Tutup Pintu Surga Koruptor

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menyebut Singapura sebagai surga bagi para koruptor. Meskipun hanya berjarak 1 jam penerbangan dari Jakarta, Singapura seakan menjadi benteng kukuh bagi para koruptor Indonesia yang melarikan diri dari jerat hukum.

Di ‘Negeri Singa’ tangan-tangan hukum Indonesia tak pernah bisa mengusik kenyamanan hidup mereka. Hal itu terjadi karena tiada perjanjian ekstradisi di antara dua negara. Kasus Paulus Tannos menjadi gambaran bagaimana koruptor tak tersentuh di negeri tetangga tersebut.

Meski menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan KTP elektronik pada 2019, Tannos tak bisa diproses KPK karena memiliki status permanent residences. Ia hidup normal di Singapura, bahkan mengurus pergantian nama dan kewarganegaraan lain, sehingga membuat KPK ‘mati angin’. Hukum pun tak bisa menjangkau Tannos.

Sederet buron lainnya, seperti penyeleweng dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Bambang Sutrisno, penggelap dana Bank Century Hendro Wiyanto dan Anton Tantular, serta tersangka suap KPU Harun Masiku, diduga setidaknya pernah bersembunyi di Singapura.

Cek Artikel:  Habisi Pungli Restriksi Impor

Akan tetapi, mulai pekan lalu, Singapura bukan surga lagi bagi para pelarian itu. Betul pada Kamis, 21 Maret 2024, perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura berlaku efektif. Bukan hanya langsung efektif diberlakukan, tetapi juga berlaku surut selama 18 tahun ke belakang.

Para pelaku 31 jenis tindak pidana, di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, narkotika, terorisme, dan pendanaan terorisme, dapat diekstradisi dengan perjanjian tersebut. Singapura tidak bisa lagi menjadi tempat aman untuk melarikan diri bersembunyi ataupun menyimpan hasil kejahatan.

Dengan perjanjian ekstradisi itu, Indonesia semestinya dapat memperkuat jangkauan upaya penegakan hukum nasional dan pemberantasan tindak pidana. Situasi itu harus segera direspons penegak hukum, baik itu KPK, Kejaksaan Akbar, maupun Polri. Beleid baru itu tak cuma harus dioptimalkan, tetapi juga menuntut aksi lanjutan dari penegak hukum sebagai eksekutornya.

Cek Artikel:  Pertaruhan Pemberantasan Korupsi

Sejatinya, perjanjian ekstradisi tersebut berlaku secara serentak dengan dua perjanjian penyerta. Pada 21 Maret 2024 itu, Indonesia dan Singapura memberlakukan tiga perjanjian sekaligus, yaitu Perjanjian Penyesuaian Layanan Ruang Udara (Re-Allignment Flight Information Region/FIR), Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA), dan Perjanjian Ekstradisi (Extradition Treaty).

DCA lebih dahulu ditandatangani pada 27 April 2007 di Tampaksiring, Bali, oleh menteri pertahanan kedua negara. Perjanjian FIR dan ekstradisi ditandatangani saat Leaders’ Retreat di Bintan, Kepulauan Riau, pada 25 Januari 2022.

Aturan-aturan baru tersebut menjadi pertaruhan komitmen Singapura menjaga hubungan dengan Indonesia. Terkhusus untuk perjanjian ekstradisi, beleid yang sudah ditunggu-tunggu KPK itu diharapkan tidak hanya garang di atas kertas, tetapi juga mampu diimplementasikan dengan prinsip saling menghargai yurisdiksi kedua negara.

Bagi Indonesia, aturan itu membuat terang situasi yang sebelumnya remang-remang dan abu-abu. Selama ini banyak dugaan adanya pihak-pihak di kalangan penegak hukum yang lebih menyukai situasi remang-remang itu atau menjadikan ketiadaan perjanjian sebagai dalih untuk menutupi ketidakseriusan mereka memburu koruptor yang melarikan diri. Kini, pascaekstradisi, mereka mestinya sudah tidak mendapat tempat dan tak bisa beralasan karena kondisinya sudah terang benderang.

Cek Artikel:  Simpang Siur Restriksi BBM Subsidi

Pun sebaliknya, perjanjian itu juga menjadi pembuktian keseriusan negeri jiran Singapura mendukung kebijakan pemberantasan korupsi pemerintah Indonesia. Negara itu selama ini relatif menerima dengan tangan terbuka koruptor asal Indonesia karena mereka cukup diuntungkan dengan investasi yang ditanamkan para koruptor itu.

Karena itu, perjanjian tersebut tidak hanya menjadi ujian bagi pemerintah dan penegak hukum Indonesia untuk lebih keras memburu buron-buron korupsi, tetapi juga ujian komitmen bagi pemerintah Singapura untuk membuktikan bahwa mereka bukan lagi surga pelarian para koruptor.

Mungkin Anda Menyukai