UNTUK kali ketiga, Joko Widodo tampil di panggung debat calon presiden dan wakil presiden. Pertama, dia manggung sebagai capres di Pilpres 2014, lalu pada 2019, dan belum lama ini berdebat sebagai cawapres. Lho kok bisa?
Tunggu dulu. Tentu saja bukan Jokowi asli yang tampil di Jakarta Convention Center, Jakarta, Jumat (22/12). Secara aturan, dia tak boleh lagi nyalon. Konstitusi menggariskan, masa jabatan presiden maksimal dua periode meski pernah ada upaya untuk menambah atau memperpanjangnya.
Terdapat yang berpendapat, presiden yang sudah 10 tahun menjabat masih dapat turun ke gelanggang kompetisi, tapi bukan sebagai capres, melainkan cawapres. Berarti turun derajat. Itu juga kalau presidennya mau. Tetapi, ada juga yang berpandangan sebaliknya. Apa pun, Pilpres 2024 sudah dimulai dan Jokowi tak maju lagi.
Kalau begitu, kenapa dia kembali ada di panggung debat? Tentu yang dimaksud bukan Jokowi, Presiden RI saat ini. Yang berdebat menghadapi Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD akhir pekan lalu adalah tiruan, copypaste-nya. Dia tak lain sang putra sulung, Gibran Rakabuming Raka, pendamping capres Prabowo Subianto.
Banyak yang menilai, penampilan Gibran mirip benar dengan Jokowi. Bunyinya, intonasinya, gayanya, gesturnya, mimiknya, serupa dengan sang bapak. Tak cuma itu, strategi dan taktik dalam berdebatnya pun bak air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Sami mawon.
Gibran sempat di-underestimate karena sebelumnya selalu menghindar dari undangan debat dari berbagai lembaga. Tamat-sampai muncul istilah ‘asam sulfat belimbing sayur’ alias ketimbang debat mending kabur. Tetapi, di atas panggung, dia membalikkan stigma buruk itu menjadi pujian.
Banyak yang terkaget-kaget Gibran ternyata piawai berdebat. Banyak yang tak percaya, dia menguasai tema debat. Banyak yang bingung dia yang tadinya diposisikan underdog justru tampil dominan, agresif menekan Gus Imin dan Prof Mahfud.
Sesaat setelah debat, Gibran panen sanjungan. Welcome to The Gibran Show, begitulah salah satu bentuk pengakuan untuk Gibran. Tetapi, pujian dan pengakuan itu hanya sesaat. Dia awalnya sukses menyedot perhatian masyarakat, tetapi belakangan banyak kesalahan yang terungkap.
Gibran disebut melakukan sejumlah kebohongan, menguar data dan fakta yang tak sesuai realitas. Mantan Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo, umpamanya, terang-terangan menyebut Gibran bohong kala menyebut bantuan dari pemerintah pusat ke Surakarta sebelum era kepemimpinannya lebih besar.
Yang tak kalah fatal, Gibran mendapat kritik tajam karena dinilai punya niat menjatuhkan lawan dengan cara tak elok. Pertama, ketika dia menanyakan kepada Mafhfud soal bagaimana membuat regulasi carbon capture and storage. Kedua, saat dia bertanya Gus Imin dengan singkatan SGIE tanpa menjabarkan singkatannya.
Pertanyaan itu bersifat teknis yang tak semestinya menjadi menu perdebatan sekelas cawapres. Pertanyaan itu jebakan yang nawaitu-nya sejak awal untuk mempermalukan lawan. Teknik debat seperti ini kiranya level paling rendah. Tak berlebihan jika kemudian Gibran yang tadinya panen persepsi positif berbalik kebanjiran sentimen negatif.
Taktik seperti itu pula yang dipakai Pak Jokowi di dua debat pilpres menghadapi Pak Prabowo. Kalau kemudian ditiru oleh anaknya, itu kian mengonfirmasi bahwa Gibran ingin dilihat publik seperti Jokowi. Menukil teori match and mirror, barangkali dia ingin dilihat, didengar, dan dirasakan seperti ayahnya.
Kemiripan antara bapak dan anak ialah hukum alam, normal, sangat normal. Pun amat wajar jika sang anak terobsesi pada sang bapak, termasuk dalam urusan politik.
Kalau bapak saya orang hebat, kenapa harus meniru orang lain? Begitulah kira-kira prinsip Gibran dalam mengarungi persaingan menuju kursi RI-2 kali ini. Jadi, boleh-boleh saja, sah-sah saja, dia tampil semirip mungkin dengan Jokowi termasuk di panggung debat. Yang tidak boleh diteruskan ialah hal-hal buruk, seperti inkonsistensi. Sayangnya, yang itu pun juga banyak ditiru oleh Gibran.
Langkah yang dulu jitu belum tentu ampuh saat ini. Kata survei, tingkat kepuasan rakyat kepada Jokowi memang sangat tinggi, di atas 70% bahkan di kisaran 80%. Tetapi, apakah ia akan berbanding lurus, linier, dengan peluang Prabowo-Gibran untuk memenangi kompetisi? Belum tentu.
Kembali pula, kiranya rakyat lebih senang dengan pemimpin yang tampil dengan jati dirinya sendiri. Seperti yang Matt Damon bilang bahwa, “Menjadi diri sendiri lebih baik daripada mencoba menjadi versi dari apa yang menurut Anda diinginkan orang lain.” Kembalian, rakyat juga tak bisa lupa Gibran bisa nyawapres setelah aturan dan etika dihinakan.