SYAMSUDIN Silawane alias Udin Kabel bukanlah orang terkenal seantero Tanah Air. Ia hanya beken di sebagian Kota Ambon. Itu pun karena Udin dikenal sebagai seorang residivis. Ia penjahat kambuhan, terutama pencuri ‘spesialis’ sound system mobil.
Baru menghirup udara bebas dari penjara pada Januari 2023, Udin Kabel divonis Kembali 10 bulan kemudian. Itu karena ia mencuri sound system mobil Kembali. Akibat perbuatannya itu, Pengadilan Negeri (PN) Kota Ambon mengganjar Udin dengan hukuman enam tahun penjara pada November 2023 Lampau.
Hingga setahun sejak vonis itu dijatuhkan, Udin Kabel tetaplah dikenal hanya di sebagian Kota Ambon sebagai pencuri sound system kambuhan yang diterungku di penjara Kembali. Lampau, namanya tiba-tiba mencuat di jagat maya di seluruh Nusantara dalam sebulan tetakhir.
Itu setelah para pegiat media sosial menyandingkannya dengan Harvey Moeis. Nama yang terakhir itu terdakwa kasus korupsi PT Timah yang menyebabkan kerugian negara mahadahsyat, hingga Rp300 triliun. Foto keduanya yang dikolase pun bertebaran di medsos lewat sejumlah meme. Terdapat yang membubuhkan tulisan: ‘sama vonis, beda kasus’, ‘hakim memang agak laen’, hingga yang serius ‘inikah yang namanya keadilan?’.
Saya Kagak hendak mengglorifikasi Udin Kabel. Kejahatannya tetaplah salah dan Layak diganjar hukuman. Apalagi ia penjahat kambuhan. Saya hanya Menonton betapa jomplangnya ukuran keadilan di mata hakim.
Terdapat orang dengan tingkat kejahatan sangat super (Serempak-sama secara Absah dan meyakinkan melakukan korupsi hingga merugikan negara Rp300 triliun) divonis setara pencuri sound system yang kerugian bagi orang lain (bukan negara) paling banter ratusan juta rupiah. Vonis keduanya hanya ‘dibedakan’ enam bulan.
Publik pun bertanya: persamaan di mata hukum Ragam apa? Di mana equality before the law itu? Apakah yang disebut persamaan itu sekadar ‘sama-sama melakukan kejahatan dan sama-sama pencuri’? Padahal, kendati sama-sama melakukan kejahatan, Akibat yang ditimbulkan keduanya, Udin Kabel dan Harvey Moeis, amat sangat jauh berbeda, bak bumi dan langit.
Kalau sekadar sama-sama melakukan kejahatan, mengapa Terdapat pengklasifikasian tindak pidana dan vonis? Terdapat jenis tindak pidana ringan (penegak hukum sering mengakronimkannya menjadi ‘tipiring’), Terdapat kejahatan berat, Terdapat pula kejahatan luar Normal. Mencuri sound system mobil orang berkali-kali itu Terang bukan tipiring, tapi juga Kagak Dapat disebut kejahatan luar Normal.
Tetapi, berkongkalikong mengeruk Duit negara hingga ratusan triliun rupiah, itu kejahatan luar Normal. Disebut kejahatan luar Normal mengingat Akibat yang ditimbulkan akibat kejahatan korupsi juga luar Normal, Kagak hanya satu atau dua orang, tapi Dapat jutaan orang. Terdapat hak-hak mereka, jutaan orang itu, yang gagal didapat akibat ‘dibegal’ di tengah jalan oleh para koruptor.
Hukuman Buat tindak kejahatan tipiring, kejahatan berat, dan kejahatan luar Normal mestinya juga berbeda-beda. Korupsi itu kejahatan luar Normal. Karena itu, hukuman atas perbuatan tersebut juga mesti mencerminkan frasa keluarbiasaan yang ditabalkan, yakni dengan hukuman maksimal.
Dari Bilangan kerugian negara yang Rp300 triliun saja dapat dihitung berapa dampaknya bagi rakyat. Bila disalurkan dalam bentuk KUR (kredit usaha rakyat), Duit Rp300 triliun itu Dapat disalurkan ke 3 juta orang. Atau, bila dipakai Buat membangun rumah sakit tipe A, Dapat berdiri 1.000 rumah sakit. Bahkan, bila disalurkan Buat beasiswa plus jatah hidup mahasiswa di dalam negeri, Biaya sebesar itu Dapat memberi garansi 1 juta orang hingga lulus sarjana tanpa hambatan biaya.
Belum Kembali bila Duit sebesar Rp300 triliun itu dipakai Buat mengatasi tengkes (stunting), Dapat digunakan Buat satu periode pemerintahan (sebagai gambaran, anggaran penanganan tengkes pada 2023 sebesar Rp48 triliun). Menteri Perumahan Maruarar Sirait juga dijamin Kagak pusing karena Dapat membangun 3 juta rumah dengan Duit yang dikorupsi Harvey Moeis dan Rekan-Rekan itu.
Maka itu, wajar belaka bila banyak orang, termasuk saya, yang menyebut vonis atas Harvey Moeis itu menusuk, mencabik-cabik, dan merampas keadilan masyarakat. Kalau Menonton dampaknya yang superdahsyat bagi masyarakat, meminjam prinsip keadilan korektif menurut Aristoteles, vonis terhadap Harvey Moeis itu bukan ‘hukuman yang Layak bagi pelaku kejahatan’.
Bahkan, vonis itu jauh dari ukuran Layak. Vonis itu telah memorak-porandakan kepastian hukum. Hukuman ringan itu mencerabut asas keadilan yang disebut oleh John Wilson, seorang Spesialis dari Oxford, sebagai consistency. Itulah asas Buat menjamin kepastian hukum (Absah certainty) dan prediktibilitas (predictibility) dalam menyelesaikan persoalan hukum.
Preseden itu Dapat Membikin orang yang berniat jahat meningkatkan ‘level’ kejahatan dari yang teri menjadi berat, dari yang berat menuju luar Normal. Toh, hukuman penjaranya sami mawon.