SEBAGAI pemain, Wayne Rooney tergolong sebagai pesepak bola berbakat dan terbaik yang pernah dimiliki Inggris. Ia pernah dikenal sebagai pencetak gol terbanyak untuk Three Lions dengan 40 gol. Rekor Rooney baru 2022 lalu dipecahkan oleh Harry Kane.
Tetapi, kiprah hebatnya sebagai pemain tidak otomatis membawanya menjadi pelatih bertangan dingin. Rooney tidak berhasil menurunkan bakat besar sepak bolanya kepada pemain asuhannya.
Tiga posisi manajer dalam tiga tahun, tetapi tiga kali dipecat di tengah jalan jelas bukan prestasi yang bisa dibanggakan. Nasib Rooney jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan nasib dua rekannya di Three Lions, Gary Neville ataupun Frank Lampard.
Apalagi, pemecatan ketiga di Birmingham City terjadi hanya 83 hari setelah Rooney diangkat menjadi manajer. Pihak manajemen Birmingham tanpa ampun menjatuhkan palu godam kepada bintang sepak bola Inggris itu karena dalam 15 pertandingan hanya bisa membawa 2 kemenangan, 4 kali seri, dan 9 kali kalah.
Pengalaman pahit Rooney menunjukkan bahwa tidak mudah membangun sebuah kesebelasan yang tangguh. Mantan bintang Manchester United itu sendiri mengatakan, dibutuhkan waktu untuk membangun sebuah tim yang kuat. Itu tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan.
Tetapi, seringkali pemilik dan pendukung klub tidak sabar untuk segera mendapatkan tim yang mereka mimpikan. Segala ingin cepat melihat hadirnya sebuah kesebelasan yang bisa mereka banggakan dan meraih prestasi yang tinggi.
Padahal, tidak mungkin ada panen tanpa proses menanam. Dalam sepak bola tidak cukup hanya dengan mengumpulkan 11 pemain bintang untuk membangun sebuah kesebelasan yang hebat. Sepak bola bukan sekadar mengandalkan keterampilan, melainkan keterpaduan hati di antara para pemain.
Brasil sejak 2002 tidak pernah bisa lagi mengangkat trofi Piala Dunia. Kegagalan mereka bukan disebabkan karena kurangnya pemain bintang. Bahkan pelatih Tim Samba selalu dipusingkan untuk membangkucadangkan pemain yang mana.
Dengan Neymar Jr ada di sana, juga Vinicius Jr, Rodrygo, Gabriel Jesus, Casemiro, Bruno Guimaraez, Douglas Luiz, dan Marquinhos, Brasil merupakan tim para bintang. Tetapi, para pemain bintang itu tidak mampu menjadi satu kesebelasan yang utuh ‘satu hati’ karena mereka terbatas untuk berlatih dan bermain bersama.
Maksimal hanya dua pekan sebelum kejuaraan mereka bisa berkumpul bersama. Tak usah heran di kandang mereka, Stadion Maracana, mereka dicundangi Argentina 0-1 pada penyisihan Piala Dunia 2026 Grup Amerika Latin.
Naturalisasi
Dengan belajar dari pengalaman negara-negara lain, aneh jika pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia masih berpandangan bahwa ada jalan pintas yang bisa ditempuh untuk membangun sepak bola. Mereka terus berkutat mencari pemain naturalisasi guna mengangkat prestasi tim Indonesia.
Terakhir, Ketua Lazim PSSI Erick Thohir menyampaikan kegembiraannya mendapatkan dua pemain naturalisasi tambahan, Justin Hubner dan Sandy Walsh. Dengan Elkan Baggott yang akan bergabung dari Ipswich kemudian, ia yakin tim Indonesia akan bersinar di Piala Asia 2024 yang bergulir mulai pekan depan di Qatar.
Para pecinta sepak bola Indonesia tentu berharap tim ‘Merah Putih’ akan bisa tampil gemilang di Piala Asia nanti. Meski satu grup dengan Jepang, Irak, dan Vietnam, tim asuhan Shin Tae-yong akan bisa lolos babak penyisihan dan masuk 16 besar seperti yang ditargetkan.
Tetapi, sepak bola bukanlah seperti permainan lego yang begitu mudah dipasang-pasangkan. Tak bisa hanya dengan mengumpulkan 11 pemain naturalisasi otomatis akan dihasilkan sebuah kesebelasan nasional yang tangguh dan mampu bersaing dengan kesebelasan terbaik Asia lainnya.
