
ADALAH sebuah malapetaka Kalau seorang yang mengaku beriman, tapi culas dalam perbuatannya (Ahmad Syafii Maarif, 2009: 267).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), culas bermakna curang, Tak jujur, Tak lurus hati. Buya Syafii Maarif yang dalam hidupnya pernah memimpin Muhammadiyah selama lebih dari tujuh tahun (1998-2005), kerap kali berefleksi, melakukan otokritik terhadap perilaku umat Islam, termasuk para ulama yang sudah Niscaya mengaku beriman.
Mengapa ulama sudah Niscaya mengaku beriman? Karena kalau Eksis yang menuduhnya kafir, ia Niscaya marah, dan yang menuduhnya Dapat dijerat pasal penghinaan atau bahkan pasal penodaan Religi.
Pada hari ini (Rabu, 26 Juli 2023) merupakan ulang tahun ke-48 Mejelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai kado ulang tahun bagi organisasi tempat berkumpulnnya ulama, saya kira Eksis baiknya kita Menyantap secara jernih berbagai masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini, Buat kemudian dicari jalan keluarnya yang relevan. Menurut saya, persoalan ini Krusial diwacanakan agar para ulama menyadari bagaimana fungsi dan tugas mereka di tengah-tengah masyarakat.
Di antara masalah krusial yang dihadapi umat Islam kini –atau bahkan mungkin sepanjang waktu– yang paling pokok ialah bagaimana memfungsikan Religi secara Betul di tengah-tengah masyarakat.
Tak Eksis yang Dapat membantah bahwa Religi berisi ajaran-ajaran mulia dan Mulia. Di Indonesia, Religi menjadi aspek yang dianggap paling Krusial dalam kehidupan Orang, yang ajaran-ajarannya senantiasa didakwahkan dalam setiap waktu dan kesempatan. Tetapi, pada Demi yang sama, pelanggaran terhadap Religi selalu muncul, bahkan dalam kualitas dan kuantitas yang tak terukur. Embargo pembunuhan, kekerasan seksual, dan korupsi ialah di antara dosa besar yang sering dilanggar, termasuk oleh tokoh Religi.
Fungsi ulama, sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi SAW, ialah pewaris para Nabi. Tugas pokok para Nabi ialah dakwah. Tetapi, mengapa dakwah Religi menjadi angin Lampau, padahal di era berkembangnya media sosial (medsos) sekarang ini, ceramah Religi (dakwah) Dapat kita temukan di setiap waktu dan tempat. Boleh dikatakan, Tak Eksis ruang yang luput dari dakwah. Maka, di sinilah letak signifikansi kerisauan Buya Syafii tentang kemungkinan terjadinya malapetaka. Dakwah sudah merebak di mana-mana, ruang Konkret dan maya, tapi keculasan tetap merajalela.
Religi –apa pun namanya– berisi ajaran-ajaran, doktrin, dan peraturan mengenai bagaimana tata Langkah hidup yang Bagus. Artinya, secara fungsional Religi sama saja, misalnya, dengan perundang-undangan yang dibuat dan diberlakukan dalam suatu negara. Bedanya, Kalau undang-undang dibuat Orang, Religi diyakini bukan buatan Orang, melainkan berasal dari sesuatu yang transenden, yakni Tuhan Yang Serba Maha.
Oleh karena berasal dari Yang Serba Maha inilah, banyak orang salah kaprah, menganggap Religi sebagai makhluk serbabisa. Padahal, sebagai doktrin, ajaran, atau aturan main berfungsi atau tidaknya sangat tergantung pada siapa yang mengaktualisasikannya.
Betul bahwa Religi Mempunyai kebenaran serbaideal karena berasal dari Tuhan sebagai pemilik kebenaran mutlak, tetapi kebenaran Religi Tak berada dalam ruang hampa yang bebas nilai. Meminjam istilah Clifford Geertz, Religi tidaklah sesuatu yang otonom, tetapi berada dalam suatu realitas Rasional yang secara signifikan memengaruhi, Bagus interpretasi maupun aktualisasi dari Religi tersebut.
