Momentum Revisi UU ITE

Momentum Revisi UU ITE
Gun Gun Heryanto Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta(Dok. Pribadi )

PERBINCANGAN publik seputar revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali mengemuka. Hal ini dipicu pernyataan Presiden Joko Widodo, Senin (15/2/2021), yang mengatakan bahwa dirinya akan mengajak DPR bersama-sama merevisi UU ITE kalau UU ini tidak bisa memberikan rasa keadilan.

Jokowi menganggap hulu persoalan ada pada pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda dan mudah diinterpretasikan secara sepihak. Substansi pernyataan Jokowi tersebut sudah lama disuarakan baik oleh para pegiat hak asasi manusia (HAM), para aktivis demokrasi, LSM, para akademisi, maupun media massa. Seriuskah pemerintahan Jokowi dengan keinginan merevisi UU ITE ini?

 

Komitmen politik

Pernyataan Presiden Joko Widodo yang membuka peluang revisi UU No 19 Mengertin 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika jangan sekadar berhenti di retorika semata. Satu hal harus dipahami, sebuah pernyataan yang sudah disampaikan ke publik sesungguhnya tak bisa ditarik lagi.

Menurut Larry A Samovar dan Richard E Porter dalam buku mereka, Communication Between Cultures (2102), komunikasi bersifat irreversible. Maksudnya, komunikasi tidak dapat ditarik kembali jika seseorang sudah mengatakannya. Perlu komitmen kuat untuk betul-betul membuka dialog yang intens dengan warga sipil. Menelaah secara komprehensif masukan-masukan masyarakat serta punya niat politik untuk mengartikulasikan kehendak publik tersebut dalam perbaikan substansi UU ITE ini.

Buat menunjukkan komitmen politik, sinyal dari Presiden tersebut harus diterjemahkan jajaran di bawahnya, misalnya, orang-orang di lingkar istana, kementerian terkait, serta jejaring komunikasi oleh tim dengan kekuatan nyata di DPR dan kekuatan sipil.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, Jumat (19/2/2021), Presiden Joko Widodo telah menugasi Kemenko Polhukam membentuk tim kajian UU ITE. Terdapat dua tim yang dibentuk dan bekerja mulai Senin, 22 Februari 2021.

Tim pertama, yang dipimpin Kementerian Komunikasi dan Informatika, akan menyusun panduan implementasi dari pasal-pasal yang selama ini dianggap pasal karet dalam UU ITE.

Tim kedua akan membahas rencana revisi UU ITE. Tim ini akan menampung pandangan, masukan masyarakat yang mendesak. Hal ini sangat penting mengingat hingga sekarang UU ITE masih memantik polemik karena masih terdapat sejumlah pasal yang dianggap karet dengan interpretasi yang sangat elastis, selain juga dianggap diskriminatif dan membahayakan demokrasi.

Dalam perjalanannya, kedua tim tersebut berpotensi punya masalah ego sektoral karena orientasi hasil keluaran (output) yang berbeda. Satu tim sekadar tambal sulam mencari format penyusunan panduan pelaksanaan, satunya lagi pada rencana revisi. Makanya, koordinasi tentang hal ini sejak awal harus jelas, apakah pemerintah memprioritaskan komitmen merevisi atau sekadar mau basa-basi.

Cek Artikel:  Rohingya, Homo Sacer pada Demokrasi Kontemporer

 

Mengintensifkan komunikasi

Harus ada komitmen pemerintah untuk mengintensifkan komunikasi dengan kekuatan nyata di DPR dalam pembahasan revisi UU ITE ini. Jangan saling melempar bola, inisiatif harus dimulai dari siapa. Sekarang ini ada kesan DPR menyerahkan ke pemerintah, sementara pemerintah menganggap itu menjadi kewenangan DPR. Sesungguhnya pemerintah bisa sesegera mungkin menampung masukan dari para pegiat, aktivis, akademisi, media, dan warga terdampak.