Juergen Klinsmann yang kini ditunjuk menjadi pelatih Korea Selatan saja harus bekerja keras menyatukan gaya permainan tim asuhannya yang tersebar di klub-klub Eropa. Dengan hanya dua pekan waktu yang dimiliki untuk berlatih bersama, dibutuhkan perjuangan berat untuk bisa mengangkat Piala Asia yang sudah 64 tahun tidak mampu ‘Kesatria Taegeuk’ lakukan.
Mantan pelatih Jerman itu bersyukur bisa mendapatkan kapten kesebelasan Son Heung-min yang dilepas Tottenham Hotspur. Berbarengan Hang Hee-chan yang bermain gemilang bersama Wolverhampton Wanderers, Klinsmann berharap bisa memiliki penyerang yang haus gol.
Apalagi di barisan belakang, Korsel mendapat dukungan center-back asal Bayern Muenchen Kim Min-jae. “Tugas saya sekarang bagaimana mereka bisa cepat menjadi satu kesatuan tim. Saya senang karena semua pemain memiliki tujuan yang sama, yakni mengangkat kembali Piala Asia setelah 64 tahun tidak pernah lagi menjadi juara,” ujar Klinsmann.
Jepang yang akan menjadi lawan Indonesia di penyisihan grup juga mempersiapkan tim terbaik mereka. Instruktur Hajime Moriyasu tetap memasukkan penyerang sayap asal Brighton & Hove Albion Kaoru Mitoma meski pemain yang lincah itu masih mengalami cedera.
Setelah keberhasilan mengalahkan dua juara dunia, Jerman dan Spanyol, di ajang Piala Dunia 2022, tim ‘Samurai Biru’ datang ke Qatar dengan kepercayaan diri yang tinggi. Apalagi mereka memiliki pemain-pemain muda berbakat seperti Wataru Endo yang bermain gemilang untuk Liverpool.
Dengan delapan pemain naturalisasi, di atas kertas tim Indonesia sepertinya tidak kalah kualitas dengan pemain negara lain. Erick Thohir boleh bangga memiliki center-back seperti Hubner yang sudah menikmati bermain untuk Wolverhampton seperti Hwang Hee-chan. Tetapi, dalam uji coba melawan Libia, Selasa lalu, Hubner menjadi salah satu titik kelemahan.
Kekalahan 0-4 dari Libia yang baru selesai dari perang menunjukkan tidak ada jalan pintas dalam membangun sepak bola. Meski laga itu hanya uji coba, hasil itu memberi gambaran bahwa perjalanan menuju sepak bola yang lebih berprestasi membutuhkan waktu panjang.
Kita harus memutus kebiasaan pejabat memimpin olahraga yang ingin langsung meraih juara. Bahwa ukuran prestasi itu tidak hanya juara. Membangun fondasi dan sistem agar tercipta pembinaan yang benar sejak usia dini juga merupakan prestasi karena akan menghasilkan tim nasional yang hebat di masa mendatang.
Tak perlu hanya karena merasa terbatas masa jabatannya kemudian tergiur untuk memilih jalan pintas. Terdapat masanya menanam dan kelak akan ada masanya panen. Kalaupun bukan pada era kita masa panen itu datang, pengorbanan untuk mau menanam akan diingat sepanjang masa.
Belajarlah seperti Presiden Federasi Sepak Bola Prancis Fernand Sastre. Ia tidak pernah melihat Les Bleus mengangkat Piala Dunia karena tiga hari setelah putaran final Piala Dunia 1998 dimulai ia wafat. Tetapi, pecinta sepak bola Prancis mengenangnya sebagai Bapak Sepak Bola Prancis karena hasil pembinaan sepak bola usia dini yang ia tanamkan bisa membawa kembali Piala Dunia ke tanah Prancis setelah 60 tahun.
Kita juga harus belajar untuk percaya diri seperti Maroko. Mereka bisa menjadi negara Afrika pertama yang menembus semifinal Piala Dunia karena menggunakan pemain binaan mereka sendiri, bukan jalur naturalisasi. Pepatah mengajarkan berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Kita harus mau bersakit-sakit dahulu untuk meraih kemenangan kemudian.
Sekarang tim sudah terbentuk dan mari saksikan saja penampilan tim Indonesia di ajang Piala Asia 2024. Selamat berjuang dan nikmati kompetisi tanpa perlu harus terbebani oleh target.