Konsolidasi Demokrasi Demi Pemilu 2024

Liputanindo.id OPINI – Konsolidasi demokrasi merupakan bagian penting dalam upaya mewujudkan Indonesia yang demokratis. Proses ini tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang cukup panjang sejak dimulainya tahap inisiasi demokrasi pada tahun 1999, setahun setelah terjadinya gerakan reformasi. Meskipun demikian, terdapat ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT) yang masih mempengaruhi proses ini, baik dari segi struktural maupun budaya politik. Tetapi, berbagai upaya demokratisasi dilakukan secara besar-besaran oleh semua elemen masyarakat, termasuk pemerintah, legislatif, yudikatif, dan komponen-komponen masyarakat yang mendukung demokrasi. Dengan mendekati Pemilu 2024, acara ini tidak hanya diharapkan sebagai pesta demokrasi bagi rakyat, tetapi juga menjadi momentum penting untuk memperkuat konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung.

Tahap-tahap demokrasi

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI), pemerintah bertujuan untuk mencapai demokrasi matang pada tahun 2029 melalui proses demokratisasi yang sedang berlangsung. Buat mencapai target tersebut, ada beberapa tahapan yang harus dilalui, dimulai sejak Pemilu 1999, yang merupakan Pemilu pertama setelah reformasi. Tahapan-tahapan ini meliputi inisiasi, instalasi, konsolidasi demokrasi, hingga tercapainya demokrasi matang. Salah satu aspek menarik dari setiap tahapan tersebut adalah eksistensi Pemilu sebagai elemen kunci dalam proses demokratisasi.

Tahap inisiasi dimulai dengan Pemilu 1999, yang dianggap sebagai Pemilu pertama pasca reformasi. Tahap instalasi dilanjutkan dengan penyelenggaraan Pilpres langsung pertama oleh rakyat pada tahun 2004, yang berlanjut hingga saat ini.

Mengapa Pemilu memiliki peran vital dalam tahapan demokratisasi tersebut? Pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab. Pemilu merupakan instrumen utama demokrasi yang berperan sebagai alat sirkulasi elit dan kepemimpinan, serta sebagai medium aktualisasi hak dan kewajiban politik seluruh warga negara. Melalui pelaksanaan Pemilu, prinsip-prinsip universal demokrasi seperti kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, kebebasan sipil, serta musyawarah mufakat menemukan momentum aktualisasinya.

Cek Artikel:  Perlukah Moderasi Variasia Dikembangkan sebagai Budaya Keilmuan

Pada tahap inisiasi yang dimulai tahun 1999, Pemilu mulai memasuki periode pelaksanaan yang substansial, tidak hanya sekedar prosedural dan seremonial. Banyak partai politik bermunculan dan berpartisipasi, yang sejalan dengan banyaknya calon presiden dan wakil presiden yang diusung. Visi, misi, dan program kerja para calon juga merepresentasikan ideologi partai politik yang mengusung serta kebutuhan masyarakat pada masa itu. Yang tak kalah penting adalah pembentukan Komisi Pemilihan Biasa (KPU) pada tahun 1999 untuk memastikan bahwa Pemilu berlangsung secara demokratis.

Esensi Pemilu pada tahap inisiasi tersebut ada dua: perbaikan Pemilu secara struktural dan kelembagaan politik, serta munculnya komitmen penyelenggaraan yang sistematis dan demokratis. Situasi dan kondisi seperti ini tidak ditemukan di era sebelumnya yang penuh dengan tekanan dan manipulasi politik demi kepentingan rezim yang berkuasa. Pemilu, yang seharusnya menjadi ajang sirkulasi elit, malah menjadi sarana untuk menciptakan stagnasi kepemimpinan pada satu nama dan satu rezim.

Esensialisme Pemilu mengalami penguatan pada tahap instalasi ketika Pilpres langsung pertama kali digelar pada tahun 2004. Progresivitas ini tercermin dari meningkatnya jumlah partai politik yang berpartisipasi, keberagaman ideologi yang diusung, peningkatan partisipasi politik masyarakat, adanya aktivitas formulasi regulasi untuk Pemilu di legislatif, munculnya mekanisme pengkubuan politik untuk kandidasi calon presiden (koalisi), munculnya lembaga riset dan survei Pemilu, serta menjamurnya masyarakat sipil sebagai mekanisme penyeimbang pemerintah. Pada tahap ini, Pemilu benar-benar menjadi instrumen bagi penguatan demokrasi secara struktural dan kelembagaan.

