PENGADILAN tata usaha negara (PTUN) jelas bukan lembaga peradilan biasa. Seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Pahamn 1986 pada 29 Desember 1986, tujuan dibentuknya lembaga yang awalnya disebut Peratun itu, salah satunya, untuk mewujudkan tata negara yang tertib.
Maka, setiap keputusan PTUN semestinya memiliki dua sisi mata uang, yakni demi keadilan dan demi tertibnya tata negara. Buat menjalankan peran itu, tentu saja hakim-hakim harus memiliki pandangan yang luas terhadap ketatanegaraan kita. Berikut memikul tanggung jawab bersama muruah ketatanegaraan dengan lembaga peradilan lain.
Muruah kolektif tersebut memang bukan berarti selalu kesatuan suara. Tanggung jawab terhadap muruah kolektif bisa saja berwujud putusan pahit bagi lembaga peradilan lainnya. Ketika itu terjadi, selama keadilan dan ketatanegaraan dijunjung, maka yang ada bukanlah pencederaan lembaga lain. Malah merupakan sentilan demi terjaganya muruah kolektif tersebut.
Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik
Itu pula yang terjadi dari putusan PTUN Jakarta untuk gugatan yang diajukan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. Anwar yang dipecat Majelis Kehormatan MK pada November 2023 menggugat pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK karena ia nilai tidak sah. Pada Selasa (13/8), PTUN mengabulkan gugatan itu.
Kemudian, PTUN memutuskan surat keputusan pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK agar segera dicabut. Selain itu, PTUN juga mengabulkan permohonan dari adik ipar Presiden Jokowi tersebut untuk pemulihan nama baiknya sebagai hakim konstitusi.
Sekilas, putusan tersebut tampak merugikan MK. Lembaga tinggi, bahkan dapat dikatakan terpenting dalam ketatanegaraan Indonesia ini masih terseok-seok memulihkan citra setelah dicoreng oleh Anwar.
Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19
Bahkan, pengajuan gugatan yang dilakukan Anwar ke PTUN dari permukaan terlihat memalukan. Anwar, yang pernah mengatakan bahwa jabatan adalah amanah dari Tuhan, justru seperti menjilat ludah sendiri dengan menuntut ke PTUN. Ditambah lagi, Anwar sebenarnya juga ikut dalam pemilihan Ketua MK yang dimenangi Suhartoyo. Ia terlibat dalam pemilihan itu.
Bagaimanapun janggalnya langkah Anwar, dalam pertimbangan gugatan itu PTUN menyatakan menemukan adanya tindakan MK yang tidak sesuai asas hukum dan norma perundang-undangan. MK hanya menerbitkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 17 Pahamn 2023 tentang Pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK. Tetapi, MK tidak menerbitkan surat keputusan pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK.
Menurut hakim PTUN, tidak dicabutnya Putusan MK Nomor 4/2023 tentang pengangkatan Anwar Usman sebagai Ketua MK itu tidak sekadar persoalan tata laksana pemerintahan, tetapi terkait juga dengan kepastian hukum dan kepatuhan atas prosedur hukum yang benar.
Baca juga : Paket Bonus Pengganti Mudik
Ibarat nila setitik rusak susu sebelanga, inilah petaka dari ketidakcermatan tata laksana di MK sendiri. Tengah dan lagi, kepercayaan publik patah akibat kesalahan internal, baik dari integritas pimpinan sampai hal sesederhana administratif.
Memang kita juga tidak naif jika bisa saja Anwar yang memang masih menjadi hakim MK memanfaatkan cacat prosedur itu untuk kepentingan sendiri. Apa pun memang bisa dilakukan Anwar yang sudah terbukti tidak menjunjung muruah lembaganya.
Tetap saja, pahitnya putusan PTUN harus menjadi pelajaran mahal bagi MK untuk pembenahan diri, yang bukan saja soal integritas. Karena itu, kita menuntut MK bukan saja segera melakukan banding atas putusan PTUN, tapi segera pula memperbaiki keseluruhan tata laksana lembaga.