DALAM hitung-hitungan waktu, sampai dengan 2021, kerja reformasi politik di Indonesia telah melampaui dua dasawarsa (terhitung mulai 1998) dan segera masuki fase awal dasawarsa ketiga. Berbagai macam nuansa penilaian pun telah dikemukakan para pengamat dan akademisi dalam mengartikulasi capaian kinerja reformasi politik di Tanah Air, yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang tersebut.
Bagi para akademisi yang berpandangan positivis, cenderung menyebut Indonesia sebagai salah satu negara yang telah berhasil memperlihatkan capaian dengan status stable democracy (demokrasi stabil), lantaran praktik demokrasi yang dilakukan secara relatif telah merefleksikan karakteristik dari demokrasi liberal (Larry Tenangond, 2009:23).
Para akademisi yang berpandangan positivis dalam menilai capaian kinerja demokrasi di Tanah Air tersebut dan cenderung optimistis dalam menengarai prospek demokrasi di Indonesia, selanjutnya penulis kategorikan sebagai kelompok positivis-optimistis.
Argumentasi akademik yang kemukakan kelompok positivis-optimistis di atas cukup beralasan. Dikatakan demikian, karena jika praktik demokrasi dibaca dengan kacamata demokratik elektoral, yang merupakan lokus utama dari konsep demokrasi liberal, secara prosedural memang benar, bahwa Indonesia telah memenuhi parameter yang dipersyaratkan dan telah cukup berhasil mengeksekusinya pada tingkat praksis. Misalnya saja, Indonesia telah secara rutin melaksanakan pemilihan umum untuk anggota legislatif (pileg).
Kemudian, pada 2004 mulai melaksanakan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung. Selanjutnya, sejak pertengahan 2005, menerapkan praktik pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, baik pada tingkat pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.
Stagnasi demokrasi
Pertanyaannya kemudian ialah apakah vote–suara yang diamanahkan masyarakat pada pemilihan umum–kemudian berbuah voice pada fase pascapemilihan umum dalam bentuk kebijakan pemerintah yang bertumpu pada aspirasi rakyat? Atau justru yang terjadi ialah vote minus voice. Pemilu hanya difungsikan sebagai instrumen oleh para elite politik untuk menuai legitimasi sehingga, tidak terjadi korelasi antara ‘perwakilan’ dan ‘keterwakilan’.
Pada konteks inilah, menjadi penting untuk menyimak dan menyelisik perspektif dari para akademisi yang cenderung kritis atau bahkan skeptis, dalam membaca realitas reformasi politik di Indonesia dan bernuansa pesimistis dalam menengarai prospek demokrasi ke depan. Mereka selanjutnya penulis sebut sebagai kelompok ‘kritikal-realis’.
Rona pemikiran kelompok ‘kritikal-realis’ ini mulai mendominasi diskursus akademis pada paroh-awal dasawarsa kedua reformasi politik di Indonesia (sektar 2014). Tatkala, demokrasi tidak menunjukkan tren perkembangan yang signifikan atau bahkan cenderung mengalami apa yang penulis sebut sebagai ‘arus balik demokrasi’ (Democratic U-Turn).
Berbagai terminologi pun mulai menghiasi wacana publik dalam melabeli karakteristik demokrasi di Tanah Air. Hanya menyebut beberapa contoh, misalnya saja, terminologi democratic stagnation (stagnasi demokrasi), democratic in decline (penurunan demokrasi), democratic backsliding (kemunduran demokrasi), dan terakhir apa yang disebut dengan democratic regression (regresi demokrasi).
Di antara indikasi yang pada umumnya dikemukakan dalam menjustifikasi tentang realitas stagnasi demokrasi di Indonesian ialah: pertama, terjadinya xenofobia politik populis, yang selanjutnya telah berimplikasi pada pelapukan demokrasi oleh pemerintahan sipil hasil pemilihan umum. Kedua, adanya penyimpangan regulasi terkait dengan kebebasan sipil dan perlindungan hak asasi manusia. Ketiga, terjadinya manipulasi lembaga negara oleh pemerintah untuk kepentingan kekuasaan (Warburton and Aspinall, 2019: 256).
Kecenderungan terjadinya stagnasi demokrasi di Indonesia juga dikonfirmasisi data indeks demokrasi Indonesia (IDI). Dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir (2010-2019), tren capaian kinerja demokrasi di Indonesia secara konstan berada pada kategori sedang (skala IDI 60-80), atau belum pernah berhasil menembus kategori baik (>80). Lebih spesifiknya, pada 2010, capaian indeks demokrasi Indonesia sebesar 63,17. Kemudian, mengalami fluktuasi hingga 2019 dengan capaian indeks sebesar 74,92 (lihat indeks demokrasi Indonesia 2019: 14).
