PEMBENGKAKAN biaya pendidikan tinggi pada akhirnya menjadi beban konsumen yang notabene juga anak bangsa sendiri yang tidak semuanya berkemampuan. Ketika uang kuliah tunggal (UKT) disetop karena dianggap naik tidak wajar dan tidak peduli dengan kondisi masyarakat, kampus memutar otak demi menjaga stabilitas keuangan dengan menaikkan iuran pengembangan institusi (IPI) serta menaikkan jumlah anak didik (student body/SB). Bahkan, kemudian ada kampus yang menyarankan memanfaatkan pinjaman online sebagai dana pendidikan yang harus ditanggung mahasiswa.
Sebelum kita lihat IPI dan SB, ada baiknya kita lihat struktur pendapatan dan belanja pendidikan tinggi, terutama di PTNBH. Struktur pendapatan itu tentu berbeda antara PTNBH, BLU, dan Satker. Tetapi, keragaman struktur pendapatan PTNBH lebih kompleks dari PT lainnya. Pendapatan utama PTNBH berasal dari sumber dana masyarakat (berupa kontribusi dari UKT, IPI, dan endowment fund). Sementara itu, pendapatan pendukung lainnya bisa dari kerja sama, hibah, grant, usaha akademik, atau satuan usaha komersial lainnya. Dari kedua struktur pendapatan itu, pimpinan PTNBH perlu memperhatikan keseimbangan neraca keuangan perguruan tinggi antara pendapatan dan pengeluaran.
Struktur belanja perguruan tinggi terbagi pada dua bagian, yaitu belanja operasional rutin dan belanja modal. Belanja operasional rutin mencakup gaji, tunjangan, pengelolaan bangunan dan infrastruktur, serta operasionalisasi pendidikan. Sementara itu, belanja modal harus dikalkulasi sebagai belanja yang bergerak untuk pengembangan institusi.
Baca juga : Mahasiswa Gunakan Pinjol untuk Biaya Kuliah, Muhadjir: Kampus Bisa Bantu Subsidi Mengembang
Meskipun pada awalnya dapat disebut sebagai belanja investasi, tahun kedua harus mampu mendorong pendapatan yang lebih besar. Resiliensi keuangan hanya akan tercipta apabila belanja modal mampu menghasilkan penerimaan baru dari modal yang dianggarkan. Apabila belanja operasional rutin meningkat, belanja modal akan mampu menopang berjalannya institusi untuk sustain.
Keberadaan UKT dan IPI bagi PTNBH merupakan solusi dari keterbatasan anggaran perguruan tinggi untuk menjalankan proses bisnis pendidikan. Ketika perguruan tinggi berubah status dari BLU menjadi PTNBH, beberapa tanggungan pemerintah pun berhenti dan berubah menjadi tanggungan perguruan tinggi, yaitu pembayaran tunjangan kinerja staf dan pegawai, biaya pembangunan sarana dan prasarana, serta perawatan dan pengembangan lainnya. Meskipun masih ada dukungan dari pemerintah dalam bentuk BPPTNBH, jumlahnya tidak lagi mencukupi. Solusi yang dipilih kemudian ialah peningkatan pendapatan melalui UKT dan IPI yang bisa secara mudah dilakukan PT dengan kesepakatan kementerian pendidikan dan kebudayaan.
Bagaimana UKT dan IPI diterapkan kepada mahasiswa? Pengenaan UKT menjadi tanggungan semesteran yang dibayarkan mahasiswa. Tetapi, IPI menjadi tanggungan mahasiswa baru masuk yang dibayarkan sekali selama pendidikan, tetapi besarannya bisa dapat mencapai total kumulatif UKT selama pendidikan.
Baca juga : Pemerintah tak Merevisi Permendikbud 2/2024, Sebut Perguruan Tinggi Tax Spender
Sebagai gambaran untuk periode 2024, kita melihat pembayaran IPI untuk jurusan yang tidak favorit mencapai Rp35 juta/mahasiswa. Sementara itu, untuk jurusan favorit dapat mencapai Rp70 juta/mahasiswa, tetapi untuk kedokteran bisa lebih tingginya lagi yang mencapai ratusan juta per mahasiswa.
Meskipun IPI dikenakan pada jalur penerimaan mandiri, perlu dipahami juga bahwa tidak semua mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri berasal dari keluarga yang berkemampuan. Tak sedikit yang masuk melalui jalur mandiri ialah dari keluarga yang juga berasal dari keluarga petani, sopir, tukang becak, nelayan, anak buruh pabrik, dan padagang kaki lima.
Golongan jalur mandiri seolah menempatkan semua pendaftar ialah anak dari keluarga berkemampuan. Dengan mengedepankan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat untuk menikmati pendidikan, pendapatan dari dana masyarakat seharusnya tidak membebani masyarakat untuk menutupi kebutuhan PT. Lanjut bagaimana solusi yang harus dipilih perguruan tinggi.
Baca juga : Menggagas Pembiayaan UKT untuk Keberlanjutan Pendidikan Tinggi di Indonesia
Academic bond
Jensen et al (2015) menyatakan bahwa perbedaan status sosial menjadi gap akses masuk perguruan tinggi. Jalur mandiri dengan kuota 40% dari total mahasiswa menjadi gap baru untuk masuk ke PT. Menyikapi situasi di atas, solusi yang perlu ditempuh ialah mendorong investasi social (academic bond) melalui dua langkah: 1) meningkatkan efisiensi pembiayaan PTNBH dan 2) menjadikan pendidikan tanggung jawab bersama.
