MENJADI pengadil di lapangan itu tidak mudah. Begitu kata Yoshimi Ogawa, Wakil Ketua Komite Wasit PSSI asal Jepang, dalam diskusi bertajuk Overview Perwasitan Indonesia yang digelar di Jakarta, Senin (20/11). Ogawa khusus didatangkan ke Indonesia pada Juni 2023 untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu wasit-wasit sepak bola Tanah Air.
Yang dikatakan Ogawa memang betul. Menjadi pengadil atau wasit memang tidak gampang, tapi itu juga bukan pemakluman. Bukan berarti kalimat itu bisa selalu dijadikan alasan ketika kinerja wasit di Indonesia terus-terusan melempem. Pun, bukan pembenaran atas banyaknya kesalahan wasit, mulai dari kesalahan teknis elementer hingga yang menyangkut integritas, yang sering dipertontonkan di pertandingan liga domestik.
Yang namanya wasit pasti akan sering menemui situasi yang sulit ketika menjadi pengadil di lapangan. Bukan saja dari dalam, tantangan dan hambatan yang berasal dari luar diri mereka sangat banyak. Sebutlah misalnya faktor pemain yang tak sportif, faktor teknologi pendukung yang tidak mumpuni, sampai faktor godaan, tekanan, dan campur tangan pihak luar yang acap datang untuk memengaruhi independensi wasit.
Karena itu, wasit tak hanya dituntut memiliki kebugaran fisik yang prima untuk mengawal setidaknya 90 menit permainan di lapangan sepak bola. Mereka juga mesti punya kualitas intelegensi dan integritas tinggi untuk membuat pertandingan dapat berlangsung fair dan adil. Butuh profesionalisme level atas agar wasit bisa mengambil keputusan cepat di tengah situasi sulit atau bahkan kacau sekalipun.
Tetapi, faktanya memang kinerja rata-rata wasit sepak bola Indonesia masih di bawah standar. Kalau tidak percaya, ini contohnya. Begitu seleksi wasit Indonesia untuk memimpin pertandingan Perserikatan 1 2023/2024 yang disupervisi PSSI dan Federasi Sepak Bola Jepang (JFA), dari 161 wasit yang ikut seleksi, hanya 18 yang lolos.
Bayangkan, hanya sekitar 11% wasit Indonesia yang layak memimpin pertandingan. Itu pun untuk pertandingan sekelas Perserikatan 1. Bagaimana kalau mereka ikut seleksi untuk pertandingan atau kompetisi selevel FIFA? Jangan-jangan tidak ada yang lolos.
Kemudian soal integritas. Ini juga tidak kalah lemahnya. Misalnya, pada September 2023, Satgas Antimafia Bola Polri menetapkan enam orang sebagai tersangka dugaan tindakan pidana praktik pengaturan skor (match fixing) dalam pertandingan sepak bola Perserikatan 2 pada November 2018. Empat orang di antaranya ialah wasit. Miris, bukan?
Barangkali, kondisi perwasitan sepak bola yang compang-camping itulah salah satu yang menginspirasi cawapres Muhaimin Iskandar alias Cak Imin getol menganalogikan pemilu seperti pertandingan sepak bola. Dengan anaogi itu, ia sejatinya ingin memperingatkan penyelenggara dan wasit pemilu agar tak seburuk kualitas wasit sepak bola.
Cak Imin setidaknya tiga kali mengulang pengibaratan pemilu dengan sepak bola itu dalam tiga kesempatan yang berbeda. Dalam setiap kesempatan, ia selalu selipkan pesan kepada penyelenggara dan wasit pemilu agar berlaku fairĀ dan objektif. “Kepada wasit, tolong sertifikat FIFA digunakan sebaik-baiknya. Kalau Anda wasit merangkap bermain, sekaligus pemain, saya tidak segan-segan melaporkan ke FIFA,” candanya.
Ia tentu sedang bermain kiasan dengan membawa-bawa nama FIFA. Tetapi, substansi pesannya jelas ia tujukan kepada penyelenggara dan pengawas Pemilu 2024. Kalau wasit tidak netral, memihak, atau bahkan membantu pemain tertentu untuk menang, ada rakyat yang, seperti FIFA, akan memelototi dan tak segan menghukum mereka. Kalau wasit tak punya skill, tak berani menindak pelanggaran, ada publik yang siap mengambil alih tugas mereka. Mungkin begitu kira-kira maksud perkataan Cak Imin.
Lalu terang, kegelisahan Cak Imin juga dirasakan sebagian besar publik Tanah Air. Mereka, saya, kita khawatir karena di saat-saat menjelang pelaksanaan kampanye Pemilu 2024, kian banyak contoh ketidaknetralan aparat negara dipertontonkan. Kecurigaan terjadinya kecurangan juga tampak mulai masif.
Akan tetapi, ketika itu terjadi, sang wasit yakni Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) malah lebih banyak diam. Membisu. Membeku. Kebekuan Bawaslu itu pada akhirnya membuat publik hanya disuguhi beragam dugaan kecurangan dan ketidaknetralan tanpa ada kepastian melalui uji kebenaran melalui proses hukum.
Padahal, dengan kewenangan dan sumber daya yang dimiliki, Bawaslu semestinya mengejar dan mencari titik-titik kecurangan itu. Mereka punya kartu kuning, bahkan kartu merah, tapi tak satu pun yang dikeluarkan. Yang banyak keluar justru dalih-dalih yang justru membuat mereka tampak lemah di hadapan para pelaku kecurangan. Jenisnya, mereka sama melempemnya dengan wasit sepak bola.
Di sepak bola mulai muncul wacana penggunaan wasit asing sebagai solusi mengatasi rendahnya kualitas dan integritas wasit lokal. Nah, apakah untuk pemilu kita juga perlu mengimpor pengawas dari luar?