Welcome Kamala Harris

UNGKAPAN klasik yang mengatakan setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya patut direnungkan, dipertimbangkan, dan menjadi dasar pengambilan keputusan, terutama dalam bidang politik. 

Pasalnya, politik ialah bidang yang terkait dengan orang banyak. Kagak banyak politikus yang memilih jalan mundur meski banyak instrumen yang bisa bekerja untuk mengegolkan segala keinginan mereka. Kekuasaan adalah candu yang memabukkan. 

Dengan kekuasaan di tangan, apa pun bisa diraih meski kemampuan sebenarnya tidak dimilikinya sebagai syarat menjadi pemimpin. 

Syarat pertama pemimpin ialah sehat jasmani dan rohaninya. Berikutnya ialah kecerdasannya, intelektualitasnya, dan kematangan jiwanya dalam bersikap dan bertindak. Sejumlah persyaratan tersebut merupakan standar dalam berbagai ranah kepemimpinan, di mana pun dan kapan pun.

Walakin, syarat kepemimpinan dalam dunia politik berbeda dengan bidang lainnya. Selain persyaratan di atas, dunia politik membutuhkan kemampuan lobi, negosiasi, dan segudang material yang bisa memuluskan jalan menuju singgasana kekuasaan. 

Politik kekuasaan dianggap benar dan sah meski menempuh cara-cara yang kotor sepanjang hukum tidak bisa membuktikan praktik kotornya tersebut. 

Sementara itu, dunia hukum, seperti di Indonesia, berkelindan dengan politik. Mereka yang duduk dalam panggung Dewi Keadilan ialah karena pilihan-pilihan politisi, seperti Mahkamah Akbar dan Mahkamah Konstitusi. Di sinilah proses negosiasi hingga ancaman acap kali terjadi yang membuat palu hakim letoi menegakkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan putusannya bagi masyarakat.

Cek Artikel:  Bergegas Menyiapkan Pelampung

Dinamika politik di Amerika Perkumpulan kembali membuat geger dunia. Pertama, penembakan yang menimpa calon presiden AS Donald Trump saat berkampanye di Butler, Pennsylvania, pada Sabtu (13/7). Sebuah peluru mengenai bagian telinga kanan Trump. Pelaku penembakan diidentifikasi sebagai Thomas Matthew Crooks, 20, dari Pennsylvania. Pelaku tewas ditembak Secret Service (pengawal presiden) di lokasi kejadian. 

Kedua, mundurnya Presiden Joe Biden dari pertarungan pemilihan presiden AS. ‘Meskipun saya berniat untuk mencalonkan diri kembali, saya yakin ini demi kepentingan terbaik partai saya dan negara jika saya mundur dan fokus hanya pada memenuhi tugas saya sebagai presiden selama sisa masa jabatan saya’, tulis Biden dalam surat yang di-posting di X, Minggu (21/7). 

Dalam posting-an terpisah yang dikeluarkan beberapa menit kemudian, Biden memberikan dukungannya kepada Wakil Presiden Kamala Harris, 59, untuk menjadi calon presiden dari Partai Demokrat. 

Cek Artikel:  Emas Olimpiade dan Kakistokrasi

Mundurnya Biden di luar dugaan publik AS karena sebelumnya presiden berusia 81 tahun itu menolak desakan mundur dari kontestasi Pilpres AS setelah performa Biden yang dianggap buruk saat debat capres pada 27 Juni melawan capres Partai Republik Donald Trump, 78.

Penampilan Biden dinilai mempermalukan Partai Demokrat sehingga pemilih dan puluhan pejabat terpilih dari partai itu mendesaknya mundur. Penampilan Biden disebut sebagai ‘mimpi buruk’ dan ‘bunuh diri politik’ bagi Partai Demokrat. Para pendonor Partai Demokrat pun cemas dengan kondisi kesehatan Biden yang tidak prima saat debat, seperti suara serak, terbata-bata, bibir bergetar, linglung, dan sering kali berbicara out of topic. Tetapi, Biden mengaku mengalami jet lag setelah dua perjalanan ke luar negeri pada awal Juni.

Kemunduran Biden dalam laga Pilpres AS dan memberikan jalan kepada Kamala Harris untuk bertarung dalam pilpres mendatang patut diapresiasi. Dalam usia sepuh seperti Biden, sangat mungkin memengaruhi kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. 

Kamala memuji sikap koleganya dari Partai Demokrat itu sebagai sikap patriotik karena Biden menempatkan kepentingan rakyat dan negara AS di atas segalanya. Wapres berdarah India itu mengaku terhormat bisa mendapatkan dukungan dari Biden. Dia bertekad bisa menumbangkan Donald Trump dalam ajang pilpres pada 5 November mendatang. 

Cek Artikel:  Sendirian Melawan Kekeringan

Gayung bersambut. Para pemimpin daerah Partai Demokrat di 50 negara bagian memberikan karpet merah kepada Kamala. Dukungan itu ialah modal bagi Kamala untuk berlaga dalam Konvensi Nasional Demokrat pada 19 hingga 22 Agustus di Chicago. Sejumlah donatur, termasuk dari beberapa konglomerat ‘Negeri Om Sam’, berbondong-bondong mengulurkan sumbangan untuk pencapresan Kamala. 

Perempuan pertama yang menjadi wapres dalam sejarah AS itu memiliki rekam jejak yang kinclong. Dia bukan sosok abal-abal yang didongkrak karena pencitraan. Pendidikan dan karier Kamala cukup mengagumkan. 

Apabila Kamala mampu memenangi Konvensi Partai Demokrat dan selanjutnya mampu mengalahkan pengusaha tajir sekaligus mantan Presiden AS Donald Trump, dia memecahkan rekor sebagai perempuan pertama yang menjadi Presiden ke-47 AS.

Siapa pun yang menjadi capres AS selayaknya memperhatikan pesan George Washington, negarawan yang disebut Bapak Pendiri AS, bahwa kita harus lebih mengutamakan kemampuan ketimbang keinginan. Kemampuan Kamala boleh diuji menghadapi Trump. Welcome Kamala Harris. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai