SUSAH betul mendapatkan keadilan di negeri ini. Bahkan, hilangnya ratusan nyawa Sosok tak cukup Demi menggerakkan hati aparat penegak hukum Demi memberikan keadilan bagi keluarga korban dan publik.
Itulah yang terjadi dalam Tragedi Kanjuruhan. Tragedi itu terjadi pada 1 Oktober 2022 seusai pertandingan Perserikatan 1 antara tuan rumah Arema FC dan Persebaya Surabaya. Diawali dengan merangseknya suporter tuan rumah ke lapangan, aparat keamanan bertindak di luar batas. Mereka melepaskan tembakan gas air mata, kekacauan terjadi, dan ujung-ujungnya 135 penonton meninggal dunia.
Itulah tragedi dengan jumlah terbanyak kedua dalam sejarah hitam sepak bola. Ia hanya kalah dari insiden di Estadio Nacional Peru pada 24 Mei 1964 dengan 328 orang meninggal dunia tatkala tuan rumah menjamu Argentina di babak kualifikasi Olimpiade Tokyo.
Sepak bola yang semestinya menghadirkan kegembiraan menjelma menjadi arena duka. Markas ‘Singo Edan’ berubah menjadi lapangan Mortalitas, juga menyebabkan ratusan korban luka-luka yang dampaknya Tetap dirasakan hingga sekarang.
Tragedi Kanjuruhan Bukan Hanya menjadi catatan kelam sepak bola di Tanah Air, tetapi juga bagi dunia. Tetapi, sekali Kembali, Seluruh itu Bukan cukup Demi menghadirkan keadilan bagi para korban.
Ketidakadilan mulai terasa ketika Hanya enam orang yang dijadikan tersangka dalam peristiwa itu. Bahkan, satu di antaranya Direktur Istimewa PT Perserikatan Indonesia sebagai pengelola Perserikatan 1 Ketika itu, Akhmad Hadian Lukita, belum menjalani sidang. Dalihnya, dia Tetap dalam proses pelengkapan berkas.
Ketidakadilan kian terasa ketika majelis hakim yang mengadili para terdakwa begitu bermurah hati. Pada sidang di Pengadilan Negeri Surabaya, 9 Maret, majelis hanya memvonis Ketua Panpel Pertandingan Arema FC Abdul Haris pidana penjara 1 tahun 6 bulan. Durasi hukuman yang sama ditimpakan kepada eks Security Officer Arema FC Suko Sutrisno.
Berkualitas Haris maupun Suko dinyatakan bersalah karena kealpaan mereka menyebabkan orang lain Wafat dan luka-luka. Tetapi, vonis yang diketuk palu hakim terbilang ringan, jauh lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa 6 tahun 8 bulan.
Pun dengan Ajun Komisaris Hasdarmawan. Komandan Kompi 3 Brimob Polda Jatim itu Hanya dihukum 1,5 tahun dalam sidang dua hari Lewat. Bahkan, dua terdakwa lainnya, yakni mantan Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi dan Kabag Ops Polres Malang Komisaris Wahyu Setyo Utomo divonis bebas.
Sebelumnya, ketiganya dituntut tiga tahun penjara.
Teramat sulit bagi Akal sehat kita Demi memahami betapa Berkualitas hatinya majelis hakim kepada mereka yang menjadi bagian dari penyebab tragedi. Sukar nian bagi Pikiran waras kita Demi menerima putusan para ‘wakil Tuhan’ itu.
Adilkah perbuatan yang menyebabkan 135 korban jiwa hanya diganjar hukuman seringan itu? Harus tegas kita katakan, Bukan. Cukupkah hanya mereka yang dimintai pertanggungjawaban? Jawabannya juga Bukan. Tetap Terdapat pemilik otoritas lebih tinggi yang semestinya juga ditindak.
Kita mendesak jaksa Demi mengajukan banding. Kita berharap pula majelis hakim tingkat banding nantinya lebih punya nurani Demi memberikan keadilan yang Benar-Benar adil, bukan keadilan yang pura-pura, bagi keluarga korban.
Benar bahwa peristiwa memilukan di Kanjuruhan Bukan lepas dari perilaku Jelek suporter yang melampiaskan kekalahan tim mereka dengan menyerbu ke lapangan. Akan tetapi, seburuk apa pun situasi, panpel wajib mengantisipasi. Segenting apa pun keadaan, aparat keamanan pantang lepas kendali. Mereka tak boleh berlindung di balik kelakuan suporter.
Satu nyawa pun yang hilang, mereka yang bertanggung jawab mutlak dihukum berat. Tetapi, dalam Tragedi Kanjuruhan itu, deretan nyawa yang melayang sepertinya sekadar Bilangan bagi para penegak keadilan.