Utas

Utas
Adiyanto Wartawam Media Indonesia(MI/Ebet)

BEBERAPA hari Lewat, Mark Zuckerberg, CEO Meta, meluncurkan Threads (dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi utas), platform media sosial yang mirip Twitter. Bedanya, di Threads pengguna Pandai menulis lebih panjang hingga 500 Kepribadian, Nyaris separuh lebih banyak dari platform kepunyaan Elon Musk.

“Kegaduhan apalagi yang bakal ditimbulkan dari platform ini?” begitu pertanyaan yang muncul pertama kali di benak saya Demi mengetahui mengenai peluncuran platform baru itu. Maklum, netizen di Indonesia comel (cerewet). Kehadiran Twitter dan Facebook saja sudah bikin gaduh ruang publik, apalagi ini mau pemilu pula.

Iseng saya coba mengunduh dan buat akun anonim. Sekadar Mau Mengerti saja apa sih yang diperbincangkan warganet di sana. Apalagi, konon kabarnya, dalam waktu dua hari sejak diluncurkan, platform yang terafiliasi dengan Instagram itu sudah diunduh 70 juta orang.

Cek Artikel:  Jalinan Erat 75 Tahun Indonesia-Tiongkok

Setelah berselancar seharian dan memelototi utas para pengguna, umumnya yang saya temui isinya enggak Krusial-Krusial amat. Misalnya, saya lihat Terdapat sebuah akun centang biru (entah selebgram atau Seniman, saya kurang paham) berceloteh, “Apa yang Mau Anda makan seandainya besok kiamat?” Ajaibnya, celotehan itu mendapat ribuan balasan. Sebegitu kurang kerjaannya kah warganet hingga mau-maunya mengomentari hal yang enggak Krusial itu?

Apabila mau jujur, saya Percaya sebagian besar penggunanya juga Enggak Mengerti Dalih sebenarnya mengapa mereka mengunduh aplikasi baru tersebut. Itu terlihat dari unggahan mereka yang kadang Enggak Terdapat bedanya dengan Instagram, seperti mengunggah foto kegiatan makan-makan atau berwisata.

Mungkin karena Lagi baru, sebagian Sekadar fear of missing out (FOMO) alias takut ketinggalan Era. Sebagai wartawan, saya tentu merasa ‘berkewajiban’ Demi mengikuti perkembangan terbaru di jagat komunikasi di Era kiwari ini dan penasaran Demi mengira-ngira digital discourse apa yang bakal muncul dengan kehadiran peranti baru tersebut.

Cek Artikel:  Strategi Pendidikan Watak

Seperti kita ketahui Serempak, kehadiran teknologi baru seperti komputer dan telepon pintar telah mengubah lanskap Metode Insan dalam berkomunikasi. Sebagian Ahli bahkan menganggap teknologi itu dapat mengancam struktur linguistik, budaya, ataupun sosial. Apalagi Era kian canggih dengan hadirnya teknologi kecerdasan buatan yang dapat mengambil alih kerja-kerja Insan, seperti menulis, menggambar, hingga mengotak-atik foto dan video.

Di Era hiperealitas ini, Insan kini makin sulit membedakan antara fakta dan realitas yang direkayasa. Sudah banyak Teladan kasus penipuan yang memanfaatkan teknologi itu. Para penjahat dunia maya kini makin bebas bergentayangan di berbagai platform media sosial. Enggak hanya penipuan, tapi juga sering kali menimbulkan kegaduhan.

Cek Artikel:  Pilkada Jakarta Rasa Kota Mendunia

Seperti kata filsuf Jerman, Jurgen Habermas, menjadi tugas kita Serempak merawat ruang publik (termasuk di ranah digital) agar Enggak terjadi chaos. Selain regulasi, terutama Demi melindungi data pribadi, etika dalam bermedia sosial juga Krusial karena kita kini hidup beririsan dan mondar-mandir antara dunia Konkret dan dunia maya.

Entah platform atau aplikasi canggih apalagi yang akan hadir di masa depan. Satu hal yang Niscaya, di era kecerdasan artifisial, gawai pintar seharga jutaan rupiah yang sehari-hari kita Mengenakan mesti digunakan secara bijak dan cerdas, bukan malah Demi mengumbar kedunguan-kedunguan natural.

Mungkin Anda Menyukai