Berbagai masukan dan petimbangan bisa menjadi naskah akademik yang dimasukkan secara formal ke DPR. Apabila pemerintah serius, kedua tim yang dibentuk harus memanfaatkan momentum untuk memasukkan revisi UU ITE ini ke DPR, sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021.

Prolegnas 2021 belum disahkan di Rapat Paripurna DPR. Ketika ini, DPR sedang reses dan baru akan kembali bersidang 8 Maret. Maksudnya, jika serius memanfaatkan momentum kajian di akhir Februari hingga awal Maret, masih tersedia waktu untuk memasukkan revisi UU ITE ke dalam Prolegnas Prioritas 2021.

Apabila melihat peta kekuatan di DPR saat ini, sesungguhnya pemerintah punya peluang sangat besar untuk mendapatkan persetujuan DPR karena adanya tendensi mayoritarian. Terdapatm Przeworski dan Jose Maria Maravall dalam buku mereka, Democracy the Rule of Law (2003), menyebut mayoritarian sebagai agenda dan filosofi tradisional yang menyatakan mayoritas dalam populasi merupakan kelompok utama dan membuat keputusan yang berpengaruh bagi masyarakat keseluruhan.

Praktik koalisi besar parpol pendukung pemerintah di DPR memungkinkan untuk meloloskan apa pun yang dikehendaki agar menjadi UU. Betul bahwa keputusan mengesahkan UU, jika tak disetujui secara aklamasi, pada akhirnya akan ditentukan suara mayoritas dari pemilik kursi DPR. Sebut saja, sejumlah UU yang menjadi prioritas pemerintah melenggang mulus disetujui DPR seperti revisi UU KPK, UU Minerba, dan omnibus law meskipun mendapat reaksi penentangan dari masyarakat. Seandainya revisi UU ITE ini benar-benar menjadi prioritas pemerintahan Jokowi, di atas kertas harusnya tak sulit untuk mewujudkannya.

Tentu, selain berkomunikasi dengan DPR, pemerintah harus memanfaatkan momentum dukungan dari warga masyarakat untuk merevisi UU ITE ini. Kegelisahan kelompok masyarakat sipil yang merasa terancam dengan beberapa pasal di UU ITE ini harusnya menjadi energi dukungan bagi langkah pemerintah. Gonjang-ganjing tentang kebebasan berpendapat, ruang kritik yang makin terancam, dan polarisasi yang terjadi di masyarakat membuat sejumlah pasal karet di UU ITE kerap menjadi senjata mematikan.

Fenomena lapor-melaporkan telah menjadi hal lumrah terjadi sehingga membuat orang takut untuk mengekspresikan pandangannya. Sejumlah catatan telah diberikan para aktivis demokrasi dan pegiat HAM tentang sejumlah pasal yang dianggap mengancam.

Cek Artikel:  Mahkamah Mulia Pembela Caleg Narapidana Korupsi

 

Substansi persoalan

Sejumlah catatan tentang substansi persoalan mendasar UU ITE sudah banyak dibahas para pegiat. Salah satunya ialah Pasal 27 ayat 3 UU No 19/2016. Pasal tersebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pasal seperti ini bisa menjadi pintu masuk yang mudah bagi orang atau kelompok tertentu untuk menjerat orang lain atas nama penghinaan dan pencemaran nama baik.

Mengutip data Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto, ada sembilan pasal bermasalah dalam UU ITE. Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi yang tidak relevan. Pasal itu bermasalah soal sensor informasi. Pasal 27 ayat 1 tentang asusila. Pasal itu bermasalah karena dapat digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online.

Pasal 27 ayat 3 tentang defamasi dianggap bisa digunakan untuk represi warga yang mengkritik pemerintah, polisi, atau lembaga negara. Defamasi sendiri dimaknai komunikasi kepada satu orang atau lebih yang bertujuan memberikan stigma negatif atas suatu peristiwa yang dilakukan pihak lain berdasarkan atas fakta palsu yang dapat memengaruhi penghormatan, wibawa, atau reputasi seseorang.

Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Pasal itu dapat merepresi agama minoritas serta represi kepada warga terkait dengan kritik kepada pihak polisi dan pemerintah. Pasal 29 tentang ancaman kekerasan. Pasal itu bermasalah lantaran dapat dipakai untuk memidana orang yang ingin lapor ke polisi. Pasal 36 tentang kerugian. Pasal itu dapat digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi.

Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang. Pasal itu bermasalah karena dapat digunakan sebagai alasan internet shutdown untuk mencegah penyebarluasan dan penggunaan hoaks. Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses. Pasal itu bermasalah karena dapat menjadi penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan. Pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi. Pasal itu bermasalah karena dapat menahan tertuduh saat proses penyidikan.

Sebagaiman diketahui, UU ITE ini memang sempat direvisi pada 2016, tetapi sebatas pengurangan masa hukuman, sedangkan pasal-pasal karetnya tetap ada. Revisi atas Undang Nomor 11 Mengertin 2008 di antaranya mengubah Pasal 27 ayat (1) soal kesusilaan, Pasal 27 ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan Pasal 28 ayat (2) soal ujaran kebencian. Misalnya, setelah direvisi dengan ditetapkannya UU Nomor 19 Mengertin 2016, ancaman pidana bagi pelanggar Pasal 27 ayat (3) terkait dengan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dari yang semula maksimal 6 tahun penjara dan/atau Rp1 miliar menjadi 4 tahun penjara dan/atau Rp750 juta. Hanya masalahnya, substansi pasal karetnya tetap ada dan menimbulkan interpretasi hukum bermacam-macam sehingga bisa menjerat siapa saja.

Cek Artikel:  Berlebaran sambil Mewaspadai Varian XE

 

Melindungi kebebasan

Hal fundamental yang harusnya menjadi perhatian pemerintah ialah perlindungan atas kebebasan (freedom) sebagai nilai asasi dalam demokrasi. Universial Declaration of Human Rights (pada Sidang Lazim PBB, 10 Desember 1948) menjamin kemerdekaan berpikir, berkeyakinan, dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Landasan konstitusional di UUD 1945 Pasal 28: ‘Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang’.

Kita juga memiliki UU No 9 Mengertin 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Lazim. Dalam Pasal 1 dinyatakan: ‘Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku’.

Kita perlu sekali mencermati data dari Freedom House (FH) yang merilis hasil penelitian yang menunjukkan kualitas kebebasan berinternet di Indonesia memburuk. Dikutip dari Freedomhouse.org, kebebasan internet Indonesia pada 2019 mencapai nilai 51 dari skala 0-100. Sementara itu, pada 2020, nilainya memburuk jadi 49. Antara lain, dari sejumlah faktor yang menurunkan itu, adanya intimidasi dan doxing terhadap aktivis serta jurnalis.

Peretasan terhadap akun media sosial aktivis prodemokrasi hingga pengkritik kebijakan pemerintah di tengah pandemi covid-19 yang semakin marak pada 2020. Kriminalisasi terhadap jurnalis, aktivis, dan masyarakat sipil lainnya yang mengkritik kebijakan pemerintah lokal.

Pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta Polri lebih selektif dalam menyikapi laporan yang menggunakan Undang-Undang ITE menjadi relevan. Faktanya memang UU ITE ini bisa menjadi senjata mematikan pihak lain, dengan memanfaatkan tafsir liar. Selain harus adanya perbaikan substantif di pasal-pasal bermasalah, Polri sebagai aparat penegak hukum harus imparsial, berdiri di atas semua golongan dengan profesional.

Tiser :

Pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta Polri lebih selektif dalam menyikapi laporan yang menggunakan Undang-Undang ITE menjadi relevan. Faktanya memang UU ITE ini bisa menjadi senjata mematikan pihak lain, dengan memanfaatkan tafsir liar. Selain harus adanya perbaikan substantif di pasal-pasal bermasalah, Polri sebagai aparat penegak hukum harus imparsial, berdiri di atas semua golongan dengan profesional.

Mungkin Anda Menyukai