PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo dapat dikatakan yang paling senang membuat program Donasi Langsung Kas (BLT). Meski saat menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi pernah mengkritik program BLT Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kenyataan kini ‘sedikit-sedikit’ BLT.
Sederet BLT di era Jokowi, antara lain Donasi Subsidi Upah (BSU) atau BLT gaji dengan alokasi anggaran Rp8,8 triliun pada 2022, BLT minyak goreng dengan alokasi anggaran Rp6,2 triliun pada 2022, BLT UMKM Rp14,21 triliun pada 2021, BLT melalui Program Keluarga Asa (PKH), bantuan tunai pangan bagi pedagang kaki lima dan warung (PKLW), bantuan modal usaha sebesar Rp1,2 juta kepada para pedagang, Kartu Prakerja mencapai Rp11 triliun pada 2022, bansos anak yatim, serta BLT dana desa yang bergulir hingga 2022. Sesuai PMK 190 Mengertin 2021 sebagai turunan Perpres 109 Mengertin 2021, BLT dana desa dipatok minimal 40% dari anggaran dana desa.
Mengertin ini, BLT BBM akan kembali disalurkan dengan anggaran Rp12,39 triliun. Kemudian, pemerintah menambah lagi program bantuan dengan BLT El Nino sebesar Rp7,52 triliun. BLT El Nino direncanakan disalurkan selama dua bulan, November dan Desember 2023.
Memang pada laporan Bank Dunia 2005 dan 2008, BLT disebut efektif meningkatkan perlindungan sosial kepada masyarakat yang rentan. Pengaruh lainnya, BLT ibarat permen manis bagi rakyat maupun pemerintah.
Rakyat girang mendapat bantuan instan meski efeknya bisa menguap sekejap jika tidak tepat digunakan. Kepada pemerintah, BLT adalah permen manis untuk mengerek citra.
Bagaimanapun dampaknya, BLT bukanlah solusi permanen untuk menyelamatkan masyarakat rentan dari berbagai gejolak yang ada, baik gejolak karena harga minyak, pandemi covid-19, maupun El Nino yang terjadi saat ini.
Kelas pekerja penerima BLT gaji bahkan ramai mengkritik program tersebut. Karena, nyatanya BLT tidak setara dengan kenaikan harga-harga. Mereka pun meminta solusi yang lebih nyata dan langgeng dari pemerintah.
Permasalahan yang juga mengkhawatirkan ialah banyaknya penyelewengan penyaluran BLT. Dari sejumlah daerah dilaporkan bahwa kekisruhan data yang sudah bertahun-tahun membuat beberapa ketua RW dan kepala desa dikeroyok warga.
Pada Juni 2023, Menteri Sosial Tri Rismaharini mengungkapkan pihaknya mencoret 5,8 juta calon penerima bansos karena tidak sesuai kriteria. Kendati telah dilakukan, pemutakhiran data tidak menjamin bahwa seluruh penerima bansos sudah sesuai kriteria.
Begitu longgarnya sistem pendataan dan distribusi BLT membuat korupsi mudah dilakukan. Korupsi terjadi di berbagai lini, dari distribusi sampai oleh menterinya sendiri.
Juliari Batubara terbukti melakukan korupsi bansos covid-19 saat menjabat mensos. Ia merugikan negara Rp32 miliar, tapi hanya divonis 12 tahun. Itu pun mendapat remisi 4 bulan Agustus lalu.
Praktik rasuah lainnya di Kemensos ialah distribusi beras bansos yang merugikan negara sampai Rp127,5 miliar. Enam orang ditetapkan sebagai tersangka, tiga di antaranya ditahan pada Agustus lalu. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap para tersangka membuat satu konsorsium sebagai formalitas untuk menggarong uang negara.
Kini, BLT El Nino juga patut diawasi ketat. Risiko penyelewengan bukan hanya karena data dan jalur distribusi, tetapi sudah terendus sejak penentuan masa penyaluran. Penyaluran menjelang masa kampanye ini sangat mudah dimanfaatkan untuk menjadi kampanye terselubung. Apalagi salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, yakni Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sangat dekat dengan sumbu pemerintahan.
Karena itu, semestinya anggaran BLT El Nino disalurkan lewat program yang lebih nyata dalam adaptasi iklim. Kita pun mudah melihat di pemberitaan bahwa tidak sedikit pemda yang kewalahan dalam memberikan bantuan air bersih. Minimnya armada mobil air membuat desa-desa baru terdatangi di jarak lebih dari seminggu.
Nestapa nyata itu jelas tidak akan bisa tertolong dengan uang Rp200 ribu per bulan. Meski menggenggam uang, warga tetap tak akan bisa membasahi kerongkongan, apalagi lahan.