Indonesia Darurat Perundungan di Satuan Pendidikan

Indonesia Darurat Perundungan di Satuan Pendidikan
Puluhan orang yang tergabung dalam Koalisi Acuh Anak Indonesia (KPAT) menggelar kampanye anti-bullying.(MI/Adi Kristiadi)

KETUA Komisi X DPR RI Saiful Huda menyatakan prihatin atas kasus perundungan di Indonesia yang saat ini mengalami tren kenaikan yang sangat tinggi. Bahkan, menurutnya saat ini Indonesia sedang berada pada level darurat perundungan di satuan pendidikan.

“Jadi pada level ini kita bisa bilang sedang terjadi darurat bullying di satuan pendidikan baik sejak di level SD sampai SMA, bahkan yang terakhir PPDS bunuh diri karena bullying yang terjadi,” ungkapnya dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk Mencari Format Pencegahan Kasus Perundungan di Lembaga Pendidikan, Selasa (24/9/2024).

Lebih lanjut, menurutnya situasi darurat perundungan saat ini di dalamnya terjadi kasus yang bermacam-macam, baik verbal dan nonverbal, termasuk tindak kekerasan seksual yang terakhir menimpa anak SMP di Palembang yang diperkosa temannya 4 orang dan umurnya masih di bawah 14 tahun.

Baca juga : DPR: Ratusan Laporan Bullying PPDS Kagak Pandai Dianggap Remeh, Beri Dampak Jera pada Pelaku

“Makanya kita prihatin sekali terhadap tren perundungan ini. Kita meminta pemerintah dapat merespons hal ini secara cepat,” tegas Saiful.

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) per Maret 2024 terdapat 141 laporan kasus perundungan yang sebagian besar atau hampir 95% terjadi di lingkungan pendidikan. Dari jumlah tersebut, 46 kasus perundungan di antaranya membuat korban harus kehilangan nyawa.

Cek Artikel:  Hari Literasi Global Menonton Tingkat Literasi Begitu Ini dan Upaya Bingungkatannya

“Hal penting lainnya yaitu selebihnya korban mengalami trauma berkepanjangan dan tingkat stres yang tinggi. Ini rata-rata menimpa anak usia remaja. Ini penting sekali karena ketika anak mengalami trauma berkepanjangan, risikonya ketika dia pulih berpotensi untuk melakukan perbuatan yang sama di waktu tertentu. Maksudnya tindakan bullying ini bisa beranak pinak dan menciptakan spiral bullying kembali,” jelasnya.

Baca juga : Cerita Korban Bullying di Binus Simprug: Pelaku Anak Ketum Parpol

“Laporan dari KPAI ini menurut saya belum sampai 1/4 dari fakta sesungguhnya yang terjadi di lapangan. Karena tidak semua korban berani melaporkan tindakan bullying. Hanya anak yang punya keberanian yang mau melaporkan,” lanjut Saiful.

Menurut dia, tindakan perundungan ini juga rata-rata selalu dilakukan secara berkelompok dan bersama-sama. Ini memperlihatkan deteksi dini dan preventif yang dilakukan oleh sekolah yang gagal.

“Karena ini dilakukan berkelompok dan seharusnya bisa dibaca lebih mudah ketimbang dilakukan secara pribadi atau masing-masing. Jadi dalam konteks ini saya mau bilang bahwa tindakan preventif atau pencegahan dini di lingkungan sekolah menurut saya gagal karena model bullying ini biasanya dilakukan secara berkelompok bukan pribadi atau orang per orang. Sebenarnya kalau deteksi dini sekolah canggih berkelanjutan serius dilakukan pengawasan secara terus menerus menurut saya tidak akan kebobolan,” tegasnya.

Cek Artikel:  Festival Budaya Panji Gelar Pameran, Percakapan Tematik dan Penampilan 10 Karya

Baca juga : Kemendikbud-Ristek Segera Terbitkan Aturan Mendikbud Menjaga Perundungan

Saiful menilai karena begitu mudahnya satuan pendidikan di Indonesia kebobolan menyangkut soal tindak perundungan ini, Kemendikbud-Ristek dan jajaran sampai pada level dinas dan satuan pendidikan di sekolah, belum memiliki upaya pencegahan secara terstruktur, sistematis, dan masif secara baik.

“Upaya penanggulangannya juga masih bersifat parsial dan sporadis atau sekarang itu istilahnya no viral no justice. Jadi kalau enggak viral enggak ditangani, kalau enggak viral sekolah enggak tahu sedang ada masalah. Bahkan hipotesa saya, kalau kejadian itu enggak viral, kejadian perundungan ini hanya dianggap sepele dan biasa-biasa saja. Menjadi penting ketika sudah viral dan menjadi tidak penting ketika tidak viral,” urai Saiful.

Krusial untuk diperhatikan bahwa tindakan perundungan dan kekerasan ini betul-betul menjadi cermin peradaban Indonesia hari ini dan transformasi pendidikan yang sedang dipertaruhkan.

Baca juga : Komisi X DPR RI Setujui Tambahan Anggaran untuk Dukung Program Prioritas Kemendikbud-Ristek

“Padahal sudah ada regulasi yang mengatur soal ini baik itu peraturan pemerintah, Permendikbud-Ristek dan lainnya. Ini aturannya sejak pelarangan tindakan, cara korban melapor dan siapa yang harus menangani, peran dari sekolah dan seterusnya. Tapi semua regulasi ini tidak mencukupi untuk merespons berbagai tren kenaikan yang cukup tinggi dari tindak kekerasan ini. Jadi masalahnya bukan di regulasi. Tapi bagaimana implementasi kebijakan tersebut di lapangan dan diorganisasi secara baik,” jelasnya.

Cek Artikel:  11 Tips Merawat Action Figure agar tidak Lekas Rusak

Dia merasa bahwa pembentukan Satgas PPKS yang merupakan implementasi dari Permendikbud-Ristek 46/2023 belum cukup baik. Terlebih terkait mekanisme pelaporan yang dianggap terlalu berbelit dan rumit. Hal ini malah berisiko membuat korban tidak mau melaporkan dan perlu jadi perhatian bagi Kemendikbud-Ristek agar menyederhanakan mekanisme pelaporan.

“Makanya saya mengusulkan bagi pemda yang lalai dan abai serta terjadi kasus perundungan yang tinggi baik di dalam sekolah dan luar sekolah, harus ada mekanisme reward and punishment. Salah satu punisment yang bisa dilakukan adalah dana TKDD diturunkan atau dikurangi saja. Ini sebagai bentuk tanggung jawab,” kata Saiful.

Selain itu, Saiful juga merasa bahwa pemerintah harus memproteksi secara sungguh-sungguh kemudahan peserta didik untuk mengakses platform media yang menyuguhkan konten yang mengandung tingkat perundungan dan seksual yang tinggi.

“Karena kita tahu kasus di Palembang ketika diperiksa aparat penegak hukum mereka menonton dan mengakses konten tidak kekerasan seksual. Tingkat mengakses ini lebih tinggi dibandingkan materi pembelajaran,” tuturnya.

Di tempat yang sama, Psikiater dari Universitas Indonesia, Mintarsih Abdul Latief menekankan bahwa deteksi dini di satuan pendidikan menjadi hal yang penting untuk mengurangi kasus perundungan. Terlebih pemberdayaan guru harus dilakukan. (Des/P-3)

Mungkin Anda Menyukai