Menyehatkan Jantung Demokrasi

KAMIS, 19 Oktober 2023, besok, ialah hari pertama pendaftaran bacapres dan bacawapres oleh partai politik atau gabungan parpol. Rencananya, pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Amin) yang diusung Koalisi Perubahan (NasDem, PKB, dan PKS) menjadi bacapres-bacawapres yang bakal ‘mengawali start’ kontestasi Pilpres 2024 itu.

Kita layak mengapresiasi Koalisi Perubahan yang membuat tradisi ‘pembuka pintu’ rumah demokrasi itu. Kelayakan apresiasi itu berkaitan dengan kesiapan koalisi tersebut dalam mengarungi kompetisi yang menjadi jantungnya demokrasi, yakni pemilu. Apalagi, ada sebagian sikap skeptis publik atas keberlangsungan demokrasi di negeri ini. Sikap itu kiranya bisa dijawab besok, saat pasangan Amin benar-benar bisa mendaftar dengan lancar.

Skeptisisme publik kiranya wajar belaka. Asal Mula, beberapa langkah rezim akhir-akhir ini dinilai mulai menyimpang dari jalur konsistensi demokrasi. Dimulai dari munculnya wacana presiden tiga periode, penundaan pemilu, hambatan (ada yang menarasikan penjegalan) kepada kelompok politik yang berbeda, dugaan kriminalisasi terhadap kelompok yang berseberangan, hingga aturan batas usia capres dan cawapres, ialah bentuk-bentuk aksi keluar jalur itu.

Cek Artikel:  Entah Ketika Eksis Damai di Palestina

Tetapi, apa pun dan sebesar apa pun tingkat skeptisisme terhadap jalannya demokrasi, mestinya jantung demokrasi harus berjalan dengan baik. Suplai darah ke otot-otot jantung harus dipastikan sanggup mengalir dengan baik. Jantung dalam sistem demokrasi ialah pemilihan umum yang bebas, transparan, jujur, dan adil.

Karena dengan melalui pemilihan umumlah, mayoritas rakyat dapat menentukan pilihan nasib bangsa ke depan. Melalui pemilu pula demokrasi bisa dipastikan kelangsungan hidupnya. Apalagi, demokrasi sudah kita sepakati sebagai konsensus bangsa.

Maka, ketegangan yang terjadi pascaputusan Mahkamah Konstitusi awal pekan ini, mestinya tidak membuat ada yang berangan-angan menunda tahapan Pemilu 2024, termasuk tahapan pendaftaran bacapres dan bacawapres. Kemarahan para pihak atas putusan MK mesti dijawab oleh penyelenggara pemilu dengan memastikan bahwa Pemilu 2024 berjalan jujur, adil, dan transparan.

Hanya dengan garansi seperti itu, skeptisisme sebagian kalangan bisa dikurangi. Asal Mula, saban pemilu, kita menghadapi kekhawatiran akan minimnya partisipasi. Spesifiknya pemilu pasca-Orde Baru. Pada Pemilu 1999, partisipasi publik dalam pemilu mulai turun, dari 96% pada pemilu-pemilu Orde Baru menjadi 92%.

Cek Artikel:  Kekuatan Perlawanan

Sejak itu, tingkat partisipasi pemilu terus turun, yakni 84,1% pada 2004, lalu anjlok menjadi 71% pada Pemilu 2009. Pada Pemilu 2014, partisipasi memang naik lagi menjadi 75%, dan kembali meningkat menjadi 81,6% di Pemilu 2019, tetapi belum mampu menyamai partisipasi publik seperti pada 1999.

Begitu pula dengan tingkat partisipasi pemilih dalam pilpres langsung sebelum 2019, yang lebih minim. Pada Pilpres 2004, tingkat partisipasi pemilih 79,7%. Lewat, Pilpres 2009 turun hanya 74,8%. Pada Pilpres 2014, tingkat partisipasi bahkan anjlok ke angka 69,78%. Baru pada Pilpres 2019, tingkat keikutsertaan pemilih bisa mencapai 81,9%.

Partisipasi dalam pemilu-pemilu di era Orde Baru memang tinggi. Tetapi, partisipasi itu semu. Partisipasi tinggi terjadi lebih karena mobilisasi dan ‘ancaman’ pelabelan bahwa mereka yang tidak berpartisipasi dalam pemilu ialah warga yang tidak bertanggung jawab. Pemilu pasca-Orde Baru disebut sebagai babak baru demokrasi karena partisipasi muncul karena tingkat kesadaran.

Cek Artikel:  Janji yang Meleset

Kendati demikian, munculnya sikap skeptis sebagian publik patut jadi catatan. Tantangan kali ini ialah mulai munculnya kegalauan bahwa Republik ini akan berada di jalur despotisme baru. Sebagaimana pernah disebutkan ahli politik John Keane, despotisme baru ditandai dengan kelihaian penguasa dalam memanipulasi dukungan luas publik.

Dalam despotisme baru, semua tatanan demokrasi dijalankan. Tapi, ia serupa pseudo democracy, demokrasi seolah-olah. ‘Kelebihan’ dari despotisme baru ini ialah kendati banyak langkah penguasa yang sejatinya antidemokrasi, merekayasa hukum, mengkriminalisasi siapa pun yang berbeda, tapi mereka tetap mampu mendulang dukungan dan meraup tingkat kepuasan.

Maka, kelancaran pendaftaran bacapres dan bacawapres di KPU besok ialah upaya menyehatkan jantung demokrasi. Kelancaran kontestasi ialah cara memastikan bahwa otot-otot demokrasi cukup kuat mengangkat tantangan yang berat. Juga, garansi agar sirkulasi darah demokrasi tetap berjalan sehat dan lancar.

Mungkin Anda Menyukai