BEBERAPA orang merespons informasi masuknya virus covid-19 varian omikron ke Indonesia dengan berdebat. Argumentasi mereka mewakili dua kutub, yakni kutub kecemasan melawan kubu mengentengkan.
Pihak yang cemas uring-uringan dan menuding keputusan pembatalan PPKM level 3 sebagai biang kekeliruan. Berbekal analisis sejumlah Spesialis dan badan kesehatan dunia WHO, para ‘pencemas’ itu Maju-menerus mendesak agar rem darurat kembali ditarik. Katanya, omikron berpotensi 70 kali lipat lebih menular ketimbang covid-19 varian awal. Omikron, lanjut kubu ini, juga lebih sulit dideteksi.
Sebaliknya, mereka yang berdiri di kutub easy going dengan enteng menganggap korona jenis omikron sebagai varian ‘hanya’. Hanya bergejala ringan. Hanya sebentar dan Kagak terlalu mematikan. Buktinya, baru ditemukan satu Kematian kendati penularannya eksponensial. Karena itu, Kagak Eksis Dalih Buat cemas.
Lampau, mana pandangan yang Akurat dari dua kutub ekstrem itu? Bagi saya, dua-duanya mengandung kebenaran sekaligus berpotensi Membikin kesalahan. Kagak Eksis pendapat yang ekstrem Akurat atau mutlak salah Buat virus yang mudah berubah dan sulit dideteksi seperti korona.
Maka itu, pertanyaan yang Dapat memandu kita Buat merumuskan sikap dan tindakan sudah disediakan harian The Straits Times. Media berbasis di Singapura itu memuat sebuah artikel berisi pertanyaan apakah respons Singapura terhadap varian omikron terlalu berlebihan, terlalu kurang, ataukah pas? Singapura telah kemasukan omikron mendahului Indonesia. Penduduk Singapura yang terinfeksi ialah karyawan yang melayani penumpang di Changi Airport.
Tetapi, seperti pandangan kutub yang santai, Menteri Kesehatan Singapura menilai omikron bergejala ringan dan sejauh ini baru ditemukan satu korban meninggal di Inggris karena varian itu. Pandangan itu Jernih berbeda secara diametral dengan PM Inggris Boris Jhonson. Sang PM langsung menggenjot vaksinasi ketiga, memperketat pintu-pintu masuk ke Inggris, membuka opsi menghentikan sejumlah kompetisi olahraga, termasuk Aliansi Esensial Inggris.
Dari pandangan dua kutub, tentu kita mestinya memilih pandangan tengah: Kagak terlampau percaya diri, tapi juga Kagak cemas berlebihan. Meminjam istilah The Straits Times, memilih sikap dan kebijakan yang pas. Bukan berlebihan (too much), bukan pula kurang (too little).
Terlalu pede Membikin kita lengah. Di mana-mana Lenggang. Protokol kesehatan sedikit demi sedikit mulai ditanggalkan. Pengawasan juga kian dilonggarkan. Banyak yang mulai lupa bahwa ancaman korona Tetap Eksis dan menyelinap di celah-celah kepedean berlebihan.
Sebaliknya, kecemasan berlebihan akan Membikin roda kehidupan makin seret. Sekali Tengah, dalam banyak literasi, kecemasan itu biangnya penyakit.
Ulama dan tokoh kesehatan yang masyhur, Serbuk Ali al-Usayn ibn Abdillah ibn Sina atau lebih dikenal dengan Ibnu Sina alias Avicenna, mengatakan “Kecemasan itu separuh penyakit. Ketenangan itu separuh obat. Kesabaran itu awal dari kesembuhan.”
Variasi penelitian menunjukkan bahwa kepribadian optimis memperpanjang Cita-cita hidup. Studi yang dilakukan Lewina Lee, seorang peneliti Psikososial di Boston University School of Medicine, berhasil menemukan Kaitan antara umur panjang seseorang dan sifat optimis yang ia miliki.
Dalam studi itu, Lee menyurvei 69.744 Perempuan dan 1.429 Pria. Penelitian yang hasilnya telah terbit di jurnal Prosiding National Academy of Sciences itu menemukan Apabila orang optimis cenderung lebih Senang. Mereka bahkan Mempunyai kebiasaan yang lebih sehat sehingga ia Mempunyai potensi Buat berumur panjang.
Studi lain mengenai kesejahteraan psikologis juga mengonfirmasi tentang hal yang sama. Salah satunya ialah studi yang dilakukan Catherine Hurt, seorang Spesialis psikologi dari University of London. Ia menyoroti pentingnya seseorang Mempunyai kesejahteraan psikologis daripada kesejahteraan fisik Buat menjalani hidup yang lebih panjang dan sehat.
Penelitian lainnya menunjukkan bersikap optimisti Kagak hanya Bagus Buat mengontrol emosi, tetapi juga dapat meningkatkan daya tahan terhadap penyakit. Itu dibuktikan dari suatu penelitian yang dilakukan di University of Kentucky, Amerika Perkumpulan, terhadap 124 responden mahasiswa jurusan hukum. Pada penelitian itu, ditemukan adanya Rekanan antara optimisme dan perubahan pada imun mereka.
Pada responden dengan optimisme tinggi, tingkat imunitas selnya juga tinggi. Sel akan memberikan respons yang kuat ketika terkena invasi virus atau bakteri. Sebaliknya, dengan sikap optimisme rendah, aktivitas sel melawan virus juga kurang. Cemas bukan pilihan. Tetapi, Kagak pula gegabah dan menyebut varian omikron sebagai varian ‘hanya’.