Upaya Pengendalian Covid-19

Upaya Pengendalian Covid-19
(Dok.Kemenkes.go.id)

JUMLAH kasus covid-19 dunia sudah lebih dari 96 juta orang dengan lebih dari 2 juta kematian. Di negara kita, penambahan kasus harian pada awal Januari sebanyak 8.000 per hari, tapi sekitar pertengahan Januari 2021 penambahannya bahkan hingga lebih dari 14.000 orang.

Nomor kepositifan yang tadinya sekian belas persen, lalu naik menjadi lebih dari 20%. Artinya, satu dari lima orang yang dites di negara kita ternyata sudah positif covid-19. Hal ini tentu perlu mendapat perhatian amat penting. Apalagi sudah pernah ada angka kepositifan yang mendekati 30%.

 

Tiga perkembangan

Setidaknya, ada tiga perkembangan penting covid-19 dan semuanya akan berdampak pada upaya pengendalian yang akan dilakukan dunia, juga di negara kita di bulan-bulan mendatang ini. Perkembangan pertama, tentu bahwa vaksin sudah tersedia serta Indonesia dan beberapa negara sudah memulai menyuntikkannya pada warga negara mereka.

Memang, masih ada diskusi tentang angka efikasi, misalnya, tetapi World Health Organization (WHO), Food and Drug Administration (FDA) Amerika Perkumpulan, dan European Medicine Agency (EMA) memang mensyaratkan efikasi lebih dari 50% untuk suatu vaksin dapat digunakan di masa pandemi ini. Jadi, kalau vaksin yang kini digunakan di Indonesia punya efikasi 65,3%, sudah masuk kriteria yang resmi dianut untuk dapat digunakan secara luas.

Soal keamanan juga tidak perlu diragukan karena vaksin sudah melalui berbagai tahap uji klinis dengan baik. Tentu saja, ada tiga hal yang patut jadi perhatian dalam hal vaksinasi ini. Pertama, dengan efikasi sekitar 65%, maka untuk mencapai kekebalan kelompok (herd immunity) diperlukan cakupan vaksinasi yang sangat besar. Artinya, peran serta banyak pihak tentu amat diperlukan. Karena itu, berita tentang kemungkinan perusahaan memberikan vaksin pada karyawannya atau barangkali penyediaan vaksin oleh pihak swasta, patut jadi pertimbangan. Meski memang tentu faktor jaminan bahwa rakyat mendapat vaksin harus jadi acuan utama.

Kedua, sudah banyak dibahas bahwa protokol kesehatan tetap harus dipertahankan sampai pandemi ini terkendali. Masalah utama ialah kekhawatiran terjadinya pandemic fatigue, orang lelah mengikuti aturan yang harus ditaati sudah lebih dari setahun ini. Terang ini harus ditanggulangi dengan saksama dengan komunikasi publik yang terarah dan terus-menerus.

Ketiga, kita tahu juga bahwa seperti sudah banyak dibahas bahwa vaksin covid-19 yang sekarang tersedia di dunia harus disuntikkan dua kali. Jadi, proteksi kekebalan baru akan terbentuk dengan baik beberapa waktu sesudah suntikan kedua. Artinya, sesudah suntikan pertama, memang belum cukup terbentuk antibodi dalam tubuh manusia untuk mencegah terjadinya penyakit. Meskipun sudah dapat suntikan vaksin satu kali, protokol kesehatan harus terus dijaga. Protokol 3M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan) harus terus diterapkan dengan ketat.

Cek Artikel:  Dilema Kampanye di Tempat Pendidikan

Bahkan, sesudah selesai suntikan kedua sekali pun, protokol kesehatan tetap harus dipertahankan karena memang saat ini di dunia tidak ada vaksin yang efikasinya 100%. Artinya, tidak ada vaksin yang 100% dapat menjamin bahwa seseorang tidak akan bisa tertular sama sekali, tidak ada proteksi 100%.

Nomor efikasi yang ada menunjukkan persentase rendahnya kemungkinan tertular jika dibandingkan dengan mereka yang tidak divaksin. Jadi, kalau efikasi di bawah 100% seperti yang ada sekarang ini, pasti akan ada saja kemungkinan seseorang tetap dapat tertular dan jadi sakit walau sudah dapat vaksinasi secara lengkap.

Hanya saja, kemungkinan jadi sakitnya jauh lebih kecil sejalan dengan angka efikasi vaksin yang bersangkutan. Meskipun sudah divaksin dua kali, secara lengkap kita tetap perlu waspada terhadap kemungkinan tertular. Meskipun sekali lagi, risiko tertular memang jadi jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan mereka yang tidak divaksin. Jadi, protokol kesehatan dan 3M masih harus tetap dilakukan sepanjang pandemi dunia belum dapat diatasi.