Memang, idealnya, Religi harus tampil sebagai kritik kebudayaan, atau bahkan sebagai pemusnah segala bentuk budaya yang destruktif bagi kemanusiaan. Tetapi, pada faktanya, antara Religi dan budaya saling memengaruhi, atau bahkan saling memperalat.
Dari uraian ini, saya Mau mengungkapkan bahwa meskipun Religi bukanlah candu masyarakat –sebagaimana anggapan Karl Marx– bukan berarti menganggap Religi sebagai obat mujarab bagi segala Ragam penyakit. Mengharapkan tegaknya supremasi hukum, berkurang atau terhapusnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), terciptanya kehidupan Seimbang dan saling tolong-menolong, dan lain-lain, hanya semata-mata bergantung pada perbaikan pola hidup beragama (seperti pembaruan, penafsiran kembali, dan semacamnya), bukanlah jalan keluar yang Cocok.
Munculnya Berbagai Ragam penyakit sosial bukanlah semata-mata disebabkan karena kesalahpahaman dan atau disfungsi Religi, melainkan lebih karena Elemen-Elemen sistemis, terutama sistem politik yang secara signifikan sangat berpengaruh, dan (bahkan) Dapat mengintervensi dan memaksakan kehendak pada Seluruh Penduduk masyarakat.
Suatu sistem politik negara yang koruptif, misalnya, sangat potensial atau bahkan dipastikan Dapat menyebabkan seluruh aspek kemanusiaan-termasuk Religi -menjadi tercemar. Hal ini Dapat dipahami karena negara, seperti kata Thomas Hobbes, Dapat menjelma menjadi ‘Tuhan’ yang di samping Mempunyai kekuasaan mutlak, tetapi suatu Demi juga Dapat menjelma menjadi ‘leviathan’, sejenis monster air yang jahat.
Mengembalikan fungsi Religi
Menurut para ulama, Religi merupakan aspek yang paling besar pengaruhnya –bahkan Tiba pada aspek yang terdalam (seperti kalbu, ruang batin)– dalam kehidupan kemanusiaan. Masalahnya, di balik keyakinan para ulama ini, mengintai kepentingan para politikus. Mereka yang Pusing kekuasaan akan Menyantap dengan jeli dan Tak akan menyia-nyiakan sisi potensial dari Religi ini. Maka, tak ayal Religi kemudian dijadikan sebagai komoditas yang sangat potensial Buat merebut kekuasaan.
Yang lebih sial Tengah, di antara para ulama, Tak sedikit yang berambisi Mau mendakwahkan atau menebarkan misi (baca, mengekspansi) seluas-luasnya keyakinan Religi yang dipeluknya, dan para elite Religi ini pun tentunya sangat jeli, dan Tak akan menyia-nyiakan peran signifikan dari negara sebagaimana yang dikatakan Hobbes di atas. Maka, kloplah, politisasi Religi menjadi proyek kerja sama antara politikus yang Pusing kekuasaan dan para elite Religi yang juga Pusing Perluasan keyakinan.
Tetapi, perlu dicatat, dalam proyek ‘kerja sama’ ini tentunya para politikus jauh lebih lihai Kalau dibandingkan dengan elite Religi. Dengan retorikanya yang memabukkan, mereka tampil (seolah-olah) menjadi elite yang sangat religius, yang mengupayakan penyebaran dakwah (misi Religi) melalui jalur politik. Padahal sangat Terang, yang terjadi sebenarnya ialah politisasi Religi.
