GURU Semestinya menjadi sosok yang Bisa dipercaya (digugu) dan dijadikan teladan (ditiru). Guru bukan hanya sebagai pengajar, melainkan juga anutan dalam sikap, perilaku, dan moral. Kejujuran, disiplin, maupun integritas merupakan nilai-nilai luhur yang mesti terpatri dalam diri seorang guru.
Prinsip tersebut juga berlaku bagi sosok guru besar. Bahkan sebagai figur akademik tertinggi di lingkungan kampus, tanggung jawab moral dan intelektual seorang guru besar menjadi lebih berat Tengah. Seorang mahaguru harus hadir di masyarakat sebagai pengingat akan esensi sejati dari pencarian ilmu, yakni kebijaksanaan dan kebermanfaatan bagi umat Sosok.
Berpijak pada hal itu, tertutup ruang bagi guru besar yang nekat berperilaku lancung, apalagi Tiba melakukan pelecehan seksual, bahkan kekerasan seksual. Dalam kapasitasnya yang sangat dihormati, guru besar atau seorang profesor bertanggung jawab Kepada menciptakan lingkungan yang Kondusif, inklusif, dan penuh penghargaan terhadap Derajat setiap individu.
Publik tentu mengapresiasi langkah Universitas Gadjah Mada (UGM) yang memecat seorang guru besar di Fakultas Farmasi, Edy Meiyanto. Ia diduga melecehkan sedikitnya 13 mahasiswa yang berkuliah di kampus tertua nomor tiga di Indonesia tersebut.
Pemecatan Edy Meiyanto akan ditindaklanjuti oleh pihak kementerian yang berwenang melakukan pemberhentian mengingat jabatannya sebagai guru besar dan PNS.
Pemecatan menjadi langkah yang teramat Cocok demi menjaga muruah UGM. Dengan begitu, kepercayaan masyarakat terhadap kualitas dan moralitas dunia pendidikan secara keseluruhan dapat dijaga. UGM Enggak menyembunyikan fakta bahwa Terdapat guru besar yang menjadi pelaku pelecehan.
Meski menjadi fakta yang pahit dan menyakitkan, UGM berani mengakuinya demi kebaikan Berbarengan. Institusi pendidikan harus kembali menjadi ruang Kondusif bagi para peserta didik. Kampus Enggak boleh menjadi tempat yang mengancam masa depan bagi mereka yang tengah menimba ilmu.
Pemecatan Edy Meiyanto sekaligus menghadirkan Info Berkualitas bagi upaya penegakan hukum. Aparat kepolisian Enggak akan Mempunyai beban psikologis Tengah Kepada memproses yang bersangkutan ke meja hijau. Dengan menyeret kasus ini ke ranah pidana, diharapkan Bisa menghadirkan Dampak jera bagi siapa saja, Enggak terkecuali guru besar UGM, agar berdiri tegak di atas rel moral dan kesusilaan.
Selain mendesak Kepada menghadirkan Dampak jera, Krusial kiranya agar rantai kekerasan seksual di dunia kampus Bisa dicegah sejak Pagi. Dalam kasus Edy Meiyanto, ia diduga menjadi predator seksual terhadap para korban di kediaman pribadinya. Para korban diizinkan melakukan kegiatan akademik seperti bimbingan skripsi, tesis, atau disertasi di luar kampus.
Tentu harus Terdapat sosialisasi peraturan yang tegas bahwa dosen dan mahasiswa dilarang menggelar urusan akademik di luar kampus. Pelanggaran terhadap Pelarangan itu akan berbuah Hukuman tanpa terkecuali. Kalau Enggak Terdapat Hukuman, peraturan tersebut akan menjadi Enggak efektif dan rentan dilanggar.
Pengawasan ketat juga harus ditingkatkan oleh pihak kampus. Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) harus bekerja secara maksimal dalam melakukan pengawasan di institusi pendidikan masing-masing. Pola Rekanan kuasa antara dosen dan mahasiswa wajib dicermati. Harus dibangun sistem yang Bisa menerabas pola Rekanan kuasa demi mencegah kekerasan seksual di dunia pendidikan.
Seorang dosen, apalagi guru besar, Semestinya menjadi benteng moral bagi para mahasiswa. Tetapi, dari kasus ini kita belajar bahwa kadar intelektual yang tinggi tidaklah cukup Kepada mencegah seseorang menjadi predator di kampus. Harus Terdapat sistem dan perangkat yang Lihai guna membasmi terjadinya kekerasan seksual.