Perlu diketahui juga bahwa beberapa penelitian vaksin covid-19 menunjukkan pada mereka yang sudah divaksin, kalau toh tertular dan jadi positif covid-19, gejalanya relatif lebih ringan daripada mereka yang tidak divaksin sama sekali.

Perkembangan kedua ialah mulai diberlakukannya rapid test swab antigen. Pemeriksaan yang hasilnya dalam beberapa menit ini memang punya dasar ilmiah yang memadai. Pada 11 September 2020, WHO pertama kali memasukkan tes ini dalam rekomendasi resminya, yang antara lain disebutkan bahwa tes antigen dengan sensitivitas 80% dan spesifisitas 97, dapat digunakan pada keadaan tertentu.

Hal ini terus berkembang sejalan dengan bukti ilmiah yang ada dan pada 16 Desember 2020 WHO bahkan menggunakan tes swab antigen sebagai salah satu indikator klasifikasi penyakit covid-19. WHO menyatakan bahwa ada orang tanpa gejala yang tidak memenuhi kriteria epidemiologi yang sudah ditetapkan, tapi hasil tes antigen positif, itu diklasifikasikan sebagai kasus suspek covid-19.

Buat klasifikasi kasus konfirmasi covid-19, ada dua yang kini dikaitkan dengan tes swab antigen. Pertama, kalau hasil tes antigen positif dan memenuhi definisi kasus probable atau kriteria kasus suspek dengan kriteria klinik, dapat dinyatakan sebagai dalam kasus konfirmasi. Kedua, orang tanpa gejala dengan tes antigen positif dan ada kontak erat dengan kasus probable atau konfirmasi, maka juga ditetapkan sebagai kasus konfirmasi pula.

Pada 2021 tampaknya penggunaan tes swab antigen akan dapat makin luas walaupun memang yang akurasinya paling tinggi ialah Nucleic Acid Amplification Test (NAAT), seperti tes swab PCR yang sudah kita kenal luas dan akan tetap menjadi acuan utama.

Tentu tes antigen harus dijamin kualitas sensitivitas dan spesifisitasnya, jangan ada penyelewengan seperti berita tentang calo, surat palsu, dll. Demikian juga pemeriksaan PCR harus selalu dijamin mutunya. Apalagi, kita baca berita bahwa ada kasus yang sudah dites di Indonesia dan kemudian dites di negara lain, ternyata hasilnya berbeda, walaupun memang hal ini perlu kajian ilmiah untuk menilainya.

Cek Artikel:  Optimisme Menyikapi Tantangan Perekonomian

Perkembangan ketiga ialah tentang mutasi covid-19. Pada Desember 2020 dilaporkan mutasi virus SARS-CoV-2 penyebab covid-19 di Inggris. Dikabarkan pula bahwa ada laporan mutasi dari Belanda, Denmark, dan Australia, selain bentuk lain dari Afrika Selatan. Kita tahu bahwa mutasi covid-19 ini sebenarnya sudah terjadi sejak Februari 2020, yaitu bentuk D614G yang juga sudah terjadi di negara kita dan juga ada bentuk lain seperti A222V di Spanyol dll.

Para pakar dan organisasi internasional selama ini menganalisis mutasi-mutasi yang ada walaupun ada laporan bahwa mutasi D614G menyebabkan virus lebih mudah berreplikasi atau lebih mungkin menular. Tetapi, kesepahaman umum sebelum ini menyebutkan bahwa mutasi belum berdampak sangat bermakna pada penanggulangan covid-19.

Tetapi, mutasi yang bermula terjadi di Inggris itu, kini mungkin saja berbeda halnya. Laporan sementara menyebutkan bahwa mutasi terjadi pada 17 protein dan ada juga yang menyebutkan 23 protein. Salah satunya, yang penting ialah mutasi N501Y yang melibatkan proses ‘menempelnya’ virus di reseptor di dalam tubuh manusia dan juga ada mutasi delesi H69/V70.

Kajian masih terus berlangsung dari mutasi yang juga dikenal dengan nama B.1.1.7 ini. Sementara itu, diperkirakan bahwa mutasi ini membuat virus lebih mudah menular dan penelitian masih terus berproses. Dalam beberapa hari ini ada juga laporan sementara yang menilai apakah mutasi ini akan menyebabkan penyakit tambah berat dan ini tampaknya masih perlu data ilmiah lebih lanjut. Di sisi lain, dampak sosial kemasyarakatannya jelas terasa cukup besar, antara lain dengan cukup luasnya pembatasan penerbangan internasional yang terjadi.

