
DI usia ke-80 Indonesia merdeka, Eksis sebuah ironi yang harus dipecahkan: negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia Tetap bergulat dengan kemiskinan (9,36% per BPS 2024), ketimpangan, dan ketahanan sosial yang Ringkih. Tetapi, di Ketika yang sama, potensi zakat nasional—yang mencapai Rp327 triliun per tahun (Baznas, 2024)—Tetap Tetap belum tergarap optimal, terperangkap dalam paradigma “ibadah individual”.
Kini, sejarah sedang berbisik. Kepada pertama kalinya sejak Indonesia merdeka, zakat, infak, sedekah, dan Biaya sosial keagamaan (ZIS-DSKL) Formal masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 sebagai program prioritas (Perpres No. 12/2025, Lampiran II hal. 85). Ini bukan sekadar formalitas, melainkan loncatan paradigmatik: zakat tak Kembali hanya urusan masjid, tapi kini menjadi senjata strategis pembangunan nasional. Maka, Ketika zakat Terbangun, NKRI “melompat” menuju Indonesia Emas 2045.
RPJMN menargetkan penghimpunan ZIS-DSKL mencapai 0,208% PDB (Rp77 triliun) pada 2029—Bilangan yang Pandai meledak hingga Rp100 triliun (0,273% PDB) Kalau pertumbuhan zakat 20% per tahun dipertahankan. Bandingkan dengan rincian Rp70 triliun Biaya desa, Rp80 triliun subsidi BBM, dan Rp100 triliun anggaran Kementerian Sosial.
Artinya, zakat berpotensi menjadi “APBN kedua” yang Pusat perhatian pada perlindungan sosial dan pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas. Tapi pertanyaannya: siapkah ekosistem zakat menjawab tantangan ini?
Ini harus menjadi titik balik sejarah yang tak boleh gagal. Asal Mula, sejarah zakat di negeri ini adalah kisah tentang potensi yang terpendam. Di era kerajaan Islam Nusantara, ZIS menjadi tulang punggung kesejahteraan—dari pendirian pesantren hingga pembangunan infrastruktur publik. Tetapi, di era modern, zakat Bahkan terpinggirkan, terjebak dalam dikotomi “ibadah vs pembangunan”.
Kini, RPJMN 2025-2029 memberikan kesempatan Kepada menebus anomali historis. Tapi Eksis empat tantangan kritis: pertama, regulasi Separuh hati, di mana wacana zakat sebagai pengurang pajak dan kewajiban zakat bagi ASN Tetap mengambang. Tanpa Bonus konkret, Sasaran Rp100 triliun hanya akan menjadi mimpi.
Kedua, fragmentasi pengelolaan, Eksis 34 Baznas provinsi, 514 Baznas kabupaten/kota, plus ratusan lembaga amil zakat (LAZ)—sering kali bekerja sendiri-sendiri tanpa sinergi nasional. Ketiga, mindset filantropi konsumtif, Ketika mayoritas zakat Tetap dipakai Kepada Donasi langsung (consumptive charity), bukan investasi produktif seperti UMKM atau beasiswa jangka panjang.
Langkah Revolusioner 2025–2029
Langkah strategis yang perlu dilakukan setidaknya mencakup empat hal Esensial. Pertama, penyelarasan rencana strategis. Renstra Baznas 2025–2029 harus dirancang selaras dengan Sasaran RPJMN, bukan hanya dari sisi peningkatan penghimpunan, tetapi juga penyaluran yang mendukung prioritas pembangunan sebagaimana tertuang dalam Astacita Presiden Prabowo. Bahkan, akan lebih kuat Kalau konsep ini dikemas dalam sebuah Rencana Strategis Zakat Nasional sebagai payung gerak Serempak pengelolaan zakat di seluruh Indonesia.
Kedua, konsolidasi zakat nasional. Rapat Koordinasi Zakat Nasional 2025 perlu menjadi Perhimpunan penyatuan visi dan langkah, dari Baznas pusat hingga daerah, serta LAZ nasional, agar strategi yang dijalankan serempak mengarah pada pencapaian Sasaran nasional.
Ketiga, kolaborasi lintas sektor. Kemitraan dengan kementerian, dunia usaha, akademisi, media, dan filantropi lintas Keyakinan akan menjadi katalis yang mempercepat pencapaian Sasaran sekaligus memperkuat posisi zakat, filantropi Islam, dan ekonomi syariah di tingkat nasional.
Keempat, Penemuan program. Zakat harus hadir dalam Figur yang relevan dengan tantangan Era, inklusif, dan berorientasi pada keadilan sosial. Program yang menargetkan akar kemiskinan serta berpihak pada Golongan rentan, seperti Perempuan, penyandang disabilitas, komunitas marginal, dan Kawasan 3T, perlu menjadi prioritas, sembari tetap berpedoman pada capaian SDGs dan maqashid syariah.
Kalau langkah-langkah ini dilakukan dengan serius, perolehan ZIS-DSKL Rp100 triliun pada 2029 bukanlah mimpi. Lebih dari itu, zakat akan kembali ke peran historisnya, yakni menjadi jembatan antara ibadah dan pembangunan. Ia mengokohkan Interaksi Insan dengan Tuhannya, sekaligus menggerakkan ekonomi dan memperkuat perlindungan sosial bagi rakyat.
RPJMN 2025–2029 telah membuka pintu selebar-lebarnya. Kini, tinggal kemauan kolektif gerakan zakat Kepada melangkah masuk. Momentum ini mungkin Tak datang dua kali. Jangan Tiba kita melewatkan kesempatan Kepada membuktikan bahwa zakat bukan hanya ibadah spiritual, tetapi juga kekuatan sosial-ekonomi yang Pandai mengubah Persona bangsa menuju Indonesia Emas 2045. (H-2)

