones. Zomlot menyekakmat Jones. Begitulah narasi yang kemudian berkembang. Standar ganda, itulah yang coba digaungkan Zomlot terkait dengan konflik Israel-Palestina. Standar yang tak cuma merasuki media, tetapi juga sebagian masyarakat dunia, khususnya negara-negara Barat, lebih khusus lagi AS dan teman-temannya.

Bahwa menyerang, melukai, apalagi membunuh warga biasa harus dikecam, saya setuju, sangat setuju. Bahwa tindakan itu dilarang dilakukan sekalipun dalam perang, saya sepakat, sangat sepakat. Saya pun menyesalkan jika Hamas menyasar masyarakat sipil Israel. Tapi, bagaimana dengan sikap Barat terhadap ulah keji Zionis Israel selama bertahun-tahun?

Cek Artikel:  Mewaspadai Cita-cita

Standar ganda Barat sejatinya biang kerok kenapa permusuhan Palestina-Israel tak berkesudahan. Di mata mereka, Zionis Israel selalu dianggap benar meski negeri Yahudi itu benar-benar salah. Israel jelas salah, salah satunya karena tiada henti menganeksasi tanah Palestina.

Tak usah berdebat soal itu, berpijak saja pada PBB yang berulang kali mengeluarkan resolusi, termasuk mengharuskan Israel menghentikan pembangunan permukiman di wilayah Palestina yang mereka duduki. Tetapi, seperti yang sudah-sudah, resolusi itu dianggap angin lalu. Seperti yang sudah-sudah pula, negara-negara Barat memaklumi. Paling-paling mereka menyesalkan, selebihnya terserah Israel maunya apa.

Di mata mereka, Palestina selalu salah. Simpel saja. Barat memasukkan Hamas sebagai organisasi teroris, termasuk sayap politiknya. Pun dengan kelompok perlawanan Palestina lainnya. Padahal, mereka hanya berjuang untuk kemerdekaan dan kebebasan bangsanya. Mantappa dengan Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, atau Pattimura dulu yang pejuang tetapi dicap ekstremis oleh kompeni Belanda.

Celakanya lagi, standar ganda itu menular ke negeri ini. Bukan sedikit yang berpandangan sama dengan negara-negara Barat, media-media Barat. Lewat lintas di media sosial memperlihatkan banyak dari kita yang menjadi die hard-nya Israel.

Cek Artikel:  Kemerdekaan Hakim Eman

Konflik Palestina-Israel adalah konflik politik, bukan agama. Keliru kita membela Palestina karena alasan agama. Mayoritas rakyat Palestina memang beragama Islam, tetapi ada juga penganut agama lain termasuk Kristen, bahkan Yahudi. Kita mendukung Palestina karena mereka puluhan tahun dijajah Israel, dan konstitusi kita mengamanatkan bahwa segala bentuk penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi.

Lebih salah lagi mendukung Israel karena sentimen agama. Amat sulit diterima akal karena keyakinan, mereka ikut-ikutan tidak adil dalam melihat Palestina dan Israel.

Kata Benjamin Franklin, “There never was a good war, or a bad peace.” Bukan pernah ada perang yang baik, atau perdamaian yang buruk. Perang Palestina-Israel pun buruk. Bukan baik bagi anak-anak, buruk bagi orang tua, buruk bagi perempuan, buruk bagi kemanusiaan.

Semoga perang di Palestina segera berakhir dan damai selekasnya hadir. Ketika itu? Embuh-lah. Lha wong semua tergantung Amerika. Mudah-mudahan sih tidak seperti yang dibilang Plato bahwa hanya orang mati yang telah melihat akhir dari perang.

Mungkin Anda Menyukai