Kepercayaan

MERAIH kepercayaan itu susah. Tetapi, mempertahankan kepercayaan itu jauh lebih susah. Saya percaya dengan rumus itu. Saking susahnya, banyak orang rela hendak ‘membeli’ kepercayaan layaknya berdagang.

Pemilu hari ini ialah pertaruhan kepercayaan. Pilpres hari ini ialah ujian apakah kepercayaaan bisa dibeli atau tidak. Saya katakan pertaruhan karena basis kepercayaan kepada instrumen negara mulai rontok. Elite penyelenggara negara itu pula yang merontokkannya.

Ketakutan akan kekalahan membuat elite penyelenggara negara hendak membeli kepercayaan (trust) itu dengan kelangsungan jabatan, hadiah, bantuan, dan ancaman guna menebarkan rasa cemas. Maka, trust yang menjadi fondasi demokrasi digantikan dengan ketakutan, mirip negara yang dijalankan secara otoriter.

Dalam negara demokrasi, trust menjadi kunci. Sementara itu, pada negara yang berada dalam genggaman otoritarian, ketakutan menjadi menu sehari-hari. Di kalangan otoritarian, tidak boleh ada suara sumbang, apalagi berbeda.

Di hadapan penguasa bertabiat lalim, sebuah penolakan sehalus apa pun, akan terdengar bagai letusan dinamit yang menggentarkan karena seperti yang dituturkan peraih nobel sastra Ignazio Silone, penguasa yang cenderung diktator biasanya kerap berangkat dari rasa cemas tak berkesudahan. Maka, suara yang berbeda akan selalu terdengar tidak menyenangkan bagi diktator.

Cek Artikel:  Sedekah atau Risywah

Saya lalu teringat pidato penutup Jokowi di Debat Pilpres 2019 yang menyebut bahwa ia tidak punya potongan diktator. Itu artinya, Jokowi tidak akan memainkan politik kecemasan dan ketakutan. Jokowi akan menyandarkan trust dalam menjalankan roda pemerintahan. Itu janji Jokowi.

Tekad verbal itu ia ulang-ulang di banyak kesempatan. Yang terakhir, pada September 2023 lalu, di depan relawan Seknas Jokowi, mantan Wali Kota Solo itu kembali mengatakan bagaimana ia menjadikan kepercayaan sebagai pilar utama langkah politiknya, sekaligus saat memulai terjun di dunia usaha.

Ketika itu, Jokowi mengatakan hanya membangun kepercayaan kepada para konsumen saat memulai bisnis. Dia mengaku tak punya apa-apa untuk memulai usaha besar. “Saya bangun saat itu adalah satu, yaitu kepercayaan, trust, enggak ada yang lain karena saya tidak punya apa-apa,” tuturnya.

Atas dasar kepercayaan dari konsumen, katanya, orang-orang mulai banyak membantunya. Dia mengatakan mendapat kepercayaan dari orang lain merupakan hal yang sulit. “Orang Solo pasti tahu berangkat saya dari mana, saya memiliki apa. Begitu juga di bisnis, yang saya bangun ialah trust, kepercayaan, sehingga orang mau memberikan bahan bakunya kepada saya, meminjamkan, orang mau memberikan bahan, menolong tanpa bayar dulu, itulah yang saya bangun, kepercayaan,” jelasnya.

Cek Artikel:  Kerja Menunggu Viral

Jokowi mengatakan hal serupa juga dilakukannya saat masuk ke dunia politik. Jokowi mengatakan membangun kepercayaan publik terhadap dirinya. “Begitu juga saat saya masuk di politik juga sama. Yang saya bangun tidak ini, ini, ini. Hanya satu yang saya bangun, ialah trust, kepercayaan, itu yang sulit,” sebutnya.

Tetapi, kini, belum lima bulan berlalu setelah pernyataan itu, Jokowi seperti membalikkan keadaan. Dia memutar haluan dan ucapannya sendiri. Maka, Jokowi melawan Jokowi. Ia merobohkan sendiri trust yang ia gembor-gemborkan. Alih-alih menjaga kepercayaan, ia justru tengah membangun ketakutan.

Boleh jadi ia sedang panik, cemas, bahkan takut. Ia seperti tidak percaya kepada kata trust yang berkali-kali diucapkannya itu. Mata Jokowi seperti sedang mengawasi siapa saja, gerakan apa saja, kecenderungan seperti apa saja yang tengah terjadi.

Cek Artikel:  Nikita bukanlah Kita

Ketika para guru besar, sivitas akademika, dan aktivis prodemokrasi menyerunya agar kembali ke kesejatian demokrasi, diam-diam ada aparatusnya bergerilya meminta sejumlah pimpinan perguruan tinggi untuk membuat kontra narasi. Ketika angin politik seperti tidak sedang memihaknya, ia pun menyatakan bahwa presiden boleh berpihak kepada capres-cawapres.

Namanya disebut-sebut oleh media dan aktivis prodemokrasi sebagai orang yang memukul mundur demokrasi. Bahkan, berbagai media asing seperti The Economist, The Guardian, dan The New York Times menganggapnya sebagai perusak demokrasi. Koran The New York Times sampai menulis judul di halaman 1: In Indonesia, Democracy is Under Siege, alias ‘Di Indonesia, Demokrasi sedang Dikepung’.

Begitu kecemasan dan ketakutan merambat dalam aliran darah, trust atau kepercayaan akan punah. Yang bertarung ialah ‘wajah dulu’ lawan ‘wajah kini’, ‘Jokowi dulu’ melawan ‘Jokowi saat ini’.

Mungkin Anda Menyukai