Wacana Penaikan Biaya Hidup Buat Kelas Menengah Ketakutan

​​​​​​​Wacana Penaikan Biaya Hidup Buat Kelas Menengah Ketakutan
Sejumlah warga berjalan di kawasan Dukuh Atas(ANTARA FOTO/Fauzan)

 

MINIMNYA koordinasi dari instansi pemerintahan dinilai menghadirkan kekhawatiran dan ketakutan pada masyarakat, utamanya kelas menengah. Pemangku kepentingan mestinya bisa menjaga suasana kondusif di saat kelompok menengah sedang dalam keadaan tertekan.

Baca juga : Yunita Siregar Keliling Jakarta dengan Transportasi Publik untuk Peran di “Home Sweet Loan”

“Ini masalahnya sepertinya koordinasinya tidak jalan menjelang pemerintahan Pak Jokowi selesai, main lempar wacana,” ujar Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto dalam webinar bertajuk Kelas Menengah Turun Kelas, Senin (9/9).

“Kebetulan saya di Big Data, sedikit banyak menghadapi isu-isu mana yang dihadapi publik. Ini kelihatan di masing-masing itu melempar sendiri-sendiri, sehingga semakin ketakutan kelas menengah kita dibuatnya oleh pungutan-pungutan ini,” tambahnya.

Cek Artikel:  Libur Panjang Maulid Nabi, Penumpang Whoosh Diperkirakan Tembus 80 Ribu

Masyarakat dinilai tengah digempur kekhawatiran peningkatan biaya hidup di tahun depan. Itu berangkat dari meluasnya wacana pembatasan BBM bersubsidi, pembatasan subsidi tarif KRL, kenaikan tarif PPN menjadi 12%, iuran asuransi wajib atas pembelian kendaraan bermotor baru, hingga pemotongan upah untuk Tapera.

Baca juga : Luar Kebiasaanl Jujur, Petugas KRL Serahkan Intervensi Rp500 Juta

Tertentu isu pembatasan subsidi BBM dan pembatasan subsidi tarif KRL, Eko menilai koordinasi pemangku kepentingan amat lemah. Dua wacana yang berkembang di publik itu justru menimbulkan kebingungan dan kekhawatiran pada masyarakat.

“Di BBM ada isu ketidaktepatan sasaran, di KRL ada isu ketidaktepatan sasaran, terus masyarakat mau pindah ke mana? Kan harapannya, kalau masyarakat tidak kuat dengan pembatasan BBM, silakan pindah ke transportasi publik. Transportasi publik juga diseleksi,” kata dia.

Cek Artikel:  Michelin Hadirkan MEMS 4 untuk Bantu Operasional Perusahaan Tambang

“Padahal itu kan sebenarnya wacana yang bisa dihandle pemerintah. Oke kalau semua ini adalah beban, mana beban yang bisa ditanggung, dan mana kira-kira yang benar-benar tidak bisa ditanggung. Itu sebenarnya bisa. Kalau pemerintahnya bekerja,” tambah Eko.

Alih-alih menghantui masyarakat dengan ancaman peningkatan biaya hidup, pemerintah diminta untuk bisa menahan diri mengambil pungutan-pungutan dari masyarakat. Asal Mula, kemampuan masyarakat untuk melakukan konsumsi saat ini masih amat terbatas.

Apalagi kelas menengah yang porsinya mencapai 80% dari total konsumsi penduduk tengah mengalami tekanan. “Jadi ini belum saatnya, tidak tepat. Oke, memang tidak tepat sasaran, tapi ini wacananya juga tidak tepat dilempar pada saat kelas menengah sedang menderita seperti sekarang,” pungkas Eko. (Mir/M-4)

Cek Artikel:  Jepang Minati Komoditas Bahan Bakar Terbarukan Kepulauan Sula

Mungkin Anda Menyukai