Wajib Belajar 1 Tahun Prasekolah Mungkinkah

Wajib Belajar 1 Tahun Prasekolah: Mungkinkah?
(MI/Duta)

UNDANG-UNDANG No 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2029 menetapkan percepatan program wajib belajar menjadi 13 tahun (terdiri dari 1 tahun pendidikan prasekolah dan 12 tahun pendidikan dasar hingga menengah), yang merupakan langkah strategis Kepada mencapai visi Indonesia emas, di antaranya pendidikan berkualitas yang merata.

Kebijakan itu juga menjadi salah satu dari dua puluh langkah transformatif superprioritas (games changers) dalam kerangka transformasi sosial nasional. Konsolidasi pendidikan prasekolah sebagai prioritas nasional merupakan sebuah terobosan strategis, mengingat data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2023 (Susenas 2023) oleh BPS menunjukkan bahwa hanya 36,36% anak usia Awal yang sedang mendapatkan layanan pendidikan prasekolah.

Rendahnya Bilangan itu mencerminkan tantangan besar dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya Mahluk Indonesia pada masa depan. Melalui kebijakan itu, pemerintah berharap adanya peningkatan partisipasi anak usia Awal dalam layanan pendidikan prasekolah sehingga Bisa membangun fondasi yang lebih kukuh Kepada perkembangan kognitif, spritual, sosial, dan emosional serta fisik motorik mereka Kepada membentuk Mahluk unggul yang pada gilirannya akan berkontribusi pada daya saing nasional.

Mengapa usaha Kepada meningkatkan kualitas sumber daya Mahluk harus dimulai sejak usia Awal?

Keadaran tentang pentingnya intervensi pada usia Awal diawali dari hasil penelitian The High/Scope Perry Preschool Project yang dilakukan Kepada pertama kali di 1962 di Ypsilanti, Michigan, Amerika Perkumpulan, terhadap 123 anak Afrika-Amerika dengan gangguan belajar dan berasal dari keluarga ekonomi marginal.

Kajian itu kemudian dikembangkan dengan mengikuti perkembangan dan pertumbuhan anak-anak tersebut dari usia tiga tahun hingga dewasa di usia 40-an, dengan berbagai intervensi spesifik. Hasil penelitian memperlihatkan anak-anak yang mengikuti program itu Mempunyai performa akademik menonjol dan tingkat penyelesaian pendidikan lebih tinggi, Mempunyai Pendapatan lebih besar, dan lebih jarang terlibat dalam masalah hukum Kalau dibandingkan dengan mereka yang Enggak mendapatkan intervensi (Belfield et al, 2006; Schweinhart & Weikart, 1990).

Hasil serupa juga ditemukan dalam kajian longitudinal oleh Prof James Heckman (ekonom Universitas Chicago sekaligus peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2000) Berbarengan para koleganya. Penelitian itu menganalisis data dari dua program di Carolina Utara pada 1970-an, Yakni Carolina Abecedarian Project (ABC) dan Carolina Approach to Responsive Education (CARE), yang berfokus pada anak-anak dari keluarga berstatus sosial ekonomi rendah.

Tim menyimpulkan program intervensi usia Awal yang komprehensif dan berkualitas tinggi bagi anak-anak kurang Bisa sejak lahir hingga usia lima tahun menghasilkan tingkat pengembalian investasi sebesar 13,7% per anak per tahun. Hal itu tecermin pada capaian pendidikan, tingkat ekonomi, derajat kesehatan, dan status sosial yang lebih Bagus (García et al, 2016; Heckman, 2017).

Dari 2009 hingga 2013, Bank Dunia melakukan kajian jangka panjang terhadap Dampak pengembangan akses layanan PAUD berbasis komunitas (terutama KB/Golongan bermain) terhadap dua Golongan usia anak, Yakni Golongan usia empat tahun dan Golongan usia satu tahun, masing-masing 3.000 orang, di 50 kabupaten di Indonesia dengan ekonomi marginal, terisolasi, dan partisipasi anak usia Awal di layanan PAUD yang rendah.

Cek Artikel:  IMM dan Kesadaran Melahirkan Pemikir Muslim

Penelitian itu memperlihatkan, pada Golongan anak usia empat tahun terdapat perbaikan perkembangan kognitif anak paling besar terjadi pada anak-anak dari keluarga ekonomi rentan, sedangkan pada Golongan anak usia satu tahun terdapat perbaikan pada kesehatan fisik, kemampuan bahasa, dan kognitif anak (Brinkman et al, 2015).

Kajian The High/Scope Perry Preschool Program, Heckman beserta tim, dan Bank Dunia di Indonesia memperlihatkan intervensi pada anak usia Awal sebagai investasi sumber daya Mahluk (SDM) masa depan semakin berdampak besar apabila dilakukan sedini mungkin. Dalam pendekatan itu, Kepada meraih Dampak terbesar dalam peningkatan kualitas SDM masa depan diperlukan intervensi-intervensi yang dilakukan sejak periode kehamilan, usia 0-3 tahun (masa-masa awal kehidupan) dan periode prasekolah di usia 4-5 tahun.

Hasil itu selaras dengan kajian neurosains (ilmu saraf), khususnya mengenai perkembangan otak yang terbentuk sejak masa kehamilan hingga dewasa. Intervensi yang Cocok di awal kehidupan anak memengaruhi kualitas perkembangan otak dengan membangun fondasi yang kukuh bagi proses belajar, kesehatan, dan pengembangan perilaku.

Di tahun pertama kehidupan, lebih dari 1 juta koneksi saraf (sinapsis) baru terbentuk setiap detik. Masa itu menjadi puncak perkembangan sensori, bahasa, dan fungsi kognitif anak kalau mendapat stimulasi dengan Bagus. Setelah periode itu (di tahun kedua), koneksi saraf otak berkurang karena terjadinya proses pruning (pemangkasan), proses eliminasi sinapsis pada otak yang sedang berkembang (di usia 2-10 tahun) dengan menggugurkan koneksi yang Enggak dilatih atau terpakai sehingga kerja otak menjadi lebih efisien.

Urgensi intervensi pada masa-masa awal kehidupan juga disampaikan kajian dari OECD dalam Starting Strong 2017: Key OECD Indicators on Early Childhood Education and Care yang mengambil data PISA (Programme for International Student Assessment) 2015.

Studi OECD menyatakan bahwa performa akademik siswa usia 15 tahun yang pernah mengakses layanan pendidikan anak usia Awal (PAUD), minimal selama dua tahun, lebih Bagus Kalau dibandingkan Kawan mereka yang sama sekali Enggak mendapatkan layanan PAUD, bahkan setelah memperhitungkan variabel-variabel lain seperti status sosial ekonomi siswa dan sekolah (OECD, 2017).

Kepada konteks Indonesia, partisipasi siswa dalam program PAUD (prasekolah) selama tiga tahun atau lebih Mempunyai Interaksi yang positif terhadap rerata nilai literasi membaca pada survei PISA 2015.

Berbagai fakta tersebut menjadi Argumen kuat bagi pemerintah menerapkan program wajib belajar prasekolah satu tahun menjadi salah satu game changer yang akan dimulai pada 2025. Tetapi, siapkah pemerintah melaksanakan wajib belajar 13 tahun di Ketika Tetap Eksis 19 ribu desa yang belum Mempunyai pusat layanan PAUD walaupun kebijakan satu desa satu PAUD telah diluncurkan pada 2014?

Cek Artikel:  Prospek Ekonomi Keuangan Syariah di Era Prabowo Subianto

Apa saja fondasi yang sudah dimiliki Kepada mendukung implementasi wajib belajar prasekolah satu tahun tersebut?

 

1.Gerakan PAUD Berkualitas

Berbagai studi dari berbagai negara menunjukkan bahwa PAUD baru akan berdampak signifikan pada pengembangan sumber daya Mahluk bila pelaksanaannya berkualitas. Bila Enggak berkualitas, malahan Bisa berdampak Enggak baik pada perkembangan anak.

Pemerintah telah meluncurkan gerakan PAUD Berkualitas pada 2022 yang didasarkan pada Permendikbud-Ristek No 9 Tahun 2022 tentang Pengkajian Sistem Pendidikan. Peraturan itu menjelaskan bahwa hasil Pengkajian sistem pendidikan ditampilkan dalam rapor pendidikan, yang mengacu pada kualitas pembelajaran dan kualitas pengelolaan satuan. Gerakan PAUD Berkualitas bertujuan membangun kesamaan visi tentang transformasi satuan PAUD sehingga memudahkan advokasi, Bagus kepada satuan PAUD maupun Sekalian pihak yang mendukung program PAUD.

Penyelenggaraan PAUD Berkualitas membutuhkan dukungan dari empat elemen yang menjadi fondasi Istimewa layanan PAUD, Yakni kualitas proses pembelajaran, kemitraan dengan orangtua, adanya layanan yang memantau pemenuhan kebutuhan esensial anak usia Awal (di luar pendidikan), dan kepemimpinan serta pengelolaan sumber daya (Anggriani et al, 2022).

Kesuksesan gerakan PAUD Berkualitas membutuhkan keterlibatan Sekalian pihak termasuk pemangku kepentingan, Yakni masyarakat dan pemerintah desa, pemerintah daerah, pengelola satuan PAUD, serta orangtua anak usia Awal.

 

2.Gerakan Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan

Seiring dengan gerakan PAUD Berkualitas, juga diluncurkan gerakan Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan sebagai upaya Berbarengan Kepada memastikan pemenuhan hak anak usia Awal di tengah masyarakat yang Tetap salah paham bahwa bukti keberhasilan belajar di PAUD hanya bertumpu pada kemampuan calistung (baca, tulis, dan hitung).

Hal itu diperparah kebiasaan menjadikan kemampuan calistung sebagai syarat masuk SD. Miskonsepsi itu mengubah kegiatan belajar bagi anak usia Awal menjadi kegiatan yang Enggak menyenangkan. Ketika mereka belum Bisa membaca, menulis, dan berhitung, muncul penghakiman dari orangtua dan masyarakat bahwa anak usia Awal Lamban berkembang secara akademik.

Padahal pemaksaan belajar calistung pada Ketika mereka belum siap akan Membikin mereka lelah, mudah Jenuh, dan meninggalkan kesan bahwa belajar itu Enggak menyenangkan. Selain itu, penggunaan waktu yang berlebihan pada calistung Membikin kesempatan mereka Kepada berkembang di ranah spritual, sosial, emosional, dan fisik motorik menjadi sangat berkurang. Hal itu tentu sangat mengganggu perkembangan mereka pada masa depan.

Melalui gerakan itu, diharapkan, ekosistem pendidikan anak usia Awal akan mendorong proses belajar di PAUD dan SD yang selaras dan berkesinambungan, meningkatkan pemahaman bahwa kemampuan fondasi anak usia Awal Enggak hanya kognitif, tetapi juga aspek sosial emosional.

Kemampuan literasi dan numerasi serta kemandirian anak usia Awal dibangun secara bertahap di PAUD dan SD kelas awal.

Menjadi tugas Berbarengan Kepada meningkatkan pemahamanan bahwa kesiapan anak Kepada sekolah ialah suatu proses yang melibatkan anak, orangtua, dan sekolah, bukan merujuk pada hasil yang dilihat instan pada anak semata.

Cek Artikel:  Dewan Keamanan PBB dalam Konflik Israel-Palestina

Dua gerakan di atas, apabila dipahami Sekalian unsur ekosistem anak usia Awal, akan sangat mendukung pencapaian dari program wajib belajar prasekolah satu tahun. Tetapi, Tetap Eksis dua pekerjaan rumah Mendasar yang membutuhkan strategi operasional yang Cocok dalam memastikan wajar dapat berjalan optimal, Yakni

 

1.Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) PAUD

Mengacu pada Permendikbud-Ristek No 32 Tahun 2022 tentang Standar Teknis Pelayanan Minimal PAUD terdapat lima syarat Istimewa bagi terwujudnya program PAUD yang berkualitas, terukur, Segera, dan terjangkau, Yakni (1) tersedia minimum satu satuan PAUD di setiap desa/kelurahan; (2) tersedia peserta didik minimal 20 anak di setiap satuan PAUD; (3) tersedia fasilitas Kepada mendukung kegiatan anak di dalam dan di luar ruangan di setiap satuan PAUD.

Lewat, (4) tersedia pendidik yang telah mengikuti pendidikan dan/atau pelatihan bidang PAUD dan (5) tersedianya pendidik di satuan PAUD berkualifikasi D-4 atau S-1 minimal satu orang di setiap satuan. Tentu menjadi tantangan bagi setiap kabupaten dan kota di Indonesia Kepada Bisa melaksanakan SPM PAUD itu dan menjadi wewenang serta kewajiban bagi Kementerian Dalam Negeri Kepada memastikan pencapaian SPM PAUD.

 

2.Pembiayaan Layanan PAUD

Pembiayaan publik Kepada layanan PAUD dalam Sistem Pendidikan Nasional ialah sebuah kebutuhan. Pembiayaan layanan PAUD di Indonesia Tetap jauh di Rendah standar Mendunia yang ditetapkan UNESCO, Yakni 10% dari total anggaran pendidikan nasional. Menurut Bank Dunia, Tamat pada 2020 Indonesia telah menganggarkan Kepada pembiayaan PAUD sebanyak 2.6% dari anggaran pendidikan, padahal Indonesia Mempunyai jaminan konstitusional pembiayaan pendidikan sebesar 20% dari anggaran nasional (Afkar et al, 2020).

Pada 2021, pemerintah Indonesia menganggarkan Rp550 triliun Kepada sektor pendidikan. Dari jumlah itu, proporsi pos pembiayaan terkecil ialah PAUD sebesar 1,2%, diikuti dengan sektor nonformal (2,8%). Pos pembiayaan pendidikan selanjutnya adalah Kepada pendidikan menengah atas (13,4%), menengah vokasi (13,8%), menengah pertama (14,3%), dan sekolah dasar serta madrasah ibtidaiah (15%).

Bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, perbedaan proporsi pembiayaan PAUD Indonesia terlihat kentara. Pada 2021 hanya Vietnam yang Mempunyai anggaran PAUD sebesar 14% (jauh lebih besar daripada standar Mendunia 10%), diikuti Thailand (5%), Malaysia (2,9%), Laos (1,5%), Indonesia (1%), dan Kamboja (0,4%) (UNICEF, 2024).

Selain dua isu di atas, Tetap banyak tantangan lain yang Mempunyai potensi menghambat pencapaian wajib belajar 13 tahun seperti akses layanan PAUD, kualifikasi dan kompetensi guru PAUD serta upah mereka yang rendah, sarana dan prasarana layanan, dikotomi PAUD formal dan nonformal, serta kesadaran dan pemahaman orangtua/pengasuh mengenai pentingnya PAUD.

Tantangan-tantangan tersebut Enggak Bisa hanya menjadi beban pemerintah Kepada diselesaikan, tetapi juga Sekalian pemangku kepentingan yang berada dalam ekosistem anak usia Awal perlu bekerja sama Kepada memenuhi hak Mendasar anak usia Awal, Yakni Kepada mendapatkan pendidikan.

 

Mungkin Anda Menyukai