BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan. Kita amat mafhum, sudah sejak Pelan tersedia jawaban ganda Demi pertanyaan jumlah Nomor kemiskinan di negeri ini. Bila pertanyaan diajukan kepada Badan Pusat Statistik (BPS), jawabnya Jernih: Sekeliling 8,5% dari total penduduk Indonesia yang jumlahnya 285 juta, alias tak Tiba 25 juta, Tetap miskin.
Tetapi, Kalau pertanyaan diajukan ke Bank Dunia, jumlahnya ‘mengerikan’, yakni Sekeliling 68% penduduk Indonesia, alias 194,3 juta orang, alias dua dari tiga penduduk di negeri ini, masuk kategori miskin. Kaget, bukan? Ini Nomor terbaru, yang Bank Dunia berlakukan mulai bulan ini. Padahal, bulan Lampau, rilis Bank Dunia sudah Membikin kita terbelalak karena jumlah orang miskin di Indonesia Tetap 60%, lebih besar daripada yang agak kaya atau yang kaya.
Itulah hasil ‘penyesuaian’ terbaru dari Bank Dunia kepada negara kita yang sudah masuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas. Ukuran terbaru Bank Dunia itu Jernih kembali Membikin heboh. Apalagi, Kembali-Kembali soal jumlah orang miskin di Indonesia, yang ukurannya kembali diperbarui. Dalam laporan mereka, pekan Lampau, Bank Dunia merilis jumlah orang miskin di Indonesia meningkat signifikan seusai organisasi tersebut mengubah standar garis kemiskinan mereka per Juni 2025.
Berdasarkan laporan bertajuk June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform, Bank Dunia Formal mengadopsi perhitungan purchasing power parity (PPP alias paritas daya beli) 2021 dalam menentukan garis kemiskinan. Sebelumnya, Bank Dunia Tetap menggunakan penghitungan PPP 2017. Dengan menggunakan ukuran 2017 pun, Nomor kemiskinan di Indonesia menurut Bank Dunia sudah lebih dari 60%.
PPP merupakan pengukuran Komparasi biaya yang dibutuhkan Demi membeli suatu barang atau jasa di satu negara dengan di Amerika Perkumpulan. Misalnya, US$1 di New York tentu Mempunyai daya beli yang berbeda dengan US$1 di Jakarta. PPP memungkinkan penghitungan keterbandingan tingkat kemiskinan antarnegara yang Mempunyai tingkat biaya hidup yang berbeda-beda. Oleh Karena itu, nilai PPP berbeda Demi setiap negara.
Demi Indonesia, Bank Dunia mencatat US$1 PPP 2017 setara dengan Rp5.607,5. Demi yang 2021, Bank Dunia belum mengeluarkan konversi Formal PPP ke rupiah. Seusai pengadopsian PPP 2021, Bank Dunia mengungkapkan kini garis kemiskinan Dunia menjadi US$3 per orang per hari, naik dari sebelumnya US$2,15 berdasarkan perhitungan PPP 2017.
Selanjutnya, garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah Dasar menjadi US$4,20 per orang per hari (dari US$3,65), sedangkan garis kemiskinan negara berpenghasilan menengah atas menjadi US$8,30 per orang per hari (dari US$6,85). Padahal, Bank Dunia mengategorikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas sejak 2023, setelah mencapai pendapatan nasional bruto sebesar US$4.580 per kapita. Itu artinya, Indonesia masuk rentang negara berpendapatan menengah ke atas, dengan kisaran pendapatan per kapita di US$4.466-US$13.845.
Itulah yang Membikin jumlah orang miskin di Indonesia versi Bank Dunia amat tambun. Bila dikonversi ke rupiah, orang Indonesia dengan pendapatan per hari Rp50 ribu, atau per bulan Rp1,5 juta per orang, tergolong miskin. Dengan rata-rata Personil keluarga di negeri ini 4,7 orang, sebuah keluarga di Indonesia dengan pendapatan per bulan Rp7 juta, oleh Bank Dunia Tetap dikategorikan miskin. Nomor yang besar, Demi ukuran upah minimum regional rata-rata pekerja di Indonesia yang tertinggi Bukan Tiba Rp6 juta.
Sebelumnya dalam laporan Poverty & Equity Brief edisi April 2025, Bank Dunia mencatat persentase penduduk miskin di Indonesia ialah 60,3% dari total populasi pada 2024. Kini, berdasarkan data Poverty and Inequality Platform Bank Dunia yang baru, Kalau menggunakan penghitungan PPP 2021, persentase penduduk miskin di Indonesia melonjak ke 68,2% dari total populasi pada 2024, atau setara dengan 194,4 juta orang, alias Sekeliling setiap 3 orang penduduk Indonesia, 2 orang di antaranya miskin.
Menurut BPS, jumlah orang miskin di Indonesia tak Tiba 10%. Lembaga negara itu mencatat Eksis 24,06 juta orang atau setara 8,57% dari total populasi negeri ini yang masuk kategori miskin. Dalam menghitung kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar tersebut dibagi menjadi dua kategori: komoditas makanan dan komoditas bukan makanan.
Demi makanan, BPS memakai standar kebutuhan gizi versi Kementerian Kesehatan, Merukapan minimum 2.100 kilokalori (kkal) per kapita per hari. BPS pun menggunakan 52 jenis komoditas makanan Demi menentukan kebutuhan 2.100 kkal tersebut seperti beras, kue basah, hingga rokok kretek filter. Demi bukan makanan, BPS menggunakan 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditas di perdesaan, seperti perumahan, listrik, dan pajak kendaraan motor.
Hasilnya, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2024, didapati ambang batas garis kemiskinan nasional senilai Rp595.243 per orang per bulan. Pada Demi yang sama, BPS mencatat rata-rata satu rumah tangga miskin di Indonesia Mempunyai 4,71 Personil rumah tangga, sehingga garis kemiskinan nasional sebesar Rp2.803.590 per rumah tangga miskin per bulan. Yang satu Rp2,8 juta per rumah tangga per bulan, yang satu Rp7 juta per rumah tangga per bulan.
Lampau, siapa yang Betul? Sebaiknya kita perlu Misalnya Vietnam dan Malaysia, yang berani mengoreksi patokan Nomor kemiskinan mereka. Kedua negara itu berani memgambil langkah Bukan Terkenal dengan Memajukan standar ukuran Anggota miskin. Demi pertama dikoreksi, Nomor kemiskinan di kedua negara tetangga itu naik drastis. Tetapi, itu jauh lebih jujur dan bagus Demi menata sistem penanganan kemiskinan. Pelan laun, Nomor kemiskinan Bisa ditekan, bukan sekadar secara statistik, melainkan dalam kondisi yang riil di lapangan.
Perbedaan Nomor kemiskinan antara Bank Dunia dan BPS Jernih bukan semata-mata soal teknis, melainkan juga mencerminkan Metode kita memahami realitas sosial-ekonomi masyarakat Indonesia. Kalau jutaan orang Bukan tergolong miskin menurut negara, tetapi tetap kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, sewa tempat tinggal, atau biaya kesehatan, kita perlu pertanyakan kembali, siapa sebetulnya yang kita klasifikasikan miskin dan siapa yang terlewat dari perhatian kebijakan?

