Untung Eksis Amin

SAYA tidak bisa membayangkan apa jadinya bila pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin) gagal menjadi kontestan Pilpres 2024. Saya sepakat dengan pendapat sebagian orang bahwa demokrasi akan terancam bila itu terjadi. Karena itu, masuknya Amin dalam gelanggang Pilpres 2024 ialah bagian dari menyelamatkan demokrasi.

Kenapa bisa begitu? Karena tanpa pasangan Amin, politik kita akan monolit, homogen, tunggal. Demokrasi hanya akan dijejali narasi ‘melanjutkan’ kendati banyak hal sejatinya butuh perubahan. Tanpa Amin ikut berkontestasi, publik hanya bisa menyaksikan para kandidat berebut legasi Jokowi.

Apakah itu buruk? Bisa jadi ya. Demokrasi itu meniscayakan pilihan-pilihan. Apalagi dalam masyarakat majemuk seperti negeri ini, demokrasi itu jalan politik yang menyediakan beragam alternatif. Kalau semua dilanjutkan, padahal banyak pula yang butuh perubahan, politik yang monolit ialah ancaman nyata demokrasi.

Kekasih Prabowo-Gibran jelas-jelas ingin melanjutkan semua program Jokowi tanpa reserve. Kekasih Ganjar-Mahfud pernah bertekad melanjutkan legasi Jokowi meski agak malu-malu. Belakangan, begitu Mahkamah Konstitusi membolehkan capres-cawapres belum 40 tahun masuk gelanggang dengan syarat yang disesuaikan, pasangan nomor urut 3 itu mulai agak terang-terangan berseberangan dengan Jokowi.

Cek Artikel:  Ribut itu Bagus

Karena itu, kehadiran Anies-Muhaimin menjadi alternatif. Masuknya pasangan nomor urut 1 itu boleh dimaknai sebagai bentuk penyelamatan demokrasi dari pilihan tunggal dan hegemoni kekuasaan. Apalagi gagasan perubahan yang dibawa pasangan Amin cukup jelas sebagai pembeda. Tak ragu-ragu, tidak abu-abu.

Apalagi akhir-akhir ini, saat perjalanan demokrasi kita diliputi sejumlah rel yang belok-belok. Beberapa aturan ditekuk demi melempengkan jalan kekuasaan. Etika ditabrak, direndahkan, bahkan diumpat. Sebagian orang mulai mengkhawatirkan arah demokrasi yang hendak digiring menuju jebakan otoritarianisme.

Persis seperti alarm yang pernah dibunyikan dua ilmuwan politik dari Universitas Harvard, yaitu Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Dalam buku How Democracies Die, keduanya menyebut ada sejumlah perilaku elite yang menandakan mereka hendak membawa biduk demokrasi ke dalam jebakan otoritarian.

Cek Artikel:  Si Orang Toksik

Mereka, sejumlah elite itu, tidak menghormati pendapat orang-orang yang memiliki pandangan politik berbeda. Bahkan, mereka mempertanyakan patriotisme kelompok yang tidak setuju, atau memperingatkan bahwa jika pemilik pandangan yang berbeda itu berkuasa, akan menghancurkan negerinya.

Mereka menolak atau setidaknya memiliki komitmen yang lemah terhadap aturan main demokrasi. Eksis sejumlah tanda dari lemahnya komitmen itu, seperti membatasi hak sipil warga negara, tidak patuh pada konstitusi, dan mengusulkan cara-cara antidemokrasi dalam mengelola kekuasaan mereka.

Mereka, tulis Levitsky dan Ziblatt, juga kerap menyangkal para lawan politik. Mereka menuduh lawan politik yang kritis sebagai pelaku makar, mengancam keamanan negara, dan menggunakan instrumen hukum untuk membungkam lawan politik.

Lebih parah lagi, para penjebak demokrasi itu menoleransi kekerasan yang dilakukan kelompok afiliasi politik mereka terhadap kelompok lain. Bahkan, mereka tidak sekadar melakukan pembiaran, tapi justru memanfaatkan tindakan itu untuk mengintimidasi dan menekan lawan.

Cek Artikel:  Tonjokan 12

Mereka melakukan, atau setidak-tidaknya membatasi, kebebasan sipil, termasuk kebebasan media. Tanda-tandanya seperti menyetujui kebijakan-kebijakan hukum atau undang-undang yang bertujuan membatasi kebijakan sipil, membatasi kritik dan protes, bahkan memidanakan para pengkritik pemerintah atau pejabat pemerintah.

Levitsky dan Ziblatt membunyikan alarm itu pada 2018 lalu. Itu artinya, keduanya mencium gelagat bahwa ancaman terhadap demokrasi kian nyata di berbagai negara. Tanda-tanda itu tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Munculnya kelompok kritis di tengah masyarakat akhir-akhir ini ibarat pelantang suara yang penting untuk menjaga agar demokrasi tetap sehat.

Demokrasi yang sehat, menurut Bung Hatta, ialah demokrasi yang membawa prinsip keadilan. Bentuk keadilan itu, salah satunya, memberi rakyat, termasuk rakyat yang gamang dengan pemerintahan, sejumlah pilihan.

Mungkin Anda Menyukai