Mega Ekonomi Hijau di Transisi Daya

Mega Ekonomi Hijau di Transisi Energi
Anthony Utomo(Dok pribadi)

Elu jual gue beli … elu diskon gue borong

BEGITULAH istilah anak sekarang yang kerap kita dengar. Kira-kira itulah kesan yang saya tangkap dalam mega ekonomi baru yang namanya ekonomi hijau yang sedang booming di seluruh penjuru dunia.

Dunia usaha seakan tidak mau ketinggalan dalam revolusi peradaban, yang berlomba berkelebat menuju angka keramat penurunan suhu 1,5 derajat fahrenheit.

Akhirnya kesampaian juga, saya bisa mendapatkan kesempatan mengikuti COP (Conference of Parties) atau konferensi tingkat tinggi di bawah United Nations Framework Convention for Climate Change (UNFCC), yang menjadi creme de la creme dunia keberlanjutan ekonomi hijau.

Uni Emirat Arab sebagai salah satu simbol pilar ekonomi lama dunia yang bergantung pada booming energi fosil, seakan tak mau kalah dalam eforia ekonomi dunia bergerak ‘memperbaiki bumi’. Di paviliun energy transition misalnya, Pemerintah Kota Dubai bersolek menunjukkan bagaimana mereka memiliki inisiatif gigawatt scale PLTS panas terkonsentrasi dan pengolahan air bersih.

Itu menunjukkan bahwa mereka memiliki hal yang jauh lebih maju dari sisi peradaban daripada hanya warisan sumber daya geografis dari moyang mereka; kesadaran bahwa momen kesempatan dalam menanggulangi perubahan iklim itu harus diambil.

Di paviliun yang sama juga ada perusahaan asal Serbuk Dhabi yang juga sukses mengembangkan PLTS Terapung Cirata di Indonesia, yang diklaim terbesar di Asia Tenggara yakni Masdar. Dengan kapasitas pembangkit mereka yang saat berkapasitas 192 Mwp, peningkatan kapasitas pembangkit menjadi 500 Mwp di COP28 yang ditandatangani bersama PLN, menjadikan Masdar tidak hanya menjadi jago kandang lagi, melainkan perusahaan global yang agresif di Indonesia.

Dengan peraturan PUPR terbaru, sebetulnya pemanfaatan bendungan Cirata bisa dioptimalkan hingga 20% yakni lima kali lipat dengan kapasitas saat ini dibangun oleh Masdar.

Terdapat juga ACWA Power, juga masih bagian dari pelaku raksasa kelistrikan asal Timur Tengah yang menandatangani perjanjian kerja sama dengan PLN pengembangan PLTS terapung, dengan kapasitas sebesar 77 mwp di PLTS Singkarak dan PLTS Saguling sebesar 92 mwp.

Sumber daya Indonesia

Gegap gempita untuk perubahan iklim juga tentunya tercermin dalam paviliun Indonesia. Dalam pagelaran COP28 terdapat area green zone dan blue zone. Area blue zone adalah area tertutup karena hanya bisa diakses peserta yang didaftarkan oleh Focal Point masing masing negara.

Meskipun area terbatas, di paviliun Indonesia setiap hari setiap sesi yang diisi berbagai pemangku kepentingan hampir selalu penuh, baik dari pemerintah maupun sektor swasta asing dari seluruh penjuru dunia. Hal ini bukti nyata betapa menariknya Indonesia di mata ‘para pemburu kesempatan hijau’, sebagai salah satu motor ekonomi maupun episentrum dekarbonisasi dunia melalui sumber daya alam kita.

Cek Artikel:  Proses tidak Mungkin Membohongi Hasil

Sayangnya, di balik gegap gempita gemuruh potensi ekonomi baru dari gelombang revolusi hijau dunia ini, khususnya di sisi pasokan atau grid side, juga menyisakan beberapa tantangan tersembunyi bagi Republik ini.

