Upaya Terpadu dalam Transformasi Kesehatan Nasional

Upaya Terpadu dalam Transformasi Kesehatan Nasional
Yosi Marin Marpaung(Dok pribadi)

KURANG dari sepekan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-59 akan segera diperingati. Mengertin ini Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengusung tema Transformasi Kesehatan untuk Indonesia Maju.

Seperti hari-hari peringatan lainnya, perayaan HKN tahun ini pun menjadi wahana untuk kembali menyadari betapa esensinya peran kesehatan dalam kehidupan. Selain itu telah sejauh mana transformasi telah dilakukan di arena kesehatan di Indonesia.

Tema HKN tahun ini erat kaitannya dengan inisiatif dari pemerintah untuk mentransformasi kesehatan yang tercetus dalam enam pilar transformasi kesehatan. Hal ini adalah salah satu capaian yang luar biasa, sebagai akselerator transformasi untuk mewujudkan visi Presiden yakni masyarakat yang sehat, produktif, mandiri, dan berkeadilan.

Dari sekian banyak pilar, salah satu yang paling menarik perhatian, dan menurut penulis merupakan jantung dari sistem kesehatan nasional yang kuat, adalah pilar transformasi layanan primer. Perubahan dan penguatan dalam layanan primer memang sangat dibutuhkan.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa negara dengan layanan kesehatan primer yang kuat menunjukkan status kesehatan yang lebih baik, penurunan kunjungan rumah sakit, dan  beban biaya kesehatan yang jauh lebih rendah. Transformasi layanan primer juga disebut dapat mengurangi kejadian penyakit-penyakit yang umum bahkan hingga 70%.

Dengan kata lain, transformasi layanan primer dapat menciptakan lebih banyak orang sehat. Dengan demikian, ditetapkannya pilar ini sebagai pilar pertama menunjukkan bahwa Indonesia memang sedang bergerak maju dan berada di arah yang tepat. Penguatan layanan primer sebagai ujung tombak kesehatan masyarakat memang dibutuhkan, apalagi pelayanan primer adalah layanan paling dekat dengan masyarakat.

Dari sisi aset, setidaknya Indonesia saat ini sudah memiliki lebih dari 10 ribu pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) sebagai pelaksana layanan kesehatan yang dekat dengan masyarakat, sekitar 300 ribu posyandu, dan lebih dari 500 ribu kader. Meski masih terdapat tantangan, ini dapat menjadi modal dasar yang menjanjikan untuk sebuah transformasi.

Highlight dalam transformasi layanan kesehatan primer yang diusung pemerintah adalah dilakukannya integrasi layanan primer (ILP) yang mengusung setidaknya tiga perubahan, yaitu kegiatan layanan kesehatan berbasis siklus hidup, didekatkannya layanan kepada masyarakat melalui jejaring hingga tingkat desa dan dusun, dan dilakukannya pemantauan wilayah setempat terkait situasi kesehatan.

Eksis empat penguatan yang diusung, yaitu: 1. Penguatan edukasi kesehatan pada penduduk Indonesia dalam rupa dilakukannya kampanye, penguatan kader, penggunaan platform digital, dan pelibatan tokoh masyarakat. 2. Pencegahan primer dengan ditambahkan dan diperluasnya cakupan imunisasi rutin. 3. Pencegahan sekunder lewat skrining penyakit prioritas dengan memerhatikan siklus hidup. 4. Pusingkatan kapasitas dan kapabilitas layanan primer lewat berbagai pembangunan, baik pada sarana, prasarana, maupun sumber daya manusia di fasilitas kesehatan tingkat pertama.

Cek Artikel:  Etika Pemimpin itu Langgeng

Intinya transformasi yang diusung ini membawa semangat promosi kesehatan dan pencegahan penyakit yang kental. Dua konsep yang berbeda, sering tumpang tindih, namun memiliki ujung yang sama, yaitu menghasilkan lebih banyak orang sehat. Dengan strategi dan komitmen yang kuat, keberhasilan transformasi ini akan mengangkat derajat kesehatan masyarakat di Indonesia. Tetapi demikian, terdapat beberapa catatan yang perlu diperhatikan.