Pada bagian lain, data indeks demokrasi yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 3 Februari 2021, justru menyodorkan informasi yang lebih memprihatan lagi bagi Indonesia. Dikatakan demikian, karena skor Indonesia pada 2020 hanya 6,48 (dari skala 0-10). Lelahan skor ini merupakan yang terendah sepanjang 14 tahun terakhir. The EIU kemudian telah mengategorikan Indonesia ke dalam kelompok flawed democracy (demokrasi yang cacat). Dari lima aspek demokrasi yang diukur EIU, penurunan tajam dialami Indonesia pada indikator budaya politik yang hanya memperoleh 4,38 poin (Kompas, 7/2/2021, halaman 2).
Vote minus voice
Di antara faktor yang ditengarai berkontribusi signifikan terhadap terjadinya stagnasi atau bahkan arus-balik demokrasi (Democratic U-Turn) di Indonesia ialah karena buruknya kinerja lembaga demokrasi, terutama partai politik dan lembaga perwakilan. Kondisi ini bila tidak dikelola dengan cepat, akan berimplikasi pada terjadinya pelapukan lembaga demokrasi itu sendiri (democratic institutional decay) oleh para elite sipil hasil pemilihan umum.
Sebagaimana telah disinyalir Weber (1864-1920) dan Joseph Schumpeter (1883-1946), di antara karakter utama dari praktik Democratic Elitism ialah pemilu dilaksanakan secara rutin, tetapi lebih difungsikan sebagai instrumen oleh para elite politik untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat dan untuk mengamankan genggaman hegemoni politik yang telah diraih (Evan, 1985: 232).
Implikasinya, vote yang diamanahkan masyarakat pada pemilu tidak berdampak pada peningkatan kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari pada periode pascapemilu. Tak terciptanya korelasi antara presence and representation (Clarke and Foweraker (2001: 742). Dalam narasi yang yang lebih lugas, kecenderungan tersebut dapat dilabeli dengan terminologi perwakilan minus keterwakilan.
Data indeks demokrasi 2019 cenderung mengonfirmasi karakteristik praktik Democratic Elitism, sebagaimana dikemukakan di atas. Misalnya saja, konsistennya capaian indeks variabel pemilu yang bebas dan adil dengan kategori baik (85,75) 2019, mengindikasikan secara prosedurual Indonesia relatif telah berhasil menyelenggarakan pemilu yang demokratis, sebagai sarana untuk menuai vote. Hal ini konsisten dengan data capaian indeks variabel hak memilih dan dipilih, pada aspek hak-hak politik, yang juga pada kategori sedang (79,27).
Tetapi demikian, pada sisi lain, fakta tentang buruknya kinerja variabel peran DPRD mengisyaratkan sejatinya lembaga representatif masih lemah dalam menjalankan fungsinya. Vote yang dihasilkan pada saat pemilu tidak banyak terealisasi menjadi voice pada pascapemilu. Jeleknya kinerja lembaga representatif tersebut ditunjukkan, antara lain konsistennya capaian skor dengan kategori buruk pada indikator: Perda yang Berasal dari Hak Inisiatif DPRD, dan Rekomendasi DPRD kepada Eksekutif (data indeks demokrasi Indonesia, 2019: 124).
Demikian juga halnya dengan kinerja variabel peran partai politik. Secara umum, dapat dikatakan partai politik belum banyak berperan dalam menyuarakan kepentingan konstituennya dan dalam memproduksi politisi yang berkualitas.
Indikasi akan hal ini, antara lain ditunjukkan oleh tren capaian indeks variabel peran partai politik, yang secara konsisten memiliki capaian indeks dengan kategori buruk. Di antara faktor utama yang menyebabkan buruknya kenerja partai politik itu karena kurangnya kegiatan kaderisasi yang dilakukan (data indeks demokrasi Indonesia, 2019: 124).
Urgensi penguatan kapasitas
Akhirnya, penting untuk ditegaskan bahwa tulisan ini bukan sama sekali dimaksudkan untuk membangun perspektif pesimistis dalam mengartikulasi realitas dan menengarai prospek demokrasi di Indonesia. Tetapi, justru sebaliknya, bertujuan untuk memberikan masukan sekaligus tantangan bagi perbaikan kapasitas lembaga demokrasi ke depan.
Primernya, terkait dengan keniscayaan hadirnya langkah-langkah konkret untuk penguatan peran lembaga perwakilan dan partai politik sehingga dengan demikian, proses transisi demokrasi yang berlangsung di Tanah air dipastikan berada pada alur menuju konsolidasi demokrasi, bukan justru sebaliknya, menuju ke arah Democratic U-Turn (arus balik demokrasi).
Linz dan Stepan (1996) telah jauh-jauh hari mengingatkan: history suggests that democracies will continue to fail when they are unable to produce and maintain political order, accountability, transparency, a rule of law, and legitimacy.