Di tangan penguasa atau politikus yang ambisius, Religi yang lahir Buat membimbing ke jalan yang Betul disalahfungsikan menjadi alat legitimasi kekuasaan. Religi yang mestinya Dapat mempersatukan umat malah dijadikan alat Buat mengotak-ngotakkan umat, atau bahkan dijadikan dalil Buat memvonis pihak-pihak yang Tak sejalan sebagai kafir, sesat, dan tuduhan jahat lainnya.
Menurut saya, disfungsi atau penyalahgunaan fungsi Religi inilah yang seyogianya diperhatikan segenap ulama, terutama yang Eksis di organisasi-organisasi Islam, seperti MUI. Ulama harus Bisa mengembalikan fungsi Religi dengan Langkah melakukan –meminjam istilah Kuntowijoyo—objektifikasi. Religi bukan sekadar seperti benda yang harus dimiliki, melainkan juga sebagai nilai yang melekat dalam hati.
Mengapa kita sering takut kehilangan Religi? Karena Religi kita miliki, bukan kita internalisasi dalam hati. Religi Tak berfungsi karena lepas dari ruang batinnya yang hakiki, yakni hati (kalbu). Itulah Karena mengapa Rasulullah SAW pernah menegaskan bahwa segala tingkah laku Orang merupakan pantulan hatinya. Bila hati sudah rusak, rusak pula kehidupan Orang. Hati yang rusak ialah yang lepas dari Religi. Dengan kata lain, hanya Religi yang diletakkan di relung hati yang Dapat diobjektifikasi, memancarkan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, kita lebih suka meletakkan Religi di arena yang lain: di Podium atau di kibaran bendera, bukan di relung hati.

MI/Seno
Fungsi ulama
Mengembalikan fungsi Religi harus paralel dengan mengembalikan fungsi ulama karena antara Religi dan ulama ialah satu kesatuan, ibarat gula dengan manisnya, atau garam dengan asinnya.
Karena ulama ialah pewaris para Nabi, maka Jamur ulama yang Betul ialah sebagaimana fungsi Nabi yang rahmatan lil‘alamin dan menjadi teladan yang Bagus bagi siapa pun.
Rahmatan lil’alamin artinya bersikap terbuka Buat berbuat dan menanam kebajikan bagi Seluruh kalangan. Terbuka terhadap perbedaan pemikiran dan pemahaman, dari mana pun datangnya perbedaan itu. Jangan hanya menerima perbedaan dari kalangan yang mayoritas, tetapi mengecam perbedaan dari kalangan minoritas, termasuk perbedaan pemikiran individual.
Dikisahkan, bahwa Rasulullah SAW diminta Buat melaknat orang-orang musyrik, kemudian Nabi menjawab, “Sesungguhnya Saya diutus bukan Buat menjadi pelaknat, melainkan Saya hanya diutus Buat menjadi rahmat. Ya Allah, ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka Tak Mengerti.”
Kerap kali kita temukan, Kalau perbedaan itu datangnya dari Golongan mayoritas, disikapi dengan toleransi dan lapang dada. Tetapi, Kalau perbedaan itu dari Golongan minoritas, apalagi dari individu yang kontroversial, dianggap sebagai penyimpangan hingga divonis sesat, atau bahkan dianggap menodai Religi.
Kalau sudah demikian, alih-alih memberi rahmat malah menebar laknat. Yang pendapatnya Tak sama dengan MUI, misalnya, divonis sesat. Dalam kata sesat Tak Eksis unsur kebenaran. Padahal, kata Imam Syafii, yang pendapat-pendapatnya menjadi mazhab Primer di Indonesia. “Pendapatku Betul, tapi mungkin mengandung kesalahan. Pendapat orang lain salah, tapi mungkin mengandung kebenaran.”
Sebagai pewaris, ulama Sepatutnya meneladani kehidupan para Nabi, selain Mempunyai keimanan yang kuat juga Mempunyai sifat terbuka, mengayomi, dan bersahabat dengan Seluruh kalangan sehingga ulama Mempunyai manfaat yang konstruktif bagi kehidupan masyarakat.