Transformasi harus merata dan inklusif

Merata berarti seluruh penduduk harus menerima dampak dari berbagai penguatan yang ada. Faktanya, masih ada kecamatan, desa/kelurahan, yang belum memiliki fasilitas puskesmas, puskesmas pembantu (pustu), atau pos kesehatan desa (poskesdes), serta SDM, sarana, prasarana yang dibutuhkan.

Sementara, inklusif berarti layanan kesehatan primer yang berkualitas harus dapat menyentuh seluruh kelompok rentan. Mengutip dari Center for Indonesia’s Strategic Developoment Initiative (CISDI), seluruh kelompok rentan dimulai dari anak-anak, perempuan, lansia, mereka yang secara wilayah tinggal di lingkungan tertinggal, terpencil, dan terluar.

Selain itu, mereka dengan status finansial yang sulit, atau yang dari segi pekerjaan tidak memiliki jaminan kesehatan dan sosial, seperti pekerja harian dan di sektor informal, serta yang secara sosial rentan mengalami ketersisihan dikarenakan berbagai hal, misalnya disabilitas, gender, status HIV/AIDS, bahkan pengungsi. Seluruh kelompok ini harus merasakan transformasi yang diupayakan.

Memfasilitasi kemandirian masyarakat

Pelibatan masyarakat semakin krusial mengingat jumlah tenaga kesehatan yang masih senjang berbanding masyarakat. Selain itu, semakin menyentuh ke akar rumput, peran yang lebih banyak dan langsung dari masyarakat akan semakin dibutuhkan.

Karena itu, upaya ‘memandirikan masyarakat’ harus dilakukan. Demi mencapainya diperlukan pelibatan sistem, suara, aksi-aksi komunitas, menemukan champion atau konektor di dalam komunitas, serta mempertimbangkan aspek kelokalan dan praktik budaya terkait isu yang menjadi perhatian. Tujuannya agar dapat mengakselerasi upaya menyehatkan masyarakat dan menjamin keberlanjutannya yang berkualitas.  

Selanjutnya, masyarakat perlu dilibatkan dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi, menjadi hal yang perlu melandasi transformasi layanan primer. Petugas benar-benar perlu mendengarkan apa yang menjadi masalah komunitas dan tidak memaksakan agendanya masing-masing. Pengetahuan dan keterampilan mengenai fasilitasi dan dinamika kelompok menjadi keterampilan yang perlu dimiliki oleh petugas.

Cek Artikel:  Pemilu TikTok

Ratusan ribu kader menjadi modal awal dari terciptanya kemandirian masyarakat. Tetapi, penambahan tugas kader dalam usaha transformasi, misalnya yang semula bertugas hanya saat kegiatan posyandu berlangsung sekarang menjadi harus aktif mengunjungi rumah-rumah.

Tentu, hal itu perlu dibarengi dengan peningkatan kapasitas kader. Task-sharing atau mendistribusikan tugas kepada individu non spesialis atau non kesehatan yang ada di dalam komunitas untuk mengatasi keterbatasan SDM kesehatan bukan tidak mungkin dilakukan. Tetapi, pelatihan dan supervisi yang maksimal dari tenaga kesehatan dibutuhkan sehingga investasi dalam area ini perlu disiapkan.

Menyentuh seluruh latar lingkungan
 
“Kesehatan diciptakan dan dijalani oleh manusia dalam lingkungan kehidupan sehari-harinya; tempat mereka belajar, bekerja, bermain, dan mencintai,” demikian disampaikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Oleh karena itu, untuk menciptakan lebih banyak orang sehat, pelayanan kesehatan primer sebagai unit yang paling dekat dengan masyarakat perlu jemput bola untuk mentransformasi beragam latar kehidupan.

Selain rumah tangga, perlu dilakukan kunjungan dan pemantauan, termasuk pemantauan indikator yang berhubungan dengan perilaku dan sumber daya sehat. Selain itu edukasi, pendampingan dan pemberdayaan, serta upaya persuasif lainnya perlu dilakukan di tempat-tempat lain; di ruang gerak dan di tempat manusia menghabiskan waktunya, bahkan untuk sebagian orang hampir seluruh waktunya.