Beberapa negara Asia juga sudah melaporkan adanya mutasi baru ini dan kita perlu waspada. Dalam waktu mendatang ini, tentu akan ada data ilmiah yang lebih jelas tentang perkembangan mutasi ini dan juga apa dampaknya terhadap penyebaran penyakit, beratnya serangan, dan apakah ada gangguan pada vaksinasi yang sudah dimulai. Awalnya, pendapat umum menyatakan bahwa tampaknya mutasi belum akan mengganggu proses vaksinasi karena vaksin akan merangsang proses imun lewat beberapa bagian dari virus. Meski ada sebagian mutasi, setidaknya sekarang vaksin akan dapat tetap bekerja.

Harus diakui, kini ada beberapa analisis baru yang mulai agak mengkhawatirkan kalau-kalau nanti mutasi terus berkepanjangan, data ilmiah mungkin perlu dianalisis mendalam lagi. Sebagian produsen vaksin sudah menyatakan, mengikuti dengan saksama perkembangan mutasi ini serta kemungkinan penyesuaian bila diperlukan. Tetapi, perlu ditugaskan kembali bahwa sejauh ini memang vaksin yang ada sekarang ini ampuh untuk memberi proteksi terhadap penyakit covid-19, sejalan dengan nilai efikasinya.

Cek Artikel:  Ilusi Polarisasi versus Fakta Kohesi Sosial

 

Lebih menular

 

Yang cukup perlu dapat perhatian ialah pernyataan pimpinan WHO beberapa waktu lalu, yang menyebutkan bahwa varian baru virus korona yang bermutasi ini memang lebih menular dan dapat membuat masalah besar (highly problematic) serta dapat meningkatkan jumlah kasus dan perawatan di rumah sakit.

Entah kebetulan atau tidak, sesudah sinyalemen WHO ini, jumlah kasus di Indonesia terus meningkat tajam sampai pertengahan Januari. Memang ada pendapat, peningkatan kasus hari-hari ini terjadi akibat libur panjang akhir tahun yang lalu. Tetapi, kita harus ingat juga kemungkinan lain seperti varian baru mutasi virus.

Karena itu, perlu ada tiga langkah penting sehubungan dengan peningkatan kasus sekarang ini, yang akan baik kalau ditangani dengan sense of urgency. Pertama tentu jangka pendek ialah segera menambah tempat tidur rumah sakit atau bahkan memikirkan membuat bangsal darurat. Kita tahu bahwa hal ini harus diikuti dengan kesiapan tenaga kesehatannya. Termasuk yang spesialistik dan mahir di ICU, misalnya, tentu juga dengan peralatan serta perubahan sistem pelayanan kesehatan menghadapi beban berat dan darurat ini.

Kedua, harus juga dilakukan upaya menekan jumlah kasus dengan mengurangi penularan di masyarakat. Upaya keras mencegah orang tertular serta segera menemukan, mengisolasi, dan mengobati mereka yang sudah tertular. Bukan mungkin kita hanya menangani dampaknya, dengan menambah kapasitas perawatan di rumah sakit tanpa menangani situasi hulunya, yaitu harus terus mencegah penularan berkepanjangan di masyarakat luas.

Hal ketiga, sesuai dengan varian mutasi baru ini, maka kegiatan sekuens genomik untuk menganalisis kemungkinan mutasi virus harus segera dilakukan di laboratorium yang sudah mampu melakukannya dan dilaporkan hasilnya untuk pengambilan keputusan yang diperlukan.

Sebagai penutup dapat disampaikan bahwa pandemi dunia dan situasi di Indonesia tidak akan dapat teratasi hanya dengan satu modalitas. Bukan bisa hanya dengan vaksinasi, misalnya. Artinya 3M, mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker, harus tetap dilakukan.

Bahkan, bersama M-M lainnya seperti menghindari kerumunan, menjaga etiket memberi salam, melakukan olahraga teratur, makan bergizi, melakukan pola hidup sehat dll. Selain itu, juga 3T, test, trace dan treat harus terus digiatkan sesuai dengan standar-standar yang ada, dengan mengerahkan sumber daya kesehatan dari berbagai sektor.

Seluruh harus dilakukan bersama-sama. Pandemi tidak akan hilang dengan hanya vaksinasi. Bukan juga hilang hanya dengan 3M dan juga tidak akan hilang hanya dengan 3T. Seluruh harus kita lakukan bersama secara maksimal.

Mungkin Anda Menyukai