Baca juga : 5 Universitas dengan UKT Tertinggi di Indonesia
Solusi pertama terkait dengan efisiensi, yaitu soal merit system yang harus disederhanakan. Merit system yang umumnya terjadi saat ini ialah model honorarium. Honorarium yang bersifat multi-activity telah menambah beban administrasi. Kemudian melahirkan banyak kuitansi dan pembayaran diecer melalu honor–honor jangka pendek dengan gaji yang kecil, tapi banyak tambahan dari honor seperti uang rapat, transport, narasumber, koordinator, ketua komisi, dan lainnya dapat menjadi kebocoran karena administrasi cenderung mengejar bersih prosedural ketimbang kualitas substansi.
Dengan menggunakan merit system, penetapan standar biaya gaji, tunjangan sudah dalam satu paket yang dianggap layak dan pantas sehingga kemudian para dosen tidak lagi banyak yang ‘ngojek‘ di luar kampus mencari tambahan pendapatan. Pelajaran dari negara yang kita anggap maju seperti Jerman, gaji seorang dosen bergelar associate professor antara Rp70-Rp90 juta/bulan. Sementara itu, pendapatan seorang bergelar profesor berkisar antara Rp90-Rp120 juta/bulan.
Begitu juga gaji seorang dosen di Malaysia dapat mencapai Rp30-Rp40 juta per bulan. Dengan nilai pendapatan sebesar itu, dosen atau profesor tidak perlu lagi lontang–lantung mencari tambahan di luar jam kantor. Dengan merit system yang layak seperti itu, kegiatan pendidikan akan fokus mengajarkan ilmu, periset mengembangkan ilmu dan pengetahuan.
Dengan skema itu, seharusnya kalkulasi dana masyarakat dengan pembayaran biaya operasional untuk gaji dan tunjangan bisa lebih nyata keseimbangannya. Apabila terjadi kekurangan alokasi belanja rutin dari dana masyarakat, dapat disubstitusi dari dana kerja sama.
Solusi kedua, yaitu mendorong pendidikan sebagai tanggung jawab bersama. Ketika ini pendidikan hanya menjadi tanggung jawab orangtua yang ingin anaknya berpendidikan. Sementara itu, dunia kerja menjadi penikmat lulusan dengan bermacam kriteria dan tuntutan. Para alumnus terlihat seperti pengemis pekerjaan, bahkan sering menjadi ‘pelacur ilmu‘ agar bisa bertahan.
Mengaku ahli pada bidang yang tidak didalami, mengaku kompeten pada profesi tertentu dengan modal sertifikat pelatihan, tetapi pendidikan tidak mendukung. Akibatnya, banyak terjadi kegagalan pembangunan yang dicirikan dengan proyek yang mangkrak, kualitas kerjaan di bawah standar, dan tanggung jawab iptek tercerabut karena pragmatisme pembangunan.
Sebagai tanggung jawab bersama, dunia kerja harus berkontribusi dalam mendukung pendidikan. Dunia kerja seperti BUMB dan bank , pertambangan migas, pertambangan nonmigas, PLN, industri mesin dan industri alat berat, rumah sakit, agro industri, transportasi, jasa wisata dan hotel, serta lainnya harus berinvestasi pada pendidikan untuk mendapatkan tenaga kerja mereka.
Beasiswa dari dunia kerja tersebut menjadi investasi SDM bagi mereka. Beasiswa itu kemudian akan menjadi komponen pembiayaan kerja sama yang dapat digunakan oleh kampus untuk penguatan belanja modal pendidikan. Pemerintah harus mendorong semua sektor kerja menerapkan berinvestasi untuk tenaga kerja, investasi untuk inovasi melalui perguruan tinggi selain mendukung menyediakan beasiswa industri tersambung dengan kampus karena inovasinya.
Pengaruhnya kampus tidak perlu memaksa orangtua membayar UKT dan IPI tinggi karena sudah disubstitusi oleh dunia kerja dan calon mahasiswa mulai terhubungan dengan tempat kerja pada jurusan yang diambil. Dunia kerja sesuai dengan investasinya dapat meminta lulusan kampus untuk langsung dipekerjakan sesuai bidangnya. Jadi, tidak ada lagi jurusan yang tempat kerjanya tidak jelas serta kampus yang tidak punya mitra industrinya.
Dua solusi di atas selain akan meringankan beban masyarakat dan meningkatkan tanggung jawab pemerintah dalam membenahi pendidikan, peserta didik kemudian juga akan lebih bertanggung jawab menjalani pendidikan karena ada dukungan dunia kerja dan koneksi yang kuat pascapendidikan.
Dalam konteks itu, negara tidak sekadar menjadi fasilitator, tetapi juga mengelola secara utuh sistem pendidikan, mendesain hubungan kerja, dan mengawal ketimpangan agar tidak membesar. Selain itu, pejabat pemerintah harus mengelola pendidikan di negara ini dan jangan menjadi sebagai bisnis yang akhirnya mendera masyarakat kita yang masih banyak di bawah garis kemiskinan dan kebodohan.