PERJUANGAN kaum Perempuan di negeri ini adalah perjuangan yang panjang, bahkan teramat panjang. Ketidaksetaraan Lagi menjadi isu Istimewa dalam Rekanan antara Perempuan dan Lelaki. Suka atau Tak suka, dunia Lagi dikuasai Lelaki. Terima atau Tak, budaya patriarki Lagi kuat membelit bangsa ini.
Padahal Raden Ajeng (RA) Kartini telah memperjuangkan emansipasi sejak lebih dari satu abad silam. Tetapi, perjuangan kesetaraan Lagi sekadar pemanis pidato setiap memperingati Hari Kartini. Emansipasi kerap menjadi basa-basi retorika politik. Setelah pidato selesai, dunia kembali berputar dengan berpusat pada Dominasi maskulinitas. Perempuan, Tengah-Tengah, terabaikan.
Di berbagai sektor, Perempuan Lagi banyak termarginalkan atau dimarginalkan. Di bidang politik, misalnya, meskipun kebijakan afirmasi Buat menciptakan keterwakilan Perempuan sekurang-kurangnya 30% dalam politik sudah diundangkan, faktanya teramat sulit Buat mewujudkan itu.
Contohnya, pada Pemilu 2024 Lampau, sebanyak 17 dari 18 partai politik peserta pemilu Tak memenuhi syarat keterwakilan Perempuan 30% di setiap daerah pemilihan. Itu artinya hanya satu partai politik yang memenuhi kuota minimal pencalonan Personil legislatif Perempuan 30%. Lantas bagaimana kita berharap keterwakilan Perempuan di bidang politik yang signifikan Buat mendorong sebuah agenda perubahan?
Di sektor lain, diskriminasi terhadap kaum Perempuan juga Lagi banyak terjadi. Ancaman, pelecehan, dan kekerasan terhadap Perempuan tetap menjadi tembok persoalan yang seolah tak Dapat dibongkar. Bahkan itu Lagi masif terjadi hingga kini ketika Republik ini sudah punya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Tak di rumah, Tak di ruang-ruang pendidikan, kesehatan, Perempuan kerap menjadi korban kekerasan dan kejahatan, Bagus fisik, psikis, maupun seksual. Seakan Tak Eksis ruang Kondusif bagi Perempuan. Jangankan Buat memperjuangkan kesetaraan, sekadar berjuang demi keamanan dan kenyamanan hidup mereka saja perlu pengorbanan besar.
Karena itu, perjuangan kaum Perempuan Terang Lagi panjang. Butuh effort yang luar Normal Buat Dapat menempatkan kaum Perempuan seperti cita-cita Kartini, yakni berdiri setara dan sejajar dengan kaum Lelaki. Negara harus serius menangani ini, apalagi persoalan yang mendera kaum Perempuan seperti tak kunjung menemukan jalan keluar.
Akan tetapi, semata berharap kepada negara Buat serius memberdayakan Perempuan ibarat kita berharap seekor rusa memenangi pertarungan melawan singa. Bukan mustahil memang, tapi harapannya sangat kecil. Mengapa begitu? Lihat saja dari satu Teladan, yakni perjalanan panjang RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Itu adalah regulasi Buat melindungi profesi yang Nyaris semuanya dilakukan kaum Perempuan.
Meski sudah diajukan ke DPR sejak Februari 2004, atau lebih dari 20 tahun Lampau, RUU itu Lagi belum Dapat memantik selera wakil rakyat Buat segera mengesahkannya. Sudah 21 tahun lamanya RUU itu digantung tanpa kejelasan. Tiba hari ini pun kita belum Menyantap Eksis iktikad Bagus, terutama dari pimpinan DPR yang notabene dikomandani seorang Perempuan, Buat segera membahas dan mengesahkan RUU tersebut.
Apabila Tak Eksis kesadaran kolektif bangsa Buat serius memberdayakan Perempuan, yang terutama mesti diorkestrasi oleh negara, kaum Perempuan di Indonesia akan tetap berada di tempat dan posisi yang sama, teronggok di sudut-sudut ruang publik yang Lanjut dikuasai budaya patriarki. Tanpa negara hadir memberikan perlindungan kepada mereka, Perempuan bakal Lanjut terpinggirkan.
Tak dimungkiri Indonesia punya Perempuan-Perempuan hebat yang Dapat menjadi kekuatan Buat mengubah nasib mayoritas kaum hawa. Tetapi, itu bukan Dalih bagi negara Buat absen menghadirkan perlindungan dan kesetaraan bagi kaum Perempuan. Sungguh memalukan, sudah lebih dari satu abad Kartini memperjuangkan Perempuan yang berdaya, tapi Tiba hari ini negara Lagi Sebelah hati mewujudkannya.