Perlu ada yang mengerjakan dengan serius transformasi pada latar kehidupan, seperti sekolah, universitas, kantor, mal, pasar, rumah sakit, bandara, terminal, tempat ibadah, dan lain-lain. Tujuannya, agar sehat menjadi pilihan yang mudah dan aktif ditawarkan di dalam keseharian manusia.

Elemen-elemen yang ada dalam latar ini, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik, diharapkan dapat memungkinkan dan mendorong gaya hidup yang lebih sehat. Selain itu, mendukung tempat-tempat ini untuk melakukan berbagai upaya yang kreatif dan inovatif yang mengambil masukan-masukan dari ilmu perilaku, seperti psikologi sosial, antropologi, dan behavioural economics, dapat dikembangkan untuk mendukung upaya ini.

Perlu diketahui bahwa perilaku adalah hasil interaksi antara kebiasaan, respons otomatis terhadap lingkungan terdekat dan lebih luas, pilihan dan perhitungan secara sadar, dan terletak di lingkungan sosial dan budaya yang kompleks.

Cek Artikel:  Paskah Terbangunkan Persatuan hingga Konsolidasikan Demokrasi

Pelayanan kesehatan primer dapat ikut melakukan advokasi dan mediasi pada berbagai latar kehidupan untuk mendorong kebijakan, kegiatan, dan inovasi yang menyehatkan, misalnya, terkait peningkatan pola makan sehat.

Dengan begitu pelayanan kesehatan primer dapat mendorong ditempatkannya section produk yang lebih sehat, seperti sayur-sayuran, buah-buahan, dan sebagainya. Bukan di area ujung/tersembunyi dari pandangan, melainkan di pintu masuk area perbelanjaan.

Selain itu sekaligus menjauhkan pilihan tidak sehat seperti permen, minuman berpemanis, atau rokok dari area tunggu atau mudah terlihat oleh masyarakat, misalnya kasir. Sejumlah negara sudah melakukan langkah-langkah ini.

Selain itu, misalnya, mendorong sekolah mengaktifkan hari-hari khusus untuk makan sehat dan/atau memberi perhatian terhadap desain fisik sekolah. Tunjuannya agar lebih menarik minat warga sekolah dalam beraktivitas fisik.

Harus menjadi isu seksi

Menjadi catatan penting pula bahwa tanpa adanya paradigma yang tepat mengenai pembangunan kesehatan, keberhasilan layanan kesehatan primer dalam upaya menyehatkan masyarakat dapat menemui banyak hambatan. Tetap menjadi sebuah pekerjaan besar untuk sampai pada sporadisnya pola pikir yang berfokus tentang bagaimana menjadi sehat (paradigma sehat).

Kagak perlu jauh-jauh dulu ke level masyarakat, di institusi pendidikan yang melahirkan calon-calon profesional kesehatan yang nantinya akan bekerja di pelayanan kesehatan primer, orientasi pada paradigma sehat tampaknya masih belum kuat terbangun. Pola pikir yang masih terlihat populer, bahkan tak jarang dianggap lebih seksi dalam arena kesehatan, adalah masih tentang bagaimana menyembuhkan penduduk yang sakit.

Penguasaan terhadap pendekatan biomedis masih jauh lebih memukau daripada penguasaan terhadap pendekatan sosial dan perilaku dalam dunia kesehatan. Pola ini ditambahkan dengan pendekatan paternalistik masih dominan dalam relasi profesi kesehatan dengan masyarakat, kemudian terbawa ke dalam bagaimana biasanya upaya preventif dan promotif dikerjakan.

Sudut pandang yang kerap digunakan adalah memberikan informasi dari arah patofisiologi penyakit. Percakapan tentang isu patososiologi dari masalah kesehatan dan genesis dari sehat masih sepi diangkat di ruang publik. Karena itu, memperkuat paradigma yang clear dan kuat tentang layanan primer dari sejak pendidikan harus dilakukan.

Semoga cita-cita dari transformasi kesehatan yang menjadi harapan pemerintah Indonesia juga menjadi harapan kita bersama. Mari mengambil peran dalam transformasi kesehatan nasional. 

Mungkin Anda Menyukai