Warek UII Rohidin Putusan Hakim Harus Berpihak Kepada Kebenaran

Warek UII Rohidin: Putusan Hakim Harus Berpihak Kepada Kebenaran
Terdakwa kasus gratifikasi pemberian izin usaha pertambangan (IUP) Mardani H. Maming (rompi tahanan(MI/ADAM DWI)

SEORANG HAKIM dalam Islam dinilai memiliki kedudukan yang cukup penting. Karena itu, hakim kemudian ditempatkan sebagai salah satu hal yang harus dijaga agar tidak membahayakan.

Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia, Dr. Rohidin di Yogyakarta menjelaskan, seorang hakim dituntut untuk bisa mengadili perkara dengan cepat dan tepat di tengah situasi dilematis. “Putusan hakim itu harus dengan pertimbangan kualitatif, kemanusiaan, kemaslahatan dan keadilan dan berpihak kepada keadilan,” katanya.

Pada kegiatan “Bedah Naskah Mengungkap Kesalahan & Kekhilafan Hakim dlm Mengadili Perkara Mardani H. Marming” yang diadakan Centre for Leadership and Law Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Rohidin lebih lanjut mengatakan untuk kepentingan bersama atau semua pihak yang tugas hakim mengadili dan memutus perkara sehingga harus memberi kesempatan yang sama antara kedua belah pihak.

Baca juga : DPR Janji akan Bantu Perjuangkan Kesejahteraan Hakim

Ia mengingatkan ada enam hal yang harus dijaga sebab jika rusak maka akan merusakkan berbagai sendi kehidupan. Di antara enam hal yang harus dijaga itu antara lain pemimpin yang bodoh, banyak yang merasa jadi pahlawan, perilaku memperjual belikan hukum. Ia menegaskan, memperjualbelikan hukum itu pelakunya salah satunya bia dari kalangan hakim.

Cek Artikel:  Mau Lanjutkan IKN, Tokoh Dayak Diharapkan Masuk dalam Pemerintahan Prabowo

Diingatkan, adanya peringatan tersebut juga telah menunjukkan bahwa hakim dimungkinkan melakukan kesalahan. Karena itu, ujarnya putusan hakim itu bisa dikoreksi dan bisa dinilai oleh kalangan akademisi. Kegiatan kali ini katanya untuk mengoreksi.

Semenara pada bedah buku berjudul “Mengungkap Kesalahan & Kekhilafan Hakim dalam Menangani Perkara Mardani H. Maming” ini sekaligus sebagai eksaminasi.

Baca juga : Ketua Alumni Fakultas Hukum IKA FH Usakti Dukung Pusingkatan Kesejahteraan Hakim

Dikatakan tersebut disusun berdasarkan anotasi hasil eksaminasi Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri/TIPIKOR Banjarmasin Nomor 40/Pid.Sus-TPK 2022/PN.BJM. jo Putusan Banding Nomor 03/Pid.Sus-TPK/2023/PT.BJM. jo Putusan Kasasi Nomor 3741 K/Pid.Sus/2023 dengan terdakwa Mardani H. Maming.

Salah satu eksaminator yang juga pengajar Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII), Mahrus Ali, mengatakan perbuatan Mardani yang mengeluarkan SK Bupati Nomor 296/2011 tentang Persetujuan Pelimpahan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) dari PT BKPL kepada PT PCN tidak melanggar aturan.

“Kebiasaan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 4 Mengertin 2009 tentang Minerba itu ditujukan kepada pemegang IUP, bukan pada jabatan bupati. Sepanjang syarat dalam ketentuan tersebut terpenuhi, maka peralihan IUP diperbolehkan,” kata salah satu eksaminator sekaligus editor itu sebagaimana keterangan tertulis diterima di Jakarta, Minggu (6/10).

Cek Artikel:  Bukan Empat, Penumpang Jet Pribadi yang Angkut Kaesang Berjumlah 8 Orang

Baca juga : Mertua Kiky Saputri Disebut Jadi Calon Personil Dewas KPK Terkuat, Mengapa?

Tak jauh berbeda, Guru Besar Hukum Administrasi Negara FH UII, Ridwan, mengatakan permohonan peralihan IUP-OP tidak perlu melampirkan syarat administrasi, teknis, lingkungan, dan finansial. Pasalnya, persyaratan tersebut melekat pada izin yang telah dialihkan.

Sedangkan Karina Dwi Nugrahati Putri, jika dapat dibuktikan bahwa penerimaan uang oleh PT TSP dan PT PAR murni berasal dari keuntungan pengoperasian pelabuhan PT ATU berdasar perjanjian yang sah, maka asumsi bahwa penerimaan tersebut berkaitan dengan peralihan IUP-OP melalui SK Bupati menjadi tidak berdasar.

Judex facti (kompetensi hakim) telah mengenyampingkan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan mengenai adanya penerimaan uang oleh PT TSP dan PT PAR tidak ada kaitannya dengan peralihan IUP-OP dan bukan sebagai hadiah,” ucap Karina yang merupakan dosen Departemen Hukum Bisnis FH Universitas Gadjah Mada.

Baca juga : Gaji Kecil Hakim di Level Rendah jadi Celah Masuk Jurang Korupsi

Cek Artikel:  Uji Kelayakan Calon Hakim Akbar dan Hakim Ad Hoc Ditunda

Dalam perkara ini, Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Kalimantan Selatan, memvonis Mardani H. Maming dengan pidana 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan. Mardani juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp110,6 miliar.

Putusan di tingkat banding tersebut memperberat vonis pengadilan tingkat pertama. Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin menjatuhkan vonis 10 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp110,6 miliar.

Mardani Maming dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar pasal 12 huruf b juncto pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Mengertin 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Mardani, yang sebelumnya Ketua Biasa Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, didakwa menerima hadiah atau gratifikasi dari seorang pengusaha pertambangan, yakni mantan Direktur PT PCN almarhum Henry Soetio.

Ia didakwa menerima gratifikasi dari Henry dengan total tidak kurang dari Rp118 miliar saat menjabat Bupati Tanah Bumbu. Gratifikasi tersebut terkait SK Bupati Tanah Bumbu Nomor 296 Mengertin 2011 tentang persetujuan pengalihan IUP OP dari PT BKPL kepada PT PCN. (H-2)

Mungkin Anda Menyukai