Tantangan konsolidasi demokrasi

Sirkumstansi pada tahap konsolidasi demokrasi tentu berbeda dengan dua tahap sebelumnya. Pada tahap konsolidasi demokrasi, muncul berbagai kompleksitas sebagai konsekuensi dinamika politik, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat. Tahapan ini diproyeksi akan berlangsung panjang, dari tahun 2014 hingga 2029, atau membutuhkan waktu setidaknya 15 tahun. Pertanyaannya adalah, mengapa proses konsolidasi demokrasi tidak mudah dan memiliki banyak hambatan? Hal ini dapat dijawab dari definisi konsolidasi demokrasi itu sendiri. Larry Heningond dalam bukunya “Developing Democracy toward Consolidation” (1999) menyatakan bahwa konsolidasi demokrasi adalah upaya untuk memelihara stabilitas dan keberlangsungan demokrasi. Konsolidasi demokrasi juga diartikan sebagai upaya berkesinambungan untuk mencapai pengakuan dan legitimasi yang kuat dari seluruh aktor politik, baik di tingkat elit maupun akar rumput, bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan dan sistem politik yang paling tepat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Cek Artikel:  Revisi UU TNI dan Nostalgia 2004

 

Berdasarkan pemahaman tersebut, konsolidasi akan berjalan lancar jika ada komitmen, konsistensi, dan kesinambungan proses yang diyakini dan dimiliki oleh seluruh aktor politik. Ini tentu tidak mudah karena politik seringkali dimaknai sebagai seni kepentingan dan kekuasaan, bukan untuk kemaslahatan rakyat, bangsa, dan negara. Eksis banyak contoh sederhana bagaimana konsolidasi demokrasi sering terhambat pelaksanaannya. Otonomi daerah ternyata belum sepenuhnya menyejahterakan rakyat, Pilkada langsung menghasilkan kepala daerah yang sering terlibat kasus korupsi, birokrasi masih gemuk dan lamban dalam melayani masyarakat, serta masyarakat yang masih apatis terhadap politik yang ditunjukkan oleh banyaknya golput dalam setiap Pemilu. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan. Eksis indikator kuantitatif untuk melihat dampak nyata demokrasi dalam bentuk kualitas pembangunan manusia, persepsi korupsi, pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan kemiskinan, daya saing global, dan lainnya. Demi ini, semua indikator tersebut masih membutuhkan penguatan dan improvisasi agar lebih optimal.

Dalam studi yang dilakukan oleh Lemhannas RI mengenai konsolidasi demokrasi, ada empat rumpun permasalahan utama, yaitu budaya politik, regulasi atau peraturan perundang-undangan, kapasitas kelembagaan, serta adaptasi teknologi. Pemilu 2024 sudah di depan mata dan akan menjadi Pemilu keenam di era pasca reformasi atau Pemilu kelima yang dijalankan secara langsung dengan rakyat sebagai pemilih langsung. Pemilu 2024 diharapkan sekaligus diproyeksikan sebagai momentum untuk menuntaskan transisi demokrasi Indonesia menuju demokrasi matang di seluruh lapisan struktur politik nasional. Proyeksi ini tidak bersifat mutlak, namun arah keberhasilannya cukup menjanjikan. Pilpres sebelumnya, khususnya Pilpres 2014 dan 2019, menjadi pelajaran berharga bagi penyelenggara Pemilu untuk lebih menguatkan kapasitasnya dalam penyelenggaraan dan pengawasan. Partai politik sebagai pilar demokrasi juga berkomitmen untuk menyuguhkan kompetisi yang lebih bergairah dengan banyak pilihan dan calon dalam bursa capres-cawapres, serta kandidat legislatif yang tidak hanya populer dan memiliki elektabilitas, tetapi juga berkapasitas dalam menerjemahkan kemauan dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat juga semakin teredukasi secara politik untuk melaksanakan hak politiknya dalam Pemilu yang diharapkan akan berkorelasi dengan meningkatnya partisipasi politik masyarakat.

Cek Artikel:  Agenda Busuk di Balik Isu Depresi dalam Pendidikan Spesialis

Selain peluang penguatan konsolidasi demokrasi di atas, ada juga ancaman yang harus dicermati. Eksis banyak pakem Pemilu yang berjalan namun dalam kondisi diperdebatkan, seperti persoalan ambang batas pencalonan presiden, rezim keserentakan, termasuk isu proporsional tertutup dan terbuka yang saat ini masih dalam proses di MK. Persoalan-persoalan tersebut harus ditimbang dalam kacamata konstitusi dan demokrasi agar keputusan yang diambil tidak mencederai konsolidasi demokrasi yang telah berjalan. Peletakan konstitusi sebagai dasar keputusan merupakan hal wajib agar keputusan yang diambil bersifat konstitusional dan memiliki fondasi hukum yang kuat. Sedangkan dalam kacamata demokrasi, persoalan yang ada diharapkan tidak menabrak prinsip-prinsip yang berlaku, terutama kedaulatan rakyat sebagai esensi utama demokrasi. Kita semua berharap, Pemilu 2024 akan menjadi momentum yang pas bagi konsolidasi demokrasi menuju demokrasi yang paripurna; negara demokratis sesuai amanat reformasi.

 

Penulis: Muhammad Naufal Nugraha (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah)

 

 Definisikel penulis tidak mewakili pandangan dari caritau.com.

Mungkin Anda Menyukai