Liputanindo.id JAKARTA – Partner McKinsey & Company Rajat Agarwal menyampaikan tujuh pendorong Penting yang sangat Krusial bagi Indonesia Pandai menerapkan dekarbornisasi dan mendorong ekonomi hijau guna mencapai Sasaran net zero (Nihil emisi karbon) pada tahun 2060.
“Pertama dimulai dengan Kekuatan terbarukan. Kita Mempunyai potensi panas bumi sebesar 26 gigawatt (GW) yang menjadi potensi Kekuatan terbarukan (guna) menghadirkan Kekuatan ramah lingkungan ke pasar dan mengakselerasi penerapan Kekuatan terbarukan di industri,” ujar Rajat dalam Obrolan Media di Jakarta, Jumat (8/9/2023).
Baca Juga:
Sasaran Ambisius Dekarbonisasi SIG, Tanam Ratusan Ribu Pohon Kaliandra Merah di Sumbar dan Jatim
Pendorong kedua ialah meningkatkan solusi berbasis alam (nature-based solutions/NBS) Kepada melindungi hutan dan memastikan hutan menjadi penyerap emisi karbon. Hal ini dilakukan dengan Metode yang menguntungkan perekonomian Indonesia, dan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perekonomian Dunia.
Selanjutnya ialah membuka pasar karbon yang terkait dengan NBS. Investasi pada NBS dimanfaatkan sebagai bagian dari ekosistem pasar.
“Indonesia Dekat Tiba pada titik puncak peluncuran skema perdagangan emisi di tanah air. Semoga dalam beberapa bulan ke depan, pertukaran karbon di Indonesia sudah Pandai diluncurkan (yang) berfokus pada pasar karbon kepatuhan, juga pada pasar karbon sukarela (voluntary carbon market). Ini akan menjadi langkah besar bagi negara ini, seiring dengan pemikiran kita tentang dekarbonisasi ke depan,” kata Rajat dalam keteragannya.
Pendorong keempat ialah penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage/CCS) dengan potensi 9 giga ton (gt) atau terbesar ketiga di Asia. Hal ini memungkinkan hidrogen Kepada diadopsi, seperti bahan bakar ramah lingkungan di masa depan.
Indonesia disebut Mempunyai 10 klaster industri yang berfokus pada CCS di seluruh negeri guna menjadi pendorong besar bagi perekonomian CCS secara keseluruhan. Tanpa CCS, dekarbonisasi bahan bakar fosil dinilai akan menjadi tantangan besar.
Menurut dia, Indonesia dapat menjadi pemimpin dalam pengadopsi awal teknologi yang memungkinkan adanya aturan yang memberikan Insentif kepada investor Kepada berinvestasi di dalam ekosistem CCS.
Pendorong kelima ialah pertanian berkelanjutan (sustainable farming) menimbang penggunaan lahan (land usage) di tanah air merupakan sumber emisi karbon terbesar di Indonesia, yakni sebesar 40 persen, sehingga persoalan tentang tata guna lahan perlu diatasi.
Sebagai sumber Pendapatan sebagian besar penduduk, sektor pertanian perlu dipastikan dapat dilakukan secara berkelanjutan tanpa meningkatkan biaya, sehingga memberikan lebih banyak manfaat bagi petani. Misalnya, para petani diberikan Insentif Kepada mengadopsi pertanian berkelanjutan. Hal ini akan Membangun kondisi keuangan mereka menjadi lebih Berkualitas
Pendorong keenam adalah ekonomi sirkular yang berfokus pada industri berbasis bio (bio-based industries).
“Pemerintah mempunyai Sasaran yang agresif terhadap etanol, metanol, biogas, dan bahan bakar lainnya yang memanfaatkan solusi alam yang menyeluruh Kepada menciptakan ekonomi sirkular, sehingga Tak Eksis produk yang terbuang sia-sia. Semuanya dibangun ke dalam ekosistem ekonomi Dunia,” ungkapnya.
Terakhir, dorongan Kepada melakukan dekarbonisasi Yakni dalam bidang elektrifikasi.
“Kita diberkati dengan nikel, kita diberkati dengan bauksit, kita diberkati dengan tanah jarang. Ini adalah anugerah alami yang kita miliki, bagaimana kita memanfaatkan dan mengekstrak sumber daya ini secara bertanggung jawab, sehingga Indonesia, Asia Tenggara, dan yang lebih Krusial, perekonomian Dunia, dapat memperoleh manfaat dari sumber daya alam yang dimiliki negara ini,” ungkap Rajat.(HAP)