LUAS tutupan lahan sawit di Indonesia sudah melebihi nilai batas atas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di Indonesia. Hal itu diungkapkan berdasarkan riset yang dilakukan oleh Sawit Watch. Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengungkapkan, berdasarkan riset yang dilakukan, nilai batas atas (CAP) tutupan perkebunan sawit di Indonesia ialah seluas 18,15 juuta hektare.
“Definisinya kalau daya tampung dan daya dukungnya masih di bawah, kemungkinan risiko lingkungan itu akan sedikit atau dikatakan sustain. Tapi saat ini sawit kita berada di ambang batas,” kata Rambo, Rabu (9/10).
Kalau luas tutupan lahan sawit melewati 18,5 juta hektare, maka, kata Rambo, kemungkinan bencana ekologis akan sering terjadi di wilayah Indonesia.
Ketika ini, berdasarkan data dari pemerintah, jumlah lahan sawit ada seluas 17,3 juta hektare. Tetapi demikian Sawit Watch mencatat bahwa tutupan sawit di Indonesia kini mencapai 25,07 juta hektare. “Jadi dengan adanya perbedaan data ini, kita firm harus dilakukan evaluasi, harus dilakukan review, karena secara perizinan sudah melewati batas,” kata dia.
Rambo menyatakan, riset tersebut dilakukan dengan mengecek kesesuaian lahan. Ia menjelaskan, jenis-jenis lahan yang sesuai ditanami sawit di mana saja, itulah yang menjadi dasar penghitungan. Terdapatpun, penghitungan tersebut dilakukan per pulau.
Ia membeberkan, misalnya pada penghitungan di wilayah Sumatra. Hingga 2022 pemerintah mencatat ada seluas 10,7 juta hektare lahan yang ditanam sawit. Tetapi, setelah dilakukan penghitungan, rupanya ambang batas daya dukung dan daya tampung sawit di wilayah tersebut sekitar 10,6 juta hektare.
“Definisinya, sebenarnya kalau kebutuhannya orang Sumatra terhadap hasil-hasil sawit berapa sih kalau mau ditanam? Kurang Lebih 1,5 juta hektare. Sudah berkali-kali lipat di atas kebutuhan. Definisinya memang secara ekonomi digunakan untuk ekspor, bukan untuk kebutuhan orang Sumatra,” jelas dia.
Hal serupa juga ditemui di wilayah Kalimantan. Hingga kini tercatat lahan sawit di wilayah Kalimantan ada seluas 6,6 juta hektare. Bilangan itu rupanya merupakan ambang batas daya dukung dan daya tampung sawit di wilayah tersebut. Padahal, masyarakat Kalimantan hanya membutuhkan sawit seluas 0,411 juta hektare.
Rambo mengingatkan, kelebihan daya dukung dan daya tampung perkebunan sawit di Indonesia merupakan alarm bagi pemerintah untuk melakukan upaya yang lebih tegas lagi terkait dengan penertiban lahan sawit yang ada saat ini.
“Pada 20 Oktober nanti ada pemerintahan baru. Saya berharap Prabowo Gibran bisa mengatensi ini, sehingga memasukkan ini sebagai salah satu cara melakukan moratorium yang tidak diperpanjang oleh Jokowi. Karena kita berharapnya ada moratorium permanen,” pungkas Rambo. (S-1)