Kanika, Chief of Staff Sustainable Energy for All, sebuah lembaga NGO menyatakan bahwa rantai pasok dunia akan terdistorsi dengan literasi dan kerangka hijau, yang pengetahuan dan keahliannya hanya dipahami segelintir bagian dari seluruh pelaku ekonomi dunia.

Terang, sektor industri Indonesia adalah salah satu pilar ekonomi nasional yang berpotensi ketinggalan kereta dalam gerbong ekonomi baru ini.

Definisinya permasalahan pasokan energi bersih dan transisi energi berkeadilan, sudah tidak lagi layak hanya dikotakkan menjadi beban dan tanggung jawab PLN sebagai penerima mandat penyedia sektor kelistrikan di Indonesia.

Dunia usaha dan industri harus melek literasi kerangka kerja sehingga memiliki daya saing dan pemahaman mata uang ekonomi baru ini. Tata cara penghitungan protokol gas rumah kaca yang lazimnya disebut GHG Protocol maupun cara kerangka penanggulangannya seperti SBTI (Science Based Sasaran Initiative), harus menjadi sebuah bahasa percakapan yang mainstream dalam membawa industri kita agar bisa menembus pasar premium khususnya di negara barat dan adidaya dunia.

Kerangka kerja seperti CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) yang diimplementasikan di Eropa sejak Oktober silam, selayaknya tidak hanya dilihat sebagai upaya proteksionisme modern melainkan juga sebagai peluang. Itu dengan catatan bahwa pelaku usaha- baik skala besar maupun UMKM dapat mengambil peran- dalam ‘bahasa’ daya saing ekonomi dunia yang sedang bergeser.

Potensi besar

Dalam beberapa diskusi baik terbuka maupun tertutup di COP28, CBAM memiliki potensi besar direplikasi di pasar sektoral lainnya baik di Amerika Perkumpulan atau negara lain. Hal itu untuk melindungi industri dalam negerinya yang sudah ‘berevolusi hijau’ duluan, dan memiliki platform persaingan yang berbeda dengan barang impor dengan emisi yang lebih besar.

Andaikan bisa menarik diri sedikit ke masa depan, mungkin setiap produk Indonesia akan berlabel seperti minuman ringan yang sering kita temui sehari-hari. Alih alih menampilkan isi kalori dan gula, produk dan layanan kita akan berlabel berapa banyak emisi karbon CO2 yang dilepaskan untuk membuat sebuah produk, dan daya saing kita akan dinilai dunia dari seberapa merusak lingkungan kita dalam membentuk sebuah unit produk.

Cek Artikel:  Pilpres dan Karma Kartelisasi Elite

KADIN melalui sustainability committee memiliki dua tim kerja yang menjadi platform upaya dunia usaha dan sektor swasta untuk mengambil peran dalam hal tersebut yakni KADIN Net Zero Hub dan Pokja Transisi Daya.

Banyak preseden baik dalam upaya pemerintah untuk menggaet investasi masuk ke Indonesia yang masih sejalan dengan peta jalan transisi energi nasional; antara lain dengan implementasi TKDN. Dengan begitu ketahanan energi kita ditopang kemandirian penyediaan alat dan perangkat pembangkit maupun industri pendukungnya dalam negeri.

Transisi energi hijau

Terdapat peluang lebih besar yang bisa kita dorong bersama dari banyak diskusi baik di Pokja Transisi Daya dan KADIN Net Zero Hub yang juga memiliki warna yang kental di berbagai diskusi COP28; pengembangan industrialisasi hijau di Indonesia.

Pergeseran dari selera pengguna akhir dari seluruh dunia memberi potensi Indonesia untuk menyalip simpul simpul industri dunia. Hal itu sejalan dengan transisi energi hijau yang sedang berlangsung di Indonesia. Negeri ini dapat mengambil posisi ini dalam peta industri dunia, bedanya dengan masa lampau, dengan meleverage hasrat negara pengembang kelistrikan.

Revolusi hijau untuk produk dan jasa diseluruh penjuru bumi ini, sayangnya, masih dinikmati oleh negara maju karena industrinya memiliki literasi dan ekosistem yang jauh lebih siap. Sebetulnya dalam banyak hal Indonesia bisa tetap berkolaborasi dengan investor asing yang memiliki pasar ekspor dengan bermitra, misalnya dengan UMKM Indonesia. Hanya saja proses penciptaan demand hijau ini harus memiliki penguatan berantai secara kelembagaan dari sisi suplai pasokan listrik bersih.

Tren produsen listrik swats atau IPP (independent power producer) asing yang masuk ke Indonesia dalam skala besar, harus dimaknai bahwa tren pertumbuhan saat ini akan bermuara di Asia Tenggara adalah sebuah keniscayaan.

Pengembang listrik bersih, sebagaimana contoh Masdar dan ACWA Power, tidak hanya bermodalkan sumber pembiayaan dengan bunga rendah yang pastinya lebih bersaing dari kebanyakan pengembang kelistrikan indonesia. Melainkah juga bisa membawa offtaker akhir melalui aliansi negara atau ikatan geografisnya sehingga terdapat demand creation di sisi pengguna.

Tak hanya memberi dampak pasar perangkat industri kelistrikan kita tumbuh dengan kebijakan TKDN, leveraging transisi energi bersih memberi kesempatan Indonesia untuk mengagregasi demand industri hijau ini. Sekaligus mendorong Indonesia menjadi powerhouse green industry dunia.

Cek Artikel:  Iran dan Timur Tengah Pasca-Raisi

Mekanisme pasar

Pola linkage platform antara supply dan demand side ini bukanlah ide fatamorgana di Republik, karena sebetulnya juga sudah banyak kajian dunia. Seperti yang juga dibahas di COP28 yakni tulisan Simone Tagliepetra, untuk UN Department for Economic and social Affairs bertajuk Green Industrial Policy: A Dunia Perspective.

Alih alih kita berharap ada bantuan negara maju semata untuk mencapai gap keekonomisan energi terbarukan, kita bisa bersandar dengan mekanisme pasar untuk menghasilkan sektor industri yang memang memiliki nilai tambah green premium. Hal itu untuk menjustifikasi biaya tarif energi bersih yang mungkin akan lebih tinggi dari energi kotor.

Revolusi sisi supply mulai dari pasokan pembangkit base load renewables seperti geotermal, hydro dan gas, hingga smart grid dan variant renewables yang tercantum dalam CIPP (comprehensive investment and policy plan) JETP (just energy transition partnership) hasil G20 setahun silam, harus diiringi dengan paket investasi di sektor offtaker atau pengguna akhir.

Dengan ini maka akan ada komitmen investasi manufakturing green EV, green aluminium, green steel, data centers maupun export oriented products dari negara yang turut serta dalam pengembangan di sisi supply side atau pasokan listrik bersih.

Indonesia harus memanfaatkan revolusi tulang punggung industri ketenagalistrikan kita, yang diprediksi tak kurang dari US$170 miliar. Dengan konteks lebih luas dari hanya sekadar industri penunjang kelistrikan melalui kebijakan TKDN sektor listrik.

Kembali ke tajuk saya, sebagai oleh-oleh khususnya lesson learned COP28 dari seorang pengusaha untuk para pengusaha lainnya di Indonesia.

Our leader should be the best dealers of hope. Seluruh pemimpin di dunia usaha harus mampu membawa pemahaman pentingnya adopsi dekarbonisasi hijau bagi pemangku kepentingannya, setidaknya ke dalam organisasi dan perusahaan yang dipimpinnya.

Di situlah ekosistem industri rendah karbon kita akan tumbuh melalui percakapan yang benar. UMKM kita bisa menyalip di ceruk-ceruk persaingan pembeli global dengan komitmen net zero yang akuntabel. Terlebih bila ditopang pasokan energi bersih dari PLN sebagai tulang punggung industrialisasi hijau.

Bergeser dari idiom lama kita di Indonesia, sepertinya senandung dunia akan bergeser… elu jual, gue beli … apalagi kalau rendah karbon.

Pandangan pribadi dan tidak mewakili sikap organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung.

Mungkin Anda Menyukai