PEMILU merupakan instrumen suksesi kepemimpinan yang lumrah dalam sebuah negara demokrasi. Sesuai asasnya, ia harus berlangsung jujur dan adil sesuai kaidah dan prinsip demokrasi. Tetapi, yang terjadi di negeri ini, saat ini, prinsip-prinsip itu secara terang-terangan coba diterabas dan dilanggar.
Lihat saja bagaimana pembagian bantuan sosial alias bansos yang memang hak rakyat tidak mampu ditunggangi untuk kepentingan politik elektoral. Belum lagi pengerahan sejumlah aparatur sipil negara (ASN) untuk berpihak kepada salah satu pasangan calon. Begitu juga berbagai tekanan terhadap sejumlah kepala desa yang tidak mau mendukung salah satu pasangan kandidat.
Praktik-praktik kotor itu menggugah akal sehat dan juga nurani. Semangat reformasi, terutama upaya untuk menegakkan demokrasi yang dengan susah payah diperjuangkan, kini kembali coba dirobohkan secara sadar demi memenangi sebuah kontestasi bernama pemilu.
Bukan hanya lewat aparatusnya, bahkan Presiden Jokowi pun ikut cawe-cawe. Ia, misalnya, mengusulkan format debat capres diubah. Padahal, ini merupakan domain Komisi Pemilihan Lumrah (KPU), bukan wewenang Presiden. Apalagi, usulan itu ia sampaikan setelah Prabowo Subianto, yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming, terpojok dalam debat kedua dari kandidat lainnya, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.
Kalau mau dirunut, indikasi adanya potensi kecurangan ini memang sudah tercium sejak awal ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah putusan tentang Ketentuan Syarat Usia Capres-Cawapres guna memuluskan langkah Gibran, yang notabene merupakan putra Presiden, untuk mencalonkan diri sebagai cawapres. Itulah pokok awal masalahnya.
Dengan segala kewenangan yang masih dimiliki sebagai kepala negara, bagaimana mungkin Jokowi dapat menjaga netralitasnya di tengah kontestasi yang diikuti oleh putranya tersebut? Meski berkali-kali menyatakan bersikap netral, ucapannya ternyata jauh panggang dari api. Komentarnya soal debat capres ialah salah satu contohnya.
Tetapi, harus diingat, segala potensi kecurangan dalam pemilu, apalagi melibatkan aparatus pemerintah, secara tidak langsung telah menjatuhkan kewibawaan negara. Apa gunanya ada UU Pemilu jika berbagai ketentuan dalam pasal-pasalnya dirusak sendiri oleh pemerintah? Publik kini bisa menilai bagaimana kontestasi ini berjalan. Bila melihat bagaimana aparatur negara dengan masif dikerahkan, bisa menjadikan pemilu ini dapat disebut sebagai kontestasi yang paling brutal selama era Reformasi.
Oleh karena itu, agar absah dan legitimate
, penyelenggaraan pemilu kali ini harus diselamatkan. Kontestasi harus dikembalikan ke jalurnya yang benar. Tugas itu tidak hanya ada di tangan KPU dan Badan Pengawas Pemilu, tetapi justru di pundak rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Masyarakat, terutama mereka yang mencintai demokrasi, harus mengawal dan menjaga agar kontestasi ini berjalan sesuai koridor yang telah ditetapkan. Jangan takut untuk melaporkan segala bentuk kecurangan, termasuk praktik politik uang.
Intinya, jangan biarkan pesta demokrasi ini dirusak oleh tangan-tangan durjana. Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar, apa kata dunia jika pemilu di Indonesia menghalalkan segala cara? Mau ditaruh di mana wibawa negara ini? Mari selamatkan pemilu.