Independenitas Ancam Sportivitas

PEMILU baru akan berlangsung pada tahun depan, tetapi euforianya sudah terasa dari sekarang, terutama di lingkup para elite. Lihatlah sejumlah nama sejumlah menteri dan pejabat negara yang tergabung dalam tim sukses salah satu kontestan.

Kita sebut saja, misalnya, Ketua Biasa Partai Golkar Airlangga Hartarto yang juga menteri koordinator bidang perekonomian; Ketua Biasa Partai Terjaminat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan selaku menteri perdagangan yang tergabung dalam tim pemenangan Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.

Selain mereka, ada juga Bahlil Lahadalia, menteri investasi/kepala badan koordinasi penanaman modal. Meskipun tidak masuk tim kampanye nasional, dia tetap ikut mengurusi pencalonan bahkan memimpin deklarasi Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas) yang mendukung Prabowo-Gibran.

Sejauh ini memang tidak ada aturan yang mengikat yang melarang mereka untuk menjadi tim sukses. Tetapi, ada tugas dan tanggung jawab yang masih mereka emban selaku pejabat publik.Tugas utama mereka melayani kepentingan masyarakat bukan koalisi.

Cek Artikel:  Janji Melulu Tangkap Masiku

Apabila memang memiliki etika, sejatinya mereka mengundurkan diri agar bisa berkonsentrasi untuk pemenangan calon yang diusungnya agar pelayanan publik tidak terabaikan. Selain itu, hal itu juga untuk menghindari abuse of power, penyalahgunaan kekuasaan, misalnya dengan memanfaatkan atau menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye.

Sebaliknya, kita tentunya juga patut angkat topi kepada sejumlah komisaris BUMN yang telah atau berniat mengundurkan diri begitu mereka bergabung ke salah satu tim pemenangan kandidat. Misalnya saja Budiman Sudjatmiko yang merupakan komisaris PTPN V. Ia menyatakan mundur sebagai komisaris setelah menjadi dewan pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.

Begitu juga Eko Sulistyo yang mengajukan surat pengunduran diri dari jabatannya sebagai Komisaris PLN karena telah ditunjuk sebagai Wakil Ketua Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo. Terlepas adanya larangan dari Erick Tohir selaku menteri BUMN kepada para komisaris untuk menjadi tim sukses, langkah mereka itu tetap patut diapresiasi dan sebaiknya juga diikuti para komisaris atau jajaran direksi lainnya yang terlibat urusan pemilu. Begitu juga dengan para menteri atau wakil menteri yang ingin cawe-cawe dalam pesta demokrasi ini.

Cek Artikel:  Hormati Putusan Mahkamah Konstitusi

Mengapa ini penting untuk diingatkan? Ini karena mereka ialah pejabat negara, pelayan publik, yang tugasnya ialah melayani masyarakat bukan meladeni kepentingan kelompok tertentu. Kembali pula, mau ada pemilu atau tidak, pemerintahan ini harus tetap berjalan.

Apalagi, kini banyak persoalan serius yang mesti ditangani, dari soal krisis pangan, energi, hingga situasi geopolitik global yang semakin tidak menentu. Sekalian masalah ini lebih penting bagi pembantu presiden ketimbang mengurusi pemilihan presiden.

Apabila memang ingin terlibat dalam urusan copras-capres, ya sebaiknya mengundurkan diri sebagai pejabat negara. Ini lebih fair dan beretika, ketimbang sibuk mengurusi kepentingan segelintir orang atau kelompok, tetapi mengabaikan urusan bangsa yang lebih besar.

Cek Artikel:  Mencegah Kotak Hampa Pilkada

Independenitas aparatur dan pejabat negara masih menjadi ancaman dan tentu akan menggusur  sportivitas dalam laga pilpres. Hal ini tak lepas dari berkontestasinya putra sulung Presiden Jokowi sebagai pendamping cawapres Prabowo. Putusan Mahkamah Konstitusi yang berujung pelanggaran etika berat Ketua MK, Anwar Usman, karena meloloskan sang keponakan, Gibran, ialah bukti autentik keberpihakan yudikatif dalam arena pilpres.

Jujur, harus diakui, kita butuh etika keteladanan dari para pemimpin, yang sayangnya kini semakin langka di negeri ini.

Mungkin Anda Menyukai