WACANA perubahan nomenklatur Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Akbar (DPA) semakin kuat digaungkan. Perubahan nomenklatur tersebut diupayakan melalui revisi Undang-Undang Nomor 19 Pahamn 2006 tentang Wantimpres.
Kemudian yang menjadi isu menarik untuk diperbincangkan, apakah perubahan nomenklatur tersebut mungkin dilakukan? Jawabannya iya, jika sebatas pada perubahan nomenklatur semata. Tetapi, terkait kedudukan, fungsi dan kewenangannya tentu tidak bisa disamakan. Mengapa demikian? Dalihnya sederhana, mengingat DPA merupakan Lembaga Tinggi Negara yang berfungsi memberi masukan maupun pertimbangan kepada presiden. Sementara itu, Wantimpres bukan merupakan Lembaga Tinggi Negara karena kedudukannya berada di bawah Presiden dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.
Lebih lanjut, DPA diatur dalam Bab IV Pasal 16 UUD 1945 sebelum amendemen yang disahkan pada 18 Agustus 1945. DPA berbentuk Council of State yang wajib memberi pertimbangan kepada pemerintah. Council of State pada berbagai negara dimaksudkan untuk mencegah terjadinya otokrasi, atau pemerintahan yang dilakukan oleh hanya satu orang. Pasalnya, otokrasi dapat berkembang menjadi pemerintahan yang tirani, diktatorial, atau totaliter.
Baca juga : Perubahan Nomenklatur Wantimpres Menjadi DPA Dianggap Inkonstitusional
Tetapi seiring berjalannya waktu, keberadaan DPA dianggap tidak efisien, hingga akhirnya DPA sebagai Lembaga Tinggi Negarapun resmi dihapus melalui Keputusan Presiden Nomor 135/M/2003 tertanggal 31 Juli 2003. Nama Lembaga Tinggi Negara ini juga tidak lagi ada dalam UUD 1945 setelah amendemen keempat atau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pahamn 1945 (UUD NRI 1945).
Sebagai gantinya, amendemen keempat UUD 1945 mengubah Pasal 16 menjadi pembentukan “suatu dewan pertimbangan.” Pasal 16 UUD NRI 1945 mengatur, presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden, yang selanjutnya diatur dalam UU. Dewan pertimbangan tersebut saat ini dikenal dengan nama Wantimpres.
Sekali lagi, yang perlu dicermati kedudukan Wantimpres saat ini bukanlah sebagai Lembaga Tinggi Negara, jika disejajarkan hanyalah setingkat menteri. Dengan kata lain, apabila perubahan nomenklatur Wantimpres menjadi DPA terus dipaksakan dengan kedudukan, fungsi serta kewenangan yang sama, maka terdapat kecacatan berpikir (logical fallacy) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Bagaimana mungkin mengubah fungsi, kedudukan dan kewenangan suatu lembaga hanya dengan mengubah undang-undang formal semata (Formell Gesetz), tanpa mengubah terlebih dahulu UUD 1945 yang berkedudukan sebagai Supreme of Law di Indonesia? Oleh karena itu, sangat mustahil jika kedudukan Wantimpres kembali disejajarkan dengan DPA, kecuali UUD 1945 diamendemen dan pasal yang mengatur tentang DPA sebagai Lembaga Tinggi Negara dihidupkan